Kuliah pagi selalu membuat saya merindukan masa lalu. Lebih tepatnya masa SMA.
***
Sekolah saya bisa dibilang ajaib. SMA negeri satu-satunya di kecamatan Arjasa ini terletak pas di depan terminal Arjasa. Saya masuk ke sekolah ini semata karena satu hal: malas berangkat pagi. Karena sedari TK sekolah saya selalu jauh dari rumah. Jarak yang jauh itu membuat saya harus berangkat lebih awal. Nah, kalau sekolah saya dekat, maka saya tak perlu bangun terlalu pagi. Oke, itu tampak seperti alasan tolol.
Namun, ekspektasi saya tepat. Karena sekolah saya dekat, saya tak perlu bangun terlalu pagi. Kalau mulai TK sampai SMP saya harus bangun jam 5 dan berangkat jam 6, maka sekarang saya bisa bangun jam 6.30 dan berangkat jam 7 kurang beberapa menit. Ketika baru masuk dan masih jadi murid culun, saya selalu datang tepat waktu. Selalu datang jam 7 pas.
Tapi berjalan beberapa bulan, saya sudah mulai masuk agak siang. Jam 7 lebih sedikit atau malah jam 7.30. Sekolah saya punya gerbang besi yang dijaga oleh 2 orang satpam. Tapi saya kenal baik dengan duo satpam itu. Jadi saya dibolehkan lenggang kakung meski jam masuk sudah lewat.
Masuk telat itu makin menjadi ketika duduk di kelas 2. Tapi semua keterlambatan itu mencapai puncak ketika saya duduk di kelas 3. Saya berangkat dari rumah jam 7 pagi, tapi tidak langsung menuju sekolah. Biasanya saya ngepos di terminal dulu. Ada sebuah warung nasi sederhana yang terletak di dalam terminal. Saya biasa nongkrong disitu. Sarapan, atau sekedar ngeteh. Setelah itu kalau masih ngantuk, saya sering tidur di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Nyaman sekali.
Saya tak sendiri. Para bromocorah kelas 3 seakan punya kode tak tertulis kalau setiap jam 7 pagi adalah waktu untuk nongkrong di terminal. Mereka tersebar di berbagai titik. Tapi yang biasa nongkrong bareng saya adalah pentolan bromocorah IPS. Macam Zein, Fahmi, Ade, Nova, Rayis, Aji, Umbar, Nyen, Basid, Vicho, dan Gokong.
Jam 1o, ketika bel istirahat berdentang, kami semua malah berhamburan masuk. Untuk menaruh tas dan pindah tempat nongkrong di kantin dalam sekolah. Jam 10.30 baru kami mulai belajar.
Tapi setelah saya lulus, SMA ajaib itu berbenah. Mereka jadi lebih bagus dan malah jadi Sekolah Standar Nasional. Sebab itu pula, peraturan makin ketat dan disiplin jadi harga mati. Dan seperti saya duga, peraturan ketat itu membuat murid jadi seperti robot yang hanya terobsesi mengejar nilai dan nyaris mengabaikan romantisme ala remaja SMA.
Tak ada cerita-cerita kenakalan dan pemberontakan ala remaja SMA. Nihil pula kumpulan remaja badung berseragam putih biru yang bergerombol di terminal. Warung langganan saya dan kawan-kawan dulu sekarang makin sepi. Paling hanya satu dua pengunjung terminal saja yang makan disana. Mbah penjual rokok di sebelah warung itu pun omzetnya menurun.
Ah, zaman sudah berubah. Dan zaman selalu punya anaknya masing-masing. Mungkin sekarang memang zamannya remaja yang disiplin dan menganggap nilai lebih penting ketimbang cerita dan imajinasi.
Mungkin.
***
Langit Jogja cerah pagi ini. Awan yang bergumpalan menjadi ornamen lazuardi. Saya harus kuliah jam 8 pagi. Selepas membuka mata, saya bangun dengan rasa ogah-ogahan. Kelebatan masa SMA menjadi renjana pengobat kemalasan hari ini. Apa kabar kalian semua kawan-kawanku?
Dulu di ujung orde baru, sekolah yg hebat adalah dia yg bisa mengirimkan duta paskibra untuk upacara 17 Agustus di Jakarta.
BalasHapusAdalah Santi, siswi SMAR angkatan 98 yg saat itu menjadi bintang di jember. Keberangkatannya ke Ibukota bukan hanya mewakili jbr, tapi jatim (dan satu satunya).
Hebat, tentu saja. SMA Arjasa patut berbangga. Karena terus terang saja, seingat sy nggak ada prestasi lain yang me-nasional selain Santi.
Jam sekolah masih longgar, Pihak konseling masih maha pengampun, yang ingin berkelahi masih leluasa melakukannya di pinggir sungai belakang sekolah, wawan masih bisa menyulut mercon tepat di depan ruang kantor guru dan kepsek, gerbang selalu terbuka tanpa satpam, dan senin pagi tetaplah menjadi hari yg menyebalkan. Senin pagi adalah saat yang tepat untuk nyruput kopi dan bersenang senag di warung terminal.
Waduh, dowone reeeek...