Agustus 1991. Saat itu cuaca sedang mendung. Sebuah perahu pinisi bernama Ammana Gappa yang berisi 8 orang suku Konjo, dua orang pemilik kapal, dan satu wartawan, baru saja lepas sauh. Meninggalkan Benoa, Bali, untuk kemudian pergi menuju Madagaskar, Afrika. Pelayaran yang direncanakan berlangsung selama 35 hari itu dimaksudkan untuk menapaktilasi perjalanan nenek moyang suku Konjo, yang pernah berlayar menggunakan perahu pinisi tradisional dari Indonesia menuju Madagaskar.
Kapal ini dipesan oleh sepasang suami istri bernama Michael dan Anne Carr. Michael sendiri adalah lulusan sekolah maritim di Inggris. Mantan perwira ini melakukan riset panjang tentang pinisi sebelum akhirnya menjual hampir seluruh asetnya untuk memesan perahu pinisi.
Norman Edwin, yang saat itu belum menjadi almarhum dan masih menjadi wartawan andalan Kompas, turut serta dalam pelayaran gila itu. Kenapa disebut gila? Adrian Horridge, salah seorang pakar mengenai perahu Indonesia, pernah memperingatkan Michael untuk membatalkan pelayaran musykil ini. Sang penulis buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia dan Sailing Craft of Indonesia berkata bahwa pinisi tak bisa mengarungi samudera. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kapal ini akan patah terhantam gelombang.
Perahu ini dinahkodai oleh Muhammad Yunus yang membawa serta 7 awak kapal; Appong, Makatutu Abba, Saparing, Araudin, Uddin, Muhammad dan Jumadi. Mereka semua adalah orang-orang Konjo, yang sering juga disebut dengan suku Kajang. Suku ini banyak mendiami Bulukumba, daerah yang dikenal sebagai daerah pembuat kapal pinisi tradisional.
Appong, yang namanya mengingatkan saya pada salah satu warung mie terkenal di Jember favorit Dwi Putri Ratnasari, berkisah bahwa orang-orang suku Konjo adalah pelaut yang handal. The great pirates, tambah Michael.
"Cuma karena mereka ini low profile, sehingga kehebatan mereka tenggelam oleh pelaut Bugis dan Makassar" ujar Michael lagi.
"Kami juga orang Bugis dan Makassar, hanya memang kami tinggal di Bira dan bahasa kami berbeda sedikit" sanggah Appong yang saat itu sedang memegang kemudi.
Michael sendiri tertarik untuk berlayar ke Madagaskar setelah membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa di Madagaskar ada sebuah kampung yang para penduduknya berbicara dengan bahasa yang mirip dengan bahasa Konjo. Suku itu dikenal dengan nama suku Meira, dan dalam banyak buku sejarah, mereka diakui sebagai keturunan orang Indonesia.
Norman sendiri menurunkan artikel panjang mengenai pelayaran ini dalam Kompas tertanggal 7 Oktober 1991, lalu 26 hingga 29 Desember 1991. Artikel ini sungguh sangat menarik. Panjang namun tak bertele-tele. Deskriptif. Tajam, terutama dalam mendedah perbedaan pendapat antara Michael yang berpikiran logis serta mempunyai dasar akademis ilmu pelayaran, dan orang-orang Konjo yang dalam membuat kapal serta berlayar masih mengikuti tradisi nenek moyang mereka.
***
Kalau sebuah band membuat film, apa yang anda harapkan? Sebagai fans hair metal, tentu saya mengharapkan ada kegilaan besar, madness, chaos, sex drugs booze rock n roll, juga semua histeria massa. Atau bisa juga perjalanan eksistensialis macam When You're Strange-nya The Doors. Oh, coba tengok film dokumenter band Indonesia pertama: Generasi Menolak Tua punya band high octane rock, Seringai. Disana digambarkan bagaimana para om-om yang sudah tak lagi muda itu benar-benar menolak tua, bersenang-senang dengan cara mereka sendiri, memainkan musik mereka, ada histeria massa, hingga menceritakan sejarah band. Begitu juga film-film tentang musisi lain, sebut saja Risky Summerbee and the Honeythief, hingga para punggawa Jogja Hip Hop Foundation.
Rata-rata bercerita mengenai band, proses bermusik mereka, hingga apa yang mereka inginkan untuk band ke depan.
Makanya saya terhenyak ketika seorang teman bercerita bahwa The Trees and the Wild membuat film dokumenter berjudul Dua Tiang Tujuh Layar. Berasa aneh dengan judulnya karena sama sekali tidak berkaitan dengan musik? Tentu saja, karena film ini bercerita mengenai kehidupan para pembuat kapal pinisi di Bulukumba.
Lah, apa hubungannya The Trees and The Wild dengan pinisi dan masyarakat Bulukumba?
Dalam press release, trio ini menjelaskan bahwa:
Dua Tiang Tujuh Layar is a manifesto of ideas and a concrete step from The Trees and The Wild onto many things. For the band, audio-visual works are usually poured into the form of video clips, with promotional background activities and publications of the respective bands. That definition and understanding is fully understood by the Trees and The Wild, but there are different concepts that dwell in their mind which are viewed with broad perspective's.
Film yang disutradarai oleh Swargaloka ini sungguh sangat cantik. Penuh dengan taburan senja, anak pantai yang tertawa, dan perkataan penuh makna dari para pembuat kapal disana.
Tapi setelah melihat film ini, saya lantas bertanya-tanya? Lah, para trio ini kemana ya? Kenapa gak ada di film sama sekali? Hanya lagu Malino, single dari album pertama; Rasuk, yang mengiringi film ini. Keseluruhan filmnya sama sekali tak menampilkan punggawa band ini. Malino sendiri adalah nama sebuah daerah di pegunungan di Gowa, Sulawesi Selatan.
Saya kok jadi malah merasa film ini adalah proyek dari sang sutradara. Juga semacam "proyek" dari Telkom Indonesia, karena brand ini muncul pas di awal film.
Jadi sampai sekarang saya masih penasaran, dimana peran The Trees and The Wild dalam film ini? Apa sebatas sampai produser? Seharusnya jika memang film Dua Layar Tujuh Tiang ini adalah manifesto ide dan penerapan konkrit dari The Trees and The Wild terhadap banyak hal, mereka harusnya menjabarkan apa hubungannya ide mereka terhadap kapal pinisi dan kebudayaan masyarakat Bugis.
Tapi terlepas dari pertanyaan itu (yang mungkin diakibatkan oleh otak saya yang memang kurang encer), film ini menarik jika kita menilik berbagai aspek.
Salah satunya mengenai desain kapal.
Dalam pembuatan kapal, pembuat pinisi sangat berpegang teguh pada tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.
"sekalipun kita tidak punya gambar, untuk bikin kapal, tapi karena kita sudah banyak pengalaman dari dulu hingga sekarang, kita gak bisa lagi lupakan, begitu." ujar salah seorang pembuat kapal yang diwawancarai.
Kapal pinisi sekarang memang masih dibuat berdasarkan tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Tapi karena tuntutan jaman, mereka memadukan dengan peralatan modern.
"Mudah-mudahan kapal ini selamat dalam pekerjaan, cantik kelihatan, selamat dari pembuatan, nilainya tinggi. Setinggi dengan emas" ujar seorang bapak baya dengan kopyah yang tampaknya pembuat kapal senior. Semacam doa minta ampun pada sang nenek moyang karena telah memodifikasi perahu warisan mereka.
Hal yang sama juga pernah diungkapkan Yunus, kalau ternyata pembuatan kapal pinisi sekarang sudah tidak sama dengan pembuatan kapal pinisi tradisional.
"Kalau sekarang mesin ada, lagipula barang yang harus dibawa banyak, jadi perlu pinisi badan besar" ujar Yunus menanggapi banyaknya kapal pinisi yang sekarang bisa mencapai 400 ton.
"Pinisi yang asli memang sebesar ini, beratnya biasanya kurang dari 50 ton" lanjut Yunus sembari memandang Ammana Gappa yang jumawa dengan tujuh layar.
Dua tiang tujuh layar adalah ciri khas kapal pinisi, yang juga lantas dijadikan judul film dokumenter The Trees and The Wild ini. Dari dulu sampai sekarang, kearifan ini masih terus dijaga, walau beberapa hal sudah berubah. Itu termasuk layar dan tali untuk menahan tiang.
Dulu layar yang mereka gunakan terbuat dari jalinan daun lontar yang disebut karoro. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Lalu tali yang digunakan oleh para pelaut pinisi dahulu terbuat dari sabut kelapa. Sedangkan untuk menahan tiang digunakan rotan, tidak kawat seperti kapal pinisi modern.
Tapi Michael bilang kalau kapal pinisi sekarang masih bisa disebut kapal pinisi tradisional. Dia menambahkan bahwa layar terpal dan kawat penunjang layar telah dipakai sejak lawa, kira-kira sejak abad 19-an. Lagipula tali kawat yang dipakai kapal Ammana Gappa adalah buatan awak kapal sendiri yag dibuat dengan cara dijalin dengan tangan.
Pria brewok ini lantas menyebutkan bahwa pinisi ini baru ada sekitar 400 tahun lalu, ketika orang Barat datang ke Indonesia.
Para ahli maritim sendiri sepakat kalau bentuk asli para pelaut Sulawesi Selatan adalah padewakang. Kapal ini diasosiasikan sebagai "perahu bercadik atau perahu kecil" oleh Adrian Horridge dalam buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, yang ditulis pada tahun 1985.
Baru setelah itu orang Sulawesi Selatan meniru bentuk kapal layar dan membuat pinisi. Konon, pinisi itu berasal dari kata "pinnace", sebuah kata dalam bahasa Inggris yang berarti "sejenis perahu layar". Tapi para pembuat kapal Sulawesi Selatan itu tidak serta merta mencontek begitu saja kapal buatan Portugis yang menginspirasi pembuatan pinisi.
"Saya kira mereka melihat perahu layar Portugis dari kejauhan, jadi tidak bisa memperhatikan dengan seksama bentuk sesungguhnya" ujar Michael sembari memperlihatkan satu blok kayu untuk mengerek tali, berbeda dengan kapal layar Barat yang mempunyai roda katrol.
***
"Kalau kita kerja, orang bule mungkin punya gambar juga ada" ujar salah seorang pembuat kapal. "Kita ikuti apa kata pemesan, tapi ciri khasnya tak boleh terlepas dari pinisi. Yang sangat melambangkan bahwa pinisi adalah yakni dua tiang tujuh layar" sambung seorang pembuat kapal lain.
Kearifan tradisional ini mungkin susah dimengerti oleh kebanyakan orang Barat (yang mereka sebut sebagai orang bule) yang tidak percaya hal metafisik juga takhayul serta menjunjung tinggi logika.
"Tiap kali saya mengusulkan sesuatu dan dia menyetujui, tapi kenyataannya dia tetap membuat pinisi itu seperti menganggap kemauannya saja" keluh Michael pada Norman suatu ketika.
Michael menganggap beberapa bagian dari pinisi itu tak penting. Salah satunya adalah balass, alias batu pemberat. Mantan perwira kapal modern itu menjelaskan hitungan dengan fisika dan matematika modern. Sembari bilang kalau pada desain asli pinisi tak diperlukan balas untuk menyeimbangkan, ia berkata kalau para awak kapal memasukkan batu sebanyak dua truk ke badan pinisi. Setelah perdebatan seru dengan para awak kapal, para awak kapal mengalah dan akhirnya sekitar 1/3 batu itu dikeluarkan dari kapal.
Michael sendiri beranggapan bahwa jika batu itu dibuang semua, maka kecepatan kapal akan bertambah laju karena kapal bertambah ringan. Tapi para awak tak setuju. Menurut mereka itu sudah tradisi nenek moyang. Karena memang tak semuanya bisa dijelaskan dengan logika dan perhitungan matematis.
Tapi akhirnya Michael sadar bahwa semua hitungan matematis itu tak berlaku dihadapan alam. Semua tradisi dan kepercayaan, serta pengalaman dari para pelaut Konjo itu berhasil membuat kapal Ammanna Gappa berhasil berlabuh di Antsiranana (Madagaskar) dengan selamat, walau sempat dihantam gelombang besar yang hampir mengkaramkan perahu.
"Karena kebudayaan tak bisa dibuang begitu saja" ujar salah seorang tetua pembuat kapal pinisi dalam film Dua Tiang Tujuh Layar, berbelas tahun kemudian setelah perjalanan yang dilakukan Ammana Gappa.
***
Sekali lagi, terlepas dari semua pertanyaan mengenai peran The Trees and The Wild dalam film ini, dan apa kaitan manifestasi ide mereka terhadap pembuat kapal pinisi dan kebudayaan mereka, film ini sangatlah segar. Keluar dari pakem film yang biasa dibuat oleh anak band.
Dengan apik film ini menceritakan bagaimana para pembuat kapal tangguh ini begitu mencintai pekerjaan mereka. "Saya cinta sekali pekerjaan ini" tutur salah seorang pembuat kapal.
"Dan ini untuk anak saya mempelajari kalau dia sudah besar. Harapannya nanti kalau kita tua, mereka bisa gantikan kita" sambungnya.
Untuk menonton film ini, sila kunjungi: www.thetreesandthewild.com
berkunjunglah ke tana beru - di bulukumba, melihat langsung para pekerja phinisi :)
BalasHapustulisan yang menarik. tapi mau ralat sedikit, Malino itu bukan nama gunung. tapi nama daerah pegunungan yang sejuk di kabupaten Gowa, Sulsel. :)
BalasHapus@mr. brukss: siap, kalau ada kesempatan, pasti lah awak kesana. Makasih :)
BalasHapus@Wahyu: Makasih ralatnya bang. Segera dirubah :)
wah.. saya sering ke malino tiap akhir pekan :)
BalasHapuswah, pasti seru tuh tempatnya. Keren gak? :D
BalasHapusItu yg paling benar . Krn kbanyakan suku lain yg mgaku dirinya pelaut handal . Nyatanya prahunya aja dibuat ma org ara . N bikin perahu itu gak gampang perlu hitungan2 yg bagus .
BalasHapussaya suku konjo tepatnya dibira pantai kasuso ..n skrg dikapal wisata tigerblue .trima kasih udah Posting ttg phinisi .salut .