Nova Dwi Prasetyo adalah karib. Kental, melebihi sup krim. Atau bahkan darah. Ia berkawan dengan saya semenjak kelas 1 SMA. Saya tak pernah lupa raut mukanya yang datar, mata yang setengah terbuka karena mabuk, dan omongannya yang meracau. Dan saya tak akan lupa, diantara masa sadarnya, ia menenteng dan membaca Kahlil Gibran. Sembari sesekali menorehkan puisi-puisi pendek di halaman belakang buku tulis bergaris.
Kami pernah dalam satu band. Pernah pula mendaki gunung bersama. Bercerita tentang apapun dan mengalami banyak masa --untuk tak menyebutkan masa-masa kelam. Susah atau senang. Membawakan lagu "Wherever You Will Go" di pentas perpisahan. Dihajar badai di Gunung Lamongan yang membuat kami meringkuk ngeri dalam tenda yang bergoyang semalaman. Serta merasakan kecewa besar ketika guru sekolah kami melarang kami tampil dalam panggung terakhir hanya karena kami sudah duduk di kelas 3 SMA dan mendekati ujian akhir.
Selepas Badai: Nova dan Saya |
Dan hati saya berbunga ketika melihatnya berkepala gundul. Ia baru saja selesai menjalani pendidikan kepolisian. Hari itu, ia resmi menjadi polisi. Ia yang dulu tinggi dan kurus, sekarang jadi tambah gelap dan sedikit berisi. Saya dan kawan-kawan lain tak pernah lupa gaji pertamanya yang digunakan untuk mentraktir kami disebuah warung kopi langganan di bilangan Jalan Jawa. Bergelas-gelas Es Coffe Mix, juga Joshua.
Ia juga pernah berkali-kali jatuh tersandung karena cinta. Yang terakhir, menghantamnya begitu telak. Hingga ia tersungkur dan sepertinya susah untuk berdiri lagi. Hantaman keras, tepat di dagu, menghilangkan kesadaran dan memaksanya untuk rebah di lantai.
Tapi kekuatan hati manusia tak ada yang bisa menduga. Ia bangkit. Kembali mengepalkan tangan ke depan, dan kembali bertarung. Aduh, ini kenapa saya mengibaratkan cinta sebagai sebuah pertarungan dalam ring sih?
Intinya, Nova menemukan tambatan hati yang baru. Namanya Sukma. Yang pada suatu malam ia pernah memujinya sebagai perempuan yang sabar dan mengayomi. "Aku jarang sekali bertengkar hebat dengan perempuan ini" ujarnya suatu malam diantara hening yang sempurna, di kamarnya. Nova memang kepala batu. Tipikal Vermont Stubborn. Sang perempuan bisa sedikit melunakkannya. Dalam sebuah hubungan asmara pria dan perempuan, apa yang lebih penting ketimbang yin-yang seperti itu?
Entah perasaan apa yang saya rasakan ketika Nova pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Memutuskan untuk menurunkan sauh, tidak berlabuh, dan menambatkan tali tambang. Perempuan yang dipilihnya adalah perempuan yang ia ceritakan di malam yang hening kecuali oleh celotehan kami.
Maka secepatnya saya mengepak baju, memasukkannya dalam tas, lalu bertolak menuju kampung halaman. Undangan sudah disebar, kawan sudah tidak berpencar, maka kami pun berangkat.
Suasana di pesta pernikahan 16 Juni malam itu sungguh macam reuni kecil kawan-kawan akrab semasa SMA. Bahkan Umbar Pujiono yang susah ditemui karena sering melanglang ke Neptunus, pun datang dan menebar senyuman manisnya. Senyuman yang membuat para perempuan ingin menampar dan para pria ingin menjambak mukanya.
Ada Wido yang datang bareng istri; Fahmi yang patah hati karena mantan gebetannya baru-baru ini juga menikah; Vicho yang menggandeng mantan pacarnya; Dika yang dibilang sales kondom; Nyen yang ternyata sedang galau karena mantan pacarnya --yang masih ia titipkan sejumput perasaannya-- juga akan menikah; Nicky yang kapan hari alim mendadak gara-gara baru putus; Rayis yang sudah bertunangan dan sepertinya akan segera menyusul Nova; Zein yang datang jauh-jauh dari Bali dan ingin menikah (lagi).
Nyumbang 10rb, Makan 5 Kali |
Alien di sebelah saya itu namanya Umbar |
Kami menghabiskan masa dengan tawa. Meminta melati dari pengantin perempuan agar kami segera menyusul. Juga saling melontarkan guyonan klasik para wedding crasher, "Ngamplop 10 ribu tapi makannya 5 kali", atau "Yang nyumbang 5 ribu gak boleh ngambil es krim", dan segala macam guyonan tak beradab lainnya.
Nyaris dari kami semua --yang akrab dengan Nova-- susah untuk menahan haru melihat Nova memakai baju adat dan duduk bersanding dengan teman hidupnya. Perasaan haru dan senang berbaur jadi satu. Perasaan itu makin menjadi ketika kami satu persatu memeluknya. Lantas berfoto resmi. Lalu berfoto gila-gilaan. Dan dipungkasi adegan foto satu persatu dengan Nova dan Sukma.
Jarum jam terus berdetak. Tamu sudah mulai surut. Nova sudah menambatkan perahunya. Kami semua lantas kembali menarik sauh, mengembangkan layar. Semoga kelak satu persatu dari kami bisa mendapatkan pelabuhan yang tepat: tempat kami menutup layar, menurunkan sauh, dan memutuskan untuk tinggal...
selamat buat temannya sob.. suka baca tulisan yang runut dan berciri khas ini... semoga saya selalu kemabali salam kenal... senang memang bisa melihat teman baik menikah... semoga segera menyusul ya... :)
BalasHapusselamat buat mas nova dan mbak sukma, semoga yang minta melati ke penganten perempuan cepet nyusul juga ^^
BalasHapus