Rabu, 29 Juni 2011

Na cesti!

Saat itu kaki saya baru menapak di stasiun Munich. Selepas dari Passau, saya langsung menuju salah satu kota besar di Jerman ini untuk lalu pergi ke Italia. Tepatnya ke Venezia. Saat itu hujan. Diluar dingin. Saya duduk di lantai stasiun, di depan sebuah kios koran yang sudah tutup. Menyeruput segelas kopi susu yang kopinya ternyata diimpor dari Jawa, tanah kelahiran saya.

Kereta menuju Venezia masih nanti, pukul 11 malam. Sedang sekarang jam masih berdetak di angka 9 saja. Sembari duduk, saya membaca Braveheart, novel yang diadaptasi dari film berjudul sama yang berkisah mengenai para pemberontak Skotlandia yang membangkang pada Inggris. Itu salah satu film terbaik sepanjang masa.

Adegan terbaik tentu ada pada akhir film. Ketika William Wallace --tokoh utama yang diperankan dengan sangat gagah oleh Mel Gibson-- disuruh untuk meminta pengampunan pada Longshanks, sang raja Inggris. Kalau William bersedia meminta maaf, maka hukuman mati akan dipercepat, tanpa siksaan. Tapi William tak berkata sepatah pun. Siksaan pun menderanya sampai sekarat menghampiri.

Ketika nyawa sudah diujung ubun, William seperti mau berbicara. Susah sekali mengusir sang malaikat pencabut nyawa untuk mengucap sepatah kata itu. Sang pimpinan eksekusi mendekat, berharap mendengar sepatah kata "ampun bos" dari William. Ternyata kata "ampun bos" tidak keluar.

"Freeeedoooommmmmm!!!!!" teriak William dengan sekuat tenaga. Menghimpun kekuatan yang bercampur dengan nyawa yang tinggal seujung kuku.

Semua penonton terdiam. Terhenyak. Begitu pula sang pemimpin eksekusi dan algojonya. Longshanks yang saat itu juga sedang sekarat, mendadak seperti mendengar teriakan sang pencabut nyawa. Dan matilah ia, mendahului William Wallace, sang musuh bebuyutan yang kepalanya lantas dipenggal sekali tebas oleh sang algojo.

Itu adegan yang sangat heroik. Sangat macho dan menggugah. Saya tak pernah bisa menahan mata untuk tidak berkaca-kaca ketika menonton adegan puncak itu.

Suara dari speaker memanggil. Kereta malam menuju Venezia sudah datang. Saya lantas bergegas memanggul ransel dan sedikit berlari menuju kereta. Kereta ini tidak langsung menuju Venezia. Nanti saya harus turun di Villach, sebuah kota yang terletak di selatan Austria. Kota dengan penduduk berjumlah 58.000 ini indah sekali. Konon para manusia purba sudah mendiami daerah ini sejak 3500 SM.

Saya memasuki kereta. Di kereta malam ini terdapat kompartemen yang setiapnya berisi 6 tempat duduk. Ada beberapa kompartemen yang kosong. Saya mencari salah satu. Saya melihat ada satu kompartemen yang berisi 1 orang berkacamata dan berambut gondrong serta 2 orang perempuan remaja memakai hot pants dan memanggul ransel berukuran 35 liter.

Saya berusaha mencari kompartemen di sebelahnya. Terkunci. Lalu tampak 2 orang perempuan remaja itu keluar dari kompartemen yang tadi saya lihat. Ah, mending saya ke kompartemen tadi. Pria gondrong berkacamata itu sendirian saja. Lantas setelah memastikan bahwa tempat itu kosong, saya menaruh ransel berat saya ke atas, lalu duduk tenang di depan pria berwajah mirip Chris Robinson itu.

"Man, your face reminds me of Chris Robinson" kata saya spontan. Membuka percakapan.

"Hahaha, thank you. He's a good man. But I'm not that flamboyant" ujarnya sembari mengibaskan tangan ke atas dan kebawah, seperti gaya Chris Robinson kalau sedang bernyanyi bersama bandnya, The Black Crowes.




Layaknya konser yang pintunya baru saja dibuka oleh pak polisi, obrolan kami pun lantas mengalir dengan lancar, selancar para penonton gratisan yang masuk menyerbu pintu itu.

Dugaan saya benar adanya. Dia adalah seorang hippy. Miran Kodric von Chufta itu namanya. Pria dari Ljublana, Slovenia, ini sedang pulang kampung. Menemui seorang teman lamanya.

Ia lalu mengubek tas dari kain yang tadi ditentengnya. Terdengar suara kaca beradu. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebotol bir.

"You want some?" ujarnya. Saya menggeleng. Tidak sedang dalam mood meminum bir.

Pria berambut emas ini lantas menaruh buku yang dari tadi dipeluknya bagai kitab suci, berganti memegang sebotol bir yang tampaknya segar. Saya melempar pandangan ke buku berjudul Na cesti itu. Alamak, ternyata buku bersampul tangan yang sedang mengacungkan jempol alias hitchiking itu adalah buku Jack Kerouac!


"Wah, kamu suka Jack Kerouac ya?" tanya saya antusias.

"Man, this is my bible. Buku ini adalah kitab suciku" jawabnya dengan mata berbinar.

Bagi para pejalan, Jack Kerouac bisa dibilang sebagai pencerah. Penulis novel dan puisi ini bersama dengan William S. Burroughs dan Allen Ginsberg mempelopori gerakan Beat Generation di Amerika pada era perang Vietnam.

Pada tahun 1945, Jack menuliskan dua buah draft dengan judul tentatif "The Beat Generation" dan "Gone on the Road". Lantas dua karya itu dilebur dan ditulis ulang selama 6 tahun. Pada April 1951, jadilah gabungan dua draft itu dalam bentuk satu buah novel yang lantas jadi kitab suci bagi para pejalan: On The Road.

Buku ini menceritakan mengenai petualangan Dean Moriarty dan Carlo Marx. Dua tokoh ini berkeliling Amerika, dengan bumbu musik jazz, puisi, dan juga drugs. Buku ini seperti penuangan kisah pribadi Jack yang pernah berkeliling Amerika bersama Neal Cassidy pada akhir 1940-an.

Saya memang hanya pernah membaca On The Road. Buku Jack Kerouac lainnya belum pernah saya baca. Tapi sekalipun saya tak pernah menjumpai buku Jack berjudul Na cesti seperti yang dibawa oleh si Chufta ini.

Akhirnya saya pun penasaran dan membuka buku itu. Isinya ditulis dalam bahasa Slovenia. Bahasa Jerman yang populer itu saja selalu membuat saya pusing jika melihatnya, apalagi Bahasa Slovenia yang tampak seperti bahasa para alien di mata saya.

Lalu saya melihat halaman keterangan yang biasanya terdapat judul asli, tahun berapa diterbitkan, siapa penerbitnya, dll. Tampaklah judul asli dalam bahasa Inggrisnya: On the Road!

Hahahaha. Saya tertawa keras waktu itu. Na cesti rupanya bahasa Slovenia untuk On the Road.

Entah kenapa, obrolan dengan Chufta ini mengingatkan saya pada sosok William Wallace yang menyerukan pentingnya kebebasan, bahkan di saat menjelang nyawanya tercerabut. Hippy tentu identik dengan kebebasan. Bagaimana dengan sang hippy Slovenia kita ini? Kenapa dia tidak menikah? Apa takut menikah akan menghalangi kebebasannya sebagai seorang pengelana? Apa dia tidak akan menikah selamanya?

"Hahaha, never say never man. Aku juga punya cinta sejati. Dan cinta itu sudah kami perjuangkan selama 6 tahun. I fight everything. Tapi sekarang cinta itu sepertinya sedang tidak cocok dengan saya. Jadi inilah saya" ujarnya sambil terbahak.

Kalau tertawa ia selalu mencondongkan mukanya ke depan. Mulutnya pun membuka lebar. Terbahak, dan menunjukkan gigi depan yang tanggal. Mengingatkan saya pada seorang kawan SMA yang giginya tanggal karena menabrak truk yang sedang parkir.

"Karena sekarang saya tak punya cinta lagi, I have nothing to lose" lanjutnya pelan.

Obrolan kami kembali meluncur cepat. Sama seperti kereta ICE yang kami tumpangi. Diluar sedang gelap gulita. Chufta membuka botol birnya yang kedua. Bir seperti pemicu banjir kata-kata dari mulut pria yang pernah menyelenggarakan konser The White Stripes di Ljublana ini. Mulai dari Chomsky, Sartre, kapitalisme, sosialisme, hidup bohemian, pengalamannya hidup di Italia selama 6 tahun, juga pengalaman hidup berpindah tempat di 23 negara lainnya, lalu koleksi ribuan bukunya yang dititipkan di rumah seorang kawan, anekdot mengenai orang Albania yang katanya ada dimana-mana karena beranak pinak seperti tikus, hingga masa depannya.

"You know man, the whole planet is my home... I am the member of the planet. Bumi ini adalah rumahku, tidak dibatasi oleh batas geografis" ujarnya santai sembari membuka botol bir ketiganya malam itu.

Lalu datang dua orang polisi memerika paspor kami. Sembari memeriksa paspor, salah seorang polisi bertanya pada saya, "sudah coba bir Jerman belum?" Saya jawab belum. Polisi muda itu pun tertawa sembari menyuruh saya mencoba bir Jerman.

"Germany's beer is the greates beer in the world dude, you have to try it" ujarnya bangga sembari tertawa.

"I told you" sahut Chufta sembari menunjuk muka saya yang diikuti oleh suara tawa yang membahana.

Obrolan masih terus berlangsung. Sedang lampu kompartemen sudah kami padamkan. Malam masih panjang, sedang kami sepertinya sudah mengantuk.

"Kau gak ngantuk kalau minum bir?" tanya saya polos. Kebiasaan saya adalah selalu mengantuk dan tidur pulas setelah meminum bir.

"Hahaha, kalau ngantuk ya ngantuk aja. Mau minum bir berapapun kalau gak ngantuk ya gak akan ngantuk" jawab dia kocak lalu tertawa lagi. Oke, saya yang bodoh. Dan itu tadi pertanyaan bodoh.

"Jadi, sekarang eksistensi manusia bukanlah 'to be or not to be', tapi 'to beer and not to beer' " ujarnya sembari menyitir kata William Shakespeare dalam soliloquy Hamlet. Ia lantas tertawa keras setelah melontarkan guyonan orisinil itu.

Ia merebahkan badan. Kompartemen itu hanya terisi oleh kami berdua. Jadi kami bisa merebahkan badan. Mata Chufta sedikit menutup. Lalu ia berceracau sebentar. Lantas diam. Ia tertidur sudah.

Rupanya ia minum bir ketika mengantuk...

***

Untuk yang tertarik berteman dengan sang bohemian flamboyan ini, silahkan kunjungi facebooknya disini

1 komentar:

  1. ampun boosss<--- iku lak sandi macan guduk william wallace haha

    BalasHapus