"RATM pernah bikin jalanan depan Wall Street macet karena mereka bikin konser disana" dengus Dhani dengan pongah. Padahal sehari-harinya ia rajin mendengarkan Kerispatih.
Dhani sudah merasa diatas angin karena argumennya itu. Suasana makin panas. Ada Inu dan Romdhi yang ikut tertawa melihat perdebatan tolol ini.
Saya dengan gerak yang tenang, memandang Dhani, pria subur yang saat itu baru duduk di semester 5, dan bertanya pelan padanya.
"Kau tahu kenapa The Beatles tak pernah konser lagi?"
Dhani menggeleng. Tetap dengan gaya yang sengak dan senyuman yang sinis.
"Karena The Beatles tak tahan, setiap konser, teriakan penonton lebih keras ketimbang suara musiknya. Eat that!" kata saya sembari tertawa.
Dhani terpaku. Ia kena skak mat.
Saya tak membual. Kalau saja Dhani mau meluangkan waktunya untuk membaca beberapa literatur tentang The Beatles, ia pasti tahu. Setelah wawancara dengan Maureen Cleave tahun 1966, kontroversi menderas seiring pernyataan Lennon tentang betapa Beatles lebih tenar ketimbang Yesus. Ditambah dengan semakin kerasnya histeria penonton kala The Beatles manggung, membuat 4 orang santo ini memutuskan untuk berhenti manggung selama-lamanya.
Siang itu, siang yang terik di sekretariat Tegalboto, Dhani bertekuk lutut. Menyadari kepongahannya karena dengan gegabah membandingkan The Beatles dan RATM.
***
Saya mengenal pria bernama lengkap Arman Dhani Bustomi ini pada tahun 2006. Saat itu saya memutuskan untuk gabung di UKM Pers Mahasiswa, Tegalboto. Di hari pertama diklat saja ia sudah menampakkan sifatnya: pemberang, suka menyulut perdebatan, senang berdebat, dan meledak-ledak. Juga masih melekat di ingatan tentang tema debat Dhani dengan seorang anak UKM karate yang ikut diklat yang sama: tentang apakah Infotainment itu masuk jurnalisme atau tidak. Untung saja Dhani tidak diberi Ichigeki Hissatsu oleh si bocah karate itu.
Beberapa hari setelahnya, di malam yang hangat, Dhani bercerita dengan kemlinthi. "Aku pernah manggung bawain lagunya Korn yang Another Brick in the Wall".
"Bukannya itu lagunya Pink Floyd?" sergahku. Dhani bingung. Sepertinya saat itu ia belum tahu siapa itu Pink Floyd.
"Gak tahu, pokoknya aku sempat stage diving" tambahnya. Wow, pria ini keren sekali, pikir saya waktu itu. Sembari berpikir nakal betapa mengenaskannya nasib penonton yang terpaksa menerima dan mengangkat tubuh Dhani yang subur dan bergelimang lemak ini.
Tanpa dinyana, hubungan perkawanan saya dengan Dhani bertahan lama. Bahkan setelah 6 tahun berderap, kami masih saja berkawan dan saling menghina.
***
Saya dan Dhani menghuni ruangan berlantai merah selama nyaris 5 tahun. Sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, ketika kami berdua sudah purna sebagai pengurus. Kami pernah berbagi kasur, berbagi selimut, hingga --menurut pengakuan sepihak dari Dhani-- berbagi celana dalam.
Kami saling mengintip folder masing-masing. Bertukar lagu, berdebat tentang siapa band yang paling keren, atau bercerita mengenai perempuan yang kami kencani. Saya sampai hafal kebiasaan Dhani sebelum tidur. Setelah menyempatkan diri sholat Isya di ujung ruang redaksi yang penuh sesak dengan buku dan alat tulis, setelah melipat sajadah, ia membungkus dirinya dengan sarung bermotif kotak berbau apak, lalu melumuri perutnya dengan minyak kayu putih. Tak lama kemudian, ia pasti tertidur dengan pulas. Mendengkur. Bagai bayi yang baru saja dioles minyak kayu putih oleh sang ibunda.
Hidup dengan pria ini selama 5 tahun, membuat saya kurang lebih hafal perangainya.
Dhani adalah paradoks. Ia bagai kutub utara dan selatan yang tarik menarik. Ia seringkali sangat emosional, over-reaktif, dan juga temperamental. Tak jarang ia menendang lemari besi di Tegalboto ketika marah. Bisa karena hasil tulisan anak-anak jelek, atau kesal karena tak ada yang datang rapat, atau karena karpet merah sekretariat kotor oleh abu rokok.
Tapi tak jarang saya memergokinya memasang mata yang teduh. Senyum yang tulus. Juga cerita-cerita betapa ia sebenarnya seorang pemalu dan rapuh. Ia lebih memilih untuk memelihara marah, mendiamkannya, hingga kemarahan itu menjadi dendam amuk yang membatu.
Ia sering disakiti. Luka itu lantas bernanah. Sengaja dibiarkan dan dipelihara. Luka yang tak hanya disebabkan oleh satu dua orang saja. Melainkan banyak orang. Orang yang kemudian diberinya pancang bendera dendam. "Tak akan aku lupakan mereka sampe aku mati kelak. Dendamku akan terus hidup untuk mereka yang telah membuat hidupku sengsara dan penuh amarah!".
Tapi ia juga pernah dengan hati yang selembut sutra bawaan Marcopolo, menasehatiku agar tak memelihara dendam. Agar saya belajar melapangkan hati. Agar saya mau meluruhkan dendam yang, konon, dapat membuat hidup tak pernah tenang dan berbahagia.
Dhani adalah paradoks. Dhani adalah perpaduan dua kutub yang bertolak belakang. Dan saya menyayangi pria yang hidup dalam dua kutub itu. Dalam api marah yang terus ia pelihara. Juga dalam kesejukan padang prairie yang melenakan dan menenangkan.
***
Tanggal 21 Mei 2012 Dhani berulang tahun. Ia resmi berumur 25 tahun sekarang. Memasuki fase yang genting. Sedang keadaan juga membuatnya seringkali bergeming, tak bergerak. Ia harus menuntaskan peperangan di medan akademis. Menyelesaikan kewajiban terhadap orang-orang yang selalu mendukungnya. Tanggung jawab itu membuatnya tertahan sejenak di Jember. Kota kecil di timur pulau Jawa yang mempertemukan kami.
Dhani masih saja sama seperti pria yang saya kenal 6 tahun silam. Ia masih meledak-ledak, seringkali sinis, tetap teguh memelihara bara dendam, tapi masih seringkali pasrah ketika digojloki kawan-kawannya perihal skripsi dan perempuan. Ia juga masih rela berhutang demi membeli buku, benda yang menurutnya "tak pernah mengkhianatiku".
Ia masih saja mempunyai skill menulis yang aduhai. Ia juga sudah mengurangi drastis kebiasaannya name dropping kutipan para filsuf dan pemikir dalam tulisannya, yang membuatnya sering saya ledek sebagai penulis kumpulan kutipan. Ia juga dengan telak membuat saya iri karena berhasil mendapatkan beasiswa Pantau, sementara saya tak pernah berani untuk mencoba.
Dhani juga sudah tidak sendirian sekarang. Di antara lantunan Payung Teduh dan rimbun danau UI, ia mengikat janji dengan seorang perempuan cantik nun sabar. Perempuan yang tak pernah lelah mendampingi Dhani ketika ia mengalami masa-masa sulit. Perempuan yang menendang Dhani, menyuruhnya agar tak jadi pria yang hanya bisa melarikan diri dan berenang dalam hanyut amuk dendam.
Saat ini saya sedang memutar lagu The Beatles. Band yang menyulut perdebatan denga Dhani beberapa tahun silam. Perdebatan yang selalu saya kenang dengan terkekeh. Untuk mengenangnya, saya juga memasang foto saya bareng Dhani di Facebook. Foto itu menampakkan kala kami masih bocah gondrong yang pongah dan ingin menantang dunia dengan dada terkembang dan tangan terkepal. Kami beranggapan bahwa kami adalah duo terkeren dan karena itu adalah wajar untuk bersikap snob terhadap orang lain. Tapi seirinf berjalannya umur, kami menyadari bahwa dunia tidak sesempit ruang redaksi Tegalboto. Tidak pula sesempit Jember dan Bondowoso, kota kelahirannya.
Karena itu, mari mengepakkan sayap dan pergi melihat dunia Dhan!
Kudos!
kalian jadian aja, gih!
BalasHapusAduh, saya sudah punya pacar Git :D Gimana kalau saya jodohkan dengan kamu aja? :D
HapusOrang dua ini kl dilihat-lihat bagai pinang dibelah dua, pake kapak...!!!
BalasHapusSik gantengan aku tapi cak! :D
HapusTulisan keren tentang persahabatan... like this pkoke ran :)
BalasHapusAku nangis cuk moco tulisan iki. Gurih, basah, menghujam perasaan.
BalasHapusKudos buat persahabatan kalian berdua. Sudah benar-benar sehati. Bagaikan laler sama borok. Cocok!
Asu, perumpamaanmu iku asu :)))
Hapuscium cium!
BalasHapusceritanya filmis, serasa menyaksikan film pendek yg menakjubkan tentang kisah persahabatan. bravo!
BalasHapusasu, cah homo! sono kawin karo irsyad manji! tak laporkan FPI!!
BalasHapussudah mending buat buku aja..
Hapus:') sdh lama tidak menyaksikan kalian berdebat..rinduuuuuuuuuu...
BalasHapus