“Cooking is at once one of the simplest and most gratifying of the arts, but to cook well one must love and respect food.”
(Craig Claiborne)
***
Menulis makanan seringkali juga menulis mengenai manusia. Tentang ketelatenan. Tentang kesabaran. Tentang kepasrahan. Tentang konsistensi. Tentang misalnya penjual serabi yang setia memakai anglo semenjak 1923. Atau semisal mengenai penjual gudeg yang dengan telaten membuka warungnya mulai jam 1 pagi semenjak 1973 hingga sekarang.
Karena itu, menulis tentang makanan tidak hanya sekedar mengenai rasa, tapi juga cerita tentang manusia. Itu yang sedang saya pelajari.
Beberapa waktu silam saya mendapat sebuah proyek penulisan mengenai Solo. Salah satu hal yang harus saya tuliskan adalah mengenai kuliner khas Solo. Ini pertama kalinya saya menuliskan kuliner secara profesional --dalam artian dibayar dan makan gratis. Dan menulis mengenai makanan ini mengajarkan satu hal: jadi pewarta kuliner haruslah memiliki perut yang tangguh dan lambung yang lentur untuk menerima makanan.
Karena diburu waktu, proses perasaan kuliner juga berjalan cepat. Dalam 1 hari, saya dan tim bisa mencicipi beberapa makanan sekaligus. Seperti ketika hari pertama saya sampai. Setelah makan selat solo di warung Mbak Lies, perut langsung dihantam oleh seporsi bakso. Setelah itu langsung berlanjut ke serabi Notosuman. Perut memberontak. Tapi saya tak jera. Ini sebuah pengalaman berharga.
Bukan mengenai makan gratis atau dibayar. Tapi mengenai cerita dibalik makanan. Itu tadi, mengenai manusia. Ada ketelatenan, kesabaran, juga kepasrahan, dalam tiap porsi yang terhidang. Dan saya selalu menikmatinya...
Karena diburu waktu, proses perasaan kuliner juga berjalan cepat. Dalam 1 hari, saya dan tim bisa mencicipi beberapa makanan sekaligus. Seperti ketika hari pertama saya sampai. Setelah makan selat solo di warung Mbak Lies, perut langsung dihantam oleh seporsi bakso. Setelah itu langsung berlanjut ke serabi Notosuman. Perut memberontak. Tapi saya tak jera. Ini sebuah pengalaman berharga.
Bukan mengenai makan gratis atau dibayar. Tapi mengenai cerita dibalik makanan. Itu tadi, mengenai manusia. Ada ketelatenan, kesabaran, juga kepasrahan, dalam tiap porsi yang terhidang. Dan saya selalu menikmatinya...
Yaaahh..
BalasHapusItu komentar pertamaku setelah membaca tulisan ini. Setelah paragraf awal, kupikir ini sebuah tulisan yang panjang, dan akan bercerita tentang makanan dan manusia.
Aku suka makan dan suka mencicipi makanan, jadi aku membaca dengan cukup antusias.
Ditunggu tulisan selanjutnya,
Salam kenal!
:D
Hehehe, soal makananannya kudu dipending dulu postingnya. Berkaitan dengan urusan pekerjaan soalnya :) Di entri sebelumnya banyak tulisan soal makanan kok, happy reading. Salam kenal juga Hanie :)
BalasHapus