Kamis, 06 Oktober 2011

Sebelah Mata

Saya tak akan lupa hari Senin, minggu pertama saya kuliah. Saya datang dengan langkah yang mantap. Maklum mahasiswa baru. Masih semangat-semangatnya. Di jadwal, tertulis kuliah pertama adalah Writing 01. Seingat saya, kuliah dimulai jam 08.35. Saya sepertinya telat beberapa menit.

Benar dugaan saya. Kelas sepertinya sudah dimulai. Wajah-wajah asing tampak duduk dengan anteng di kursi masing-masih. Seorang dosen berkacamata dengan rambut putih keperakan duduk di kursi depan. Saya membuka pintu ruang 02 itu dengan perlahan. Ia berderit. Lalu saya menutupnya, membalikkan badan dan berusaha mencari bangku kosong.

"Mas, siapa yang nyuruh masuk?" tanya bapak dosen itu. Saya bingung dengan pertanyaan itu. Lah, ini kan kuliah saya?

"Anda telat, silahkan keluar" ujarnya dingin dengan pandangan yang menusuk, sembari tangannya menunjuk ke arah pintu.

Saya bingung. Tapi mendengar titahnya yang sedingin pualam di kala malam, saya pun mengikuti perintahnya. Saya keluar kelas. Di hari pertama, kuliah pertama, dan jam pertama, saya diusir dari kelas. Karena alasan yang sangat sepele: telat tak sampai 5 menit.

***

Setelah akrab dengan beberapa orang kawan baru dan kakak angkatan, tahulah saya nama dosen yang mengusir saya itu. Namanya pak Noersamsudin. Beliau dosen senior, bahkan sangat senior. "Orangnya memang menyebalkan" ujar seorang kakak kelas. Lalu mengalirlah cerita mengenai sifatnya yang menyebalkan dan membuat gemuruh kemarahan, juga dendam, pada beberapa kakak kelas.

Dan cerita itu ternyata diwariskan. Kebetulan pewaris sahnya adalah saya dan beberapa orang kawan seangkatan. Kami dianggap tipikal mahasiswa yang hanya bisa haha-hihi, atau ketawa-ketiwi, tapi otak kosong melompong. Plus dengan dandanan kami yang brutal, imej kami sebagai mahasiswa tak berbudi luhur lengkap sudah.

Writing 01, saya lolos dengan nilai C. Pas-pasan. Tapi beberapa kali pula saya bersinggungan dengan Pak Noer. Lalu pada semester 2, MK Writing 02 masih diampu oleh beliau. Kali ini saya tak lolos. Dapat E.

Nilai itu saya tertawakan dengan getir. Kebetulan, di semester 2, saya mendapat satu lagi nilai E. Kali ini untuk MK Grammar 02. Kebetulan pula, MK tersebut diampu oleh istri Pak Noer, Bu Mei. Tapi berkebalikan dengan Pak Noer, Bu Mei sangat sabar dan bijak. Cara ngajarnya pun menyenangkan. Kalaupun saya dapat E, itu karena memang saya yang terlampau tolol. Dan saya ikhlas menerima nilai E tersebut. Berbeda dengan nilai E yang diberikan oleh Pak Noer, saya tak pernah ikhlas menerimanya.

***

Tahun berlalu dengan cepat. Saya sudah menginjak semester "tua". Lagi-lagi saya bertemu dengan Pak Noer. Kali ini untuk MK Prose 02. Agar dapat nilai yang tak jelek-jelek amat, saya rajin masuk. Plus rajin mengerjakan tugas. Ketika ada presentasi pun, saya termasuk rajin berinteraksi. Saya pikir setidaknya saya mendapat nilai B. Sejelek-jeleknya ya C.

Tapi Pak Noer berkehendak lain. Saya dapat D. Saya tak tahu apa dasar beliau memberikan nilai seburuk itu. Dan saya sudah terlalu malas untuk berurusan dengan orang bebal dan tak punya perasaan macam beliau. Maka sampai saya lulus, saya biarkan nilai D itu mengendap di transkrip. Biar ia membatu, menjadi gumpalan kemarahan yang tak pernah tersalurkan. 

Dan itu adalah satu-satunya nilai D di transkrip saya.

***

"Pak Noer sudah pensiun mengajar. Beliau sakit mata. Jadi pensiun dini" ujar seorang teman melalui pesan pendek.

Saya terhenyak. Entah saya harus senang atau sedih. Karena ternyata saya tak pernah bisa menjadi seorang pendendam. Kenangan pahit diusir di kuliah pertama itu, sekarang malah jadi bahan lelucon yang tak pernah habis-habisnya dibahas. Lalu nilai D di transkrip? Saya anggap itu sebagai variasi. Bukankah hidup yang tak bervariasi itu tak bagus? Maka biarlah saya mengoleksi berbagai nilai, dari A, B,C, hingga D. Variatif bukan? Kalau saja nilai E diperbolehkan masuk dalam transkrip, niscaya akan ada satu atau dua nilai E disana.

***

Kemarin kebetulan saya ada di kampus untuk mengurus wisuda. Ketika nongkrong di gazebo, saya melihat sesosok tua yang berjalan. Ia tampak ringkih. Rambutnya tak lagi perak, melainkan memutih. Jalannya perlahan. Ia masih saja sering memakai baju ham kotak berwarna hijau, dengan celana bahan berwarna coklat. Itu Pak Noer.

Saya kaget. Bukannya Pak Noer sudah pensiun?

Tapi saya tak begitu terkejut. Dosen-dosen di fakultas saya terkenal dengan dedikasinya yang tinggi. Masih lekat pada ingatan, bagaimana Pak Busjairi, dosen tertua di fakultas saya, masih mengajar walau ia harus berjalan dengan tongkat dan dipapah. Juga Pak Hendri, yang masih dengan semangat membara, terus mengajar walau ia harus duduk di kursi roda. Saya kira Pak Noer juga sama...

***

Tadi siang saya ketemu dengan Bu Mei untuk minta tanda tangan di bendelan skripsi. Beliau adalah salah satu anggota tim penguji skripsi saya. Setelah semua bendelan selesai ditandatangani, saya bertanya mengenai pak Noer. Bukan untuk basa-basi, melainkan benar ingin tahu.

"Pak Noer itu terkenal Glaukoma, jadi matanya terancam buta. Sekarang penglihatannya tinggal 10% saja" kata Bu Mei dengan tegar.

"Tapi satunya masih bisa berfungsi kan bu?"

"Kalau mata yang satunya itu sudah buta" jawabnya. "Tinggal 18 bulan lagi menuju masa pensiunnya Pak Noer. Ya Pak Noer mau menghabiskan masa pensiunnya itu" lanjutnya. Perempuan baya ini masih tegar, masih tetap tersenyum.

Saya terdiam. Kaki saya seperti terpaku diatas lantai. Saya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu dengan berusaha keras, saya mengucap "semoga Pak Noer baik-baik saja bu". Itu tulus, bukan basa-basi.

Satu jam kemudian saya duduk di Kansas. Saya melihat Pak Noer berjalan dengan dituntun seorang mahasiswanya. Ia memang ringkih. Tapi masih bisa tertawa-tawa dengan mukanya yang jenaka itu. Dalam hati saya mendoakan yang terbaik untuk beliau.

Saat itu saya tahu, kemarahan saya sudah menguap. Seperti embun yang tertiup angin pada pagi yang lindap, hingga ia hilang bercampur dengan udara. Juga seperti daun jati yang meranggaskan sisa daun-daun kemarahan di musim kemarau, hingga ia berjatuhan di atas tanah, lalu  membusuk dan menjadi humus...

1 komentar:

  1. jadi humus, syukurlah. tadi siang pak Noer sakit di ruang jurusan. hingga butuh digotong menuju mobil. mari berdoa buat pak Noer.

    BalasHapus