Saya selalu percaya, puisi sangat erat kaitannya dengan musik. Seorang guru semasa SD pernah berujar pada saya, "lirik lagu itu puisi yang diberi musik, atau musik yang diberi puisi." Saya mempercayainya sampai sekarang.
Ketika saya mengenal The Doors, saya semakin yakin kalau lirik musik itu sama saja dengan puisi. Puisi yang diberi musik. Apalagi saat saya terkesima dengan lagu "The End" (dari album The Doors, 1967). Di lagu sepanjang 10 menit lebih itu, Jim Morrison meracau seperti kerasukan arwah-arwah shaman. Di sana ia berkisah tentang bis biru, menaiki ular sepanjang 7 mil menuju danau purba, hingga bagian yang paling menggidikkan: tentang epos Oedipus yang membunuh ayahnya dan bercinta dengan sang ibu. Selain itu ada banyak lagu yang bertaburan metafora, layaknya sebuah puisi pada umumnya. Seperti "Break on Through" yang bercerita tentang kematian, atau "Light My Fire" yang bercerita tentang drugs dan seks secara implisit.
Kalau begitu, apa bedanya musik dengan musikalisasi puisi? Kebetulan saya tidak ahli puisi, apalagi ahli musik. Namun sepengamatan saya, entah ini benar atau tidak, perbedaannya ada pada proses penciptaan.
Kalau musik, kebanyakan liriknya akan dibuat menyesuaikan dengan musik. Kebanyakan musisi menciptakan musik terlebih dulu, lalu baru membuat liriknya. Itu yang terjadi pada, misalnya, Guns N Roses yang membuat lagu "Sweet Child O Mine." Slash dan Izzy Stradlin membuat dulu musiknya, jam session, lantas Axl datang dan menambahkan lirik yang teramat puitis sekaligus romantis.
Sedang musikalisasi puisi seringkali lebih rumit ketimbang membuat lagu biasa. Hal ini disebabkan oleh musik yang harus "tunduk" pada kalimat. Seringkali juga, musikalisasi puisi muncul dalam wujud seperti ini: puisi lebih dulu ada, musik menyusul. Musik dalam musikalisasi puisi harus bisa menyesuaikan dengan jumlah kata atau bait dalam puisi. Hal ini masih ditambah rumit dengan cara pembacaan. Seringkali dalam musikalisasi puisi, ada keluputan antara ritme musik dengan cara pembacaan ataupun dengan pemenggalan kata dan bait. Teramat susah.
Dalam hemat saya, orang yang bisa melakukan musikalisasi puisi dengan baik adalah orang-orang yang terpilih. Kalau sekedar memainkan musik lalu ada orang yang membaca puisi dengan serampangan, itu hal yang biasa. Yang susah adalah menyatukan dua elemen: puisi dan musik.
The Doors pernah melakukannya dengan baik (dan hei, mereka memang orang-orang terpilih!). Saat Jim Morrison memasuki fase senjakala, ia ingin kembali ke habitatnya sebagai penyair. Maka ia membuat karya terakhirnya sebagai penyair, An American Prayer (direkam tahun 1969 dan 1970). Setelah ia meninggal, para anggota The Doors yang tersisa langsung membuat aransemen lagu berdasar rekaman Jim saat membacakan puisi-puisi An American Prayer. Dan hasilnya adalah sebuah album musikalisasi puisi yang teramat dahsyat. Musik dan puisi berhasil menyatu dengan padu. Selain itu, jika ditilik lebih lanjut, musiknya sendiri dibuat dengan sangat serius. Ibaratnya, tanpa puisinya pun, musik itu bisa berdiri dengan tegak, mandiri, enak didengar dan seringkali menyusupkan aura magis.
Coba simak "Ghost Song" yang sarat aura funk dan psychedelic, atau "Newborn Awakening" yang timpalan gitar dan synth-nya akan membuat kita bergoyang. Dan sekali lagi, musiknya begitu padu dengan puisi yang dibacakan oleh Jim. Juga "Black Polished Crome" yang kental aura blues, atau "Latino Chrome" yang menyisipkan permainan bongo ala musik latin. Aduhai indahnya!
Di Indonesia, musikalisasi puisi bukanlah genre yang baru dalam dunia musik ataupun puisi. Pada warsa 70-an, Franky Sahilatua dan adiknya, Jane Sahilatua bekerja sama dengan penyair Yudistira Aan Nugroho. Atau Iwan Fals beserta Swami dan Kantata Takwa yang pernah beberapa kali memusikalisasi puisi karya-karya W.S Rendra. Leo Kristi, sang flaneur itu, juga sering membuat musikalisasi puisi berdasar karya puisi-puisinya sendiri. Harry Roesli juga acap membuat musikalisasi puisi yang megah dan mencengangkan. Ingat Opera Ken Arok kan? Jogja Hip Hop Foundation juga pernah merekam puisi-puisi berbahasa Jawa Sindhunata dalam balutan hip-hop.
Saya juga pernah terkesima dengan duet Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang terkenal berkat musikalisasi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Berdua mereka memberi nyawa baru pada puisi-puisi Sapardi. Ada kesyahduan yang baru. Ada kesenduan lirih yang baru. Ada keceriaan yang memabukkan. Dan ada pula kata-kata romantis yang menjadi lebih indah walau dengan iringan gitar akustik saja. Reda dan Ari adalah dua orang terpilih yang berhasil meniupkan ruh baru ke dalam puisi, ruh bernama musik. Musikalisasi puisi itu lantas dijadikan sebuah album musik, Becoming Dew. Sebelumnya mereka sempat ikut dalam kompilasi musikalisasi puisi Sapardi yang bertajuk Hujan Bulan Juni pada tahun 1989.
***
Namun saya jarang melihat ada buku kumpulan puisi yang sekaligus jadi satu dengan album musikalisasinya. Lebih jarang lagi penyair muda yang melakukannya. Hingga saya bertemu dengan Irwan Bajang.
Sebagai penyair muda, pemuda asal Lombok ini terkenal produktif. Pada tahun 2006 ia sudah menerbitkan buku puisi "Sketsa Senja," yang lantas disusul dengan novel Rumah Merah Kita (2008). Pada tahun 2009 ia sudah mulai menulis puisi untuk antologi yang kelak akan dinamainya Kepulangan Kelima. Namun ia mendadak bosan.
"Aku merasa bosan menulis puisi. Bagiku puisi tak lagi menarik. Entah kenapa. Akhirnya aku menulis cerpen," kata Bajang, panggilan akrabnya. Ia menegaskan bahwa mendadak itu bersinonim dengan tanpa alasan. Ia memang tak tahu kenapa ia bosan menulis puisi.
Namun selama hiatus menulis puisi itu ia tetap berkarya. Menulis cerpen, esai, dan sibuk menjadi direktur di sebuah rumah penerbitan independen yang didirikannya beserta sang pujaan hati. Karena kesibukan itu pula, ia sering diledek (dalam konteks bercanda tentunya) dengan sebutan Pak Dir, alias Pak Direktur, jabatan mentereng yang ia emban. Namun untuk buku, ia sudah lama tak menerbitkan. Hingga akhirnya pada tahun 2011 Bajang kembali menarik tuas gas. Ia sudah menemukan alasan untuk mulai kembali rutin menulis puisi dan menerbitkan buku. Alasannya sederhana, "...saat itu aku sudah selesai bikin skripsi. Kalau sebelumnya kan gak enak, bikin buku tapi skripsi gak selesai."
Hingga akhirnya pada April 2013 anak ideologis terbaru Bajang lahir juga: Kepulangan Kelima.
Angka lima, bagi Bajang, mempunyai banyak filosofi. Salah satunya adalah rentang waktu penerbitan karya terakhirnya (novel Rumah Merah Kita, 2008) dengan karya terbarunya ini. Kurun itu menandakan fase vakum yang membuat ia menggelari dirinya sendiri dengan sebutan "penulis tidak produktif." Lima juga melambangkan Rukun Islam. Meski saya sangsi kalau Bajang adalah muslim yang baik, ia tetaplah anak muda dari Lombok yang besar dengan kultur Islam yang kental. "Lima juga melambangkan Pancasila," sahutnya sambil berkelakar. Lengkap dengan tawanya yang khas.
Apapun dibalik makna angka lima, saya merasakan kalau Kepulangan Kelima adalah memoar tentang rindu kampung halaman.
Bajang sebagai putra asli Lombok, pergi merantau keluar dari kampung halamannya pada tahun 2005, 8 tahun yang lalu. Kerinduan pada kampung halaman adalah hal yang absolut baginya. Karena itu, Bajang banyak menuliskan puisi-puisi tentang kerinduan akan rumah, masa kecil, ataupun pulang. Sebagai seorang perantau, Bajang paham bahwa sejauh-jauhnya pengembara melangkahkan kaki, hatinya selalu akan tertinggal di rumah. Tempat dimana masa kecil dihabiskan dan kenangan masa remaja ditakik.
"Kenapa aku banyak membahas tentang rantau, karena aku melihat kampung halaman dari jauh. Dan itu sangat berbeda. Hal itu membuat detail-detail kecil yang dulunya tidak penting, menjadi penting," kata Bajang, kali ini dengan muka serius. Sejenak menepikan kebiasaannya bercanda dan tertawa.
Bajang yang ceria memang seringkali jadi melankolis kalau ingat rumah dan kenangan sebelum merantau. Ia bisa betah lama-lama bercerita mengenai sang bapak yang hobi mengkoleksi lagu-lagu rock lawas, atau sang ibu yang sering mengomeli suaminya yang hobi jajan kaset rock.
Dalam Kepulangan Kelima, Bajang menuliskan semua memori-memori itu dalam warna yang beraneka ria. Ia bisa berkisah romantis mengenai kenangan ciuman di kebun tebu milik tetangga atau kawan-kawan yang mengadu nasib di negeri seberang (Kepulangan Kelima), tentang kampung halaman yang berubah drastis semenjak modernisasi masuk (Rumah Yang Terbakar), nestapa tentang cinta pertama yang gagal diselamatkan (Pada Resepsi Pernikahan Itu), hingga kenakalan masa kecil di "Bocah Pencuri Buah." Semuanya penuh semangat rindu kampung halaman.
Semua puisi itu lantas menemui bentuk barunya, kolaborasi dengan musik.
***
Alkisah, tahun 2008 hingga 2009 adalah puncak euforia jejaring sosial bernama Facebook. Dari sana Bajang bertemu dengan orang-orang baru. Orang dengan gairah berkarya yang sama, dan berbicara dengan bahasa yang sama: seni. Melalui Facebook pula, ia mencari seseorang bernama Ari KPIN, seorang musisi yang pernah memukaunya dengan musikalisasi puisi "Di Negeri Pohon Pohon Kastanya" di Youtube. Setelah bertatap muka visual, mereka berdua pun banyak berdiskusi tentang puisi dan musik.
Sampai suatu hari, Ari membuat Bajang girang. Pasalnya, Ari mengirimkan sebuah musikalisasi puisi milik Bajang, "Merah Padam Wajahmu."
"Itu perasaan yang menyenangkan, karya kita diapresiasi oleh seniman lain, dalam bentuk yang berbeda," kata Bajang.
Berangkat dari kegirangan itu, akhirnya tercetus keinginan Bajang untuk membuat puisinya bertransformasi ke bentuk seni yang lain. Idenya berangkat dari pendapat Bajang kalau puisi tidak selalu bisa dinikmati oleh banyak orang. Karena itu Bajang ingin mengawinkannya dengan bentuk seni yang lain. Entah itu musik, ilustrasi, fotografi, atau bahkan seni instalasi. Akhirnya bentuk baru yang dipilih ada dua: musik dan ilustrasi.
Musik dipilih karena ini bentuk seni yang akrab dengan semua orang. Nyaris tak ada orang yang tak pernah mendengarkan musik. Lalu ilustrasi dipilih semata karena Bajang sedikit jenuh dengan tren fotografi. Kebetulan, kawan baiknya, Oktora Guna Nugraha, bersedia menggambar beberapa ilustrasi untuk Kepulangan Kelima. Ari KPIN juga sudah setuju untuk membuatkan musik bagi puisi-puisi Bajang.
Namun semua tak semudah bayangan. Karena memang untuk membuat musikalisasi puisi yang baik dan lebur, adalah sesuatu hal yang susah. Seperti yang saya bilang, yang bisa melakukan itu adalah orang-orang terpilih.
Ide awalnya adalah Bajang merekam suaranya ketika membaca puisi, lalu dikirim via surel. Namun ide ini menemui tembok tinggi karena tempat tinggal Bajang yang terlalu bising, banyak sekali distorsi. Akhirnya mau tidak mau Bajang kembali merantau sejenak ke Bandung, kota tinggal Ari, untuk merekam proses musikalisasi puisi ini. Kebetulan Ari yang juga adalah dosen di berbagai perguruan tinggi, punya sanggar seni dengan peralatan lengkap, termasuk studio dan alat-alat musik.
Namun kesusahan masih membayangi. Antara lain karena kesulitan-kesulitan klasik nan primer dalam musikalisasi puisi: Bajang harus mengatur kapan puisi mulai dirapal, kapan ia harus mendaki, kapan ia harus membaca dengan intonasi yang pelan, dan dimana ia harus memenggal kata. Rumit dan berbelit.
Namun akhirnya toh semua hasilnya terbayar. Ketika track pertama, "Kepulangan Kelima," diperdengarkan, saya langsung tersenyum. Dari sana tampak hasil kerja keras Bajang dan Ari. Track pembuka ini macam bait doa pembuka dalam ritus-ritus nan magis. Nyaris sama dengan ritual Jim yang berujar, "Is everybody in? The ceremony is about to begin," dalam track pembuka An American Prayer.
Lalu track-track seperti "Berputar Dalam Mimpi," "Bangun Tengah Malam," hingga track favorit saya "Pagi Insomnia," berhasil membuat saya sedikit terkejut. Mereka kembali mengingatkan saya akan amboinya peleburan musik dan puisi. Sesuatu yang sudah lama tidak saya dengar. Suara Ari --ia adalah penyanyi utama dalam album ini-- mengingatkan saya pada suara Iwan Fals muda yang bertenaga dan masih belum sibuk kampanye iklan kopi.
Tak perlu memutar album ini secara berulangkali, untuk membuat saya berujar pendek: para punggawa buku dan album ini adalah orang-orang terpilih. []
post-scriptum: Tulisan pendek ini untuk pemantik diskusi Parade Obrolan Sepuluh Karya Sastra dalam hajatan Apresiasi Sastra, Yogyakarta, 2 Mei 2013. Ini pertama kalinya saya diajak jadi partner diskusi dalam acara obrolan serius. Saya tersanjung. Terima kasih untuk Irwan Bajang atas kesempatannya. Shalom!
saya jd penasaran euy
BalasHapusbisa numpang denger dimana ya, gan ? :D
Ah, mas Ridwan, maaf saya lupa balas pertanyaan sampean. Sila mampir ke kosan saya, ada buku dan CD-nya yang bisa dinikmati :)
HapusPokoknya mantaplah :D
BalasHapusmakasih reviewnya kak nuran, tulisannya selalu dahsyat deh, groupis2 jadi histeris
BalasHapusMasih dahsyatan kamu pas baca puisi. Itu cewek-cewek di bagian belakang pada orgasme semua, minta kau kawinin, hahaha :D
Hapusasyuuuuuuw.... rocker banget komentar ini!!
HapusSepengetahuan saya, puisi dicipta untuk dibaca, bukan dilagukan. Ok, lirik-lirik lagu Ebiet (misalnya) bernuansa puitis. Tapi, beliau mencipta lagu, bukan puisi. Sama juga dengan Leo Kristi, Franky and Jane, atau Katon. Sementara puisi Sapardi yg dinyanyikan, itu sudah berubah fungsi menjadi lagu, bukannya puisi lagi. Istilah musikalisasi puisi sebenarnya masih belum terdefinisikan secara gamblang. Jika ingin dilagukan atau diiringi dengan musik, proses itu harus tetap menghormati puisi sebagai teks sastra, bukan sebagai lagu. Yah, musikalisasi puisi belumlah menjadi alat/metode apresiasi karya sastra... Piss
BalasHapusOh, sudah ada konsensus kalau puisi gak boleh dilagukan ya? :D
Hapus