Jumat, 10 Juni 2011

Pemuda Penjaga Toko Kelontong


Bunyi kereta listrik mendesis. Saya berkeringat dingin. Campuran antara rasa haus, peluh, dan juga hantaman angin yang ternyata masih saja dingin di musim yang katanya panas. Saya sedang berdiri di stasiun Strainstrase. Sendirian, memanggul tas carrier besar di punggung, satu daypack di depan, dan satu tas selempang di samping pinggang. Bingung mau kemana.

Saya lantas berjalan sempoyongan. Lemas. Seperti gejala dehidrasi. Otak memerintahkan kaki untuk berjalan menuju toko kelontong di sebelah elevator.

Saya mengambil sebotol cola seharga 1,5 euro. Sang penjual melihat saya dengan pandangan aneh. Sedang apa seorang pemuda bertampang Asia membawa tiga tas dan 1 buah kamera ini?

"Kameranya bagus" ujar si penjual brewokan itu sembari menunjuk kamera yang saya gantungkan di leher.

Dari percakapan basa-basi itu lantas obrolan kami menapak maju. Meskipun kadang memakai bahasa Tarzan, karena si penjual ini tidak begitu bisa bahasa Inggris. Lalu saya bertanya bagaimana cara ke Klosterstern, stasiun yang akan saya tuju berikutnya.

"Ayo kebawah" katanya sembari mengajak saya menuruni tangga.

"Lho, tokomu gak papa ditinggal?" kata saya heran. Dia tiba-tiba saja meninggalkan tokonya kebawah. Bagaimana kalau nanti ada orang yang mengambil barang dagangannya?

"No, it's okay" ujarnya santai.

Lalu kereta pun datang.

"Buruan. Psiuuuu" katanya menyuruh saya cepat masuk sebelum pintu kereta tertutup, sembari memeragakan gerakan pintu tertutup dengan tangannya yang berbulu itu. Setelah pintu kereta menutup, pemuda penjaga toko kelontong itu pun berjalan naik ke atas.

Pemuda berbaju kuning ini meyakinkan saya kalau orang baik memang ada dimana-mana. Ketika kita berpergian jauh dan terperangkap dalam kesusahan, pasti akan ada orang yang menolong kita. Dan percayalah, bahasa sama sekali bukan kendala.

***

Sekarang saya tiap hari bertemu dengan si pemuda itu. Baik ketika saya baru datang di Strainstrase untuk kemudian menuju Goethe. Atau ketika saya dalam perjalanan pulang ke Klosterstern. Bertukar sapaan Moi moi (semacam halo dalam bahasa Jerman) atau Gutten morgan.

Tadi siang saya sempatkan diri mampir ke kios pemuda ini. Sekedar berbincang sembari meminum sebotol cola.

Nama pria ini John. Bukan berasal dari Amerika, negara yang lazim dengan penduduk bernama John. Dia berasal dari Iran.

"Aha, Mahmoud Ahmadinejad" seru saya sembari menyebutkan nama presiden Iran yang kontroversial itu.

"Hehehe, yap, Ahmadinejad" ujarnya sembari memainkan handphone.

Suara kereta terdengar mendesis. Makin lama makin keras. Tandanya kereta semakin dekat. Saya mengambil kamera lalu membidikkan ke wajah John. Klik!

1 komentar:

  1. Waahh... itu saya liat rokok marlboro dibelakang john,, pengen ngrasain marlboro jerman,, oleh2 mas,, ntar saya ganti deh,,, :)

    BalasHapus