Saya beruntung punya induk semang yang baik dan perhatian. Saya sudah cerita kan kalau namanya Marianne? Beliau sudah baya, umurnya lebih dari 60 tahun. Tapi dia masih energik. Perempuan seniman ini membuat saya seperti tinggal di rumah sendiri. Dia membebaskan saya memakai dapurnya, membuatnya berantakan (walau ujung-ujungnya saya bersihkan sih), bebas memakai mesin cuci, setrika, hingga kebebasan untuk membawa serep kunci rumah.
Saya sempat terharu ketika beberapa hari lalu saya menderita sakit gigi hebat. Pagi-pagi saya terbangun dengan rasa linu yang teramat sangat pada gigi geraham atas bagian kiri. Kepala saya langsung pusing. Lalu saya bertanya pada Marianne apakah dia punya obat sakit gigi? Dengan tanggap dia langsung mengeluarkan satu kotak besar yang berisi obat dengan berbagai macam jenis. Kalau sedang memilah obat-obatan beliau jadi lebih mirip seorang apoteker ketimbang seniman.
Lalu dia memberikan satu pak obat berbentuk elips. Raut mukanya khawatir. Yang membuat terharu adalah perkataannya pada saya.
"Duh kasihan sekali anakku. Ayo diminum obatnya biar cepat sembuh. Apa mau ke dokter aja? Ayo aku antar, tempatnya dekat sini" ujarnya masih dengan mimik muka khawatir.
Saya menolak. Sepertinya saat ini memang obat saja sudah cukup. Dan obat itu sungguh manjur. Hanya sekitar 3 menit setelah diminum, obatnya langsung bereaksi dan gigi tak lagi cenat cenut seperti lagunya SM*SH.
Ada lagi kebaikannya yang membuat saya terharu sekaligus senang.
Tiap akhir pekan, biasanya Marianne berkunjung dan menginap di rumah seorang anak perempuannya. Ketika itu saya baru beberapa hari datang. Masih canggung.
"Nuran, aku masakkan nasi tuh. Ada di panci di atas meja. Semoga kamu suka dan merasa di rumah ya" ujarnya ketika berpamitan seraya menunjuk sebuah panci aluminium yang di dalamnya berisi nasi. Hiks, baik banget sih orang ini. Sempat-sempatnya menanak nasi dan berharap saya merasa makan di rumah sendiri.
***
Beberapa menit lalu Marianne datang dari menonton bioskop bersama salah seorang cucunya. Lalu kami ngobrol sejenak. Obrolan ringan tentang rencana saya berpergian selama beberapa hari.
"Nuran, mau red wine" ujarnya menawari.
"Rasanya gimana? Lebih manis ketimbang yang kemarin kan?" kata saya cengo. Karena kemarin ibunya Marianne memberi saya segelas white wine dari New Zealand. Dan rasanya masam seperti cuka. Saya hanya mencicipnya sedikit. Sampai sekarang gelas berisi wine itu masih ada di kamar, tak saya teguk barang sedikit pun.
"Hahaha, yang ini lebih manis kok. Mau?" tuturnya sembari tertawa melihat kecengoan saya. Setelah saya mengangguk, barulah ia mengambil gelas kecil dan dengan segera menuang red wine itu.
Anggur itu bermerk Fortin Plaisance, tertanda tahun 1995. Anggur ini sudah berumur 15 tahun. Orang bilang kalau semakin tua anggur, semakin yahud rasanya.
Maka gelas langsung saya sorongkan ke bibir. Rasanya asam! Tapi sedikit lebih manis ketimbang anggur putih New Zealand kemarin. Marianne lantas bercerita kalau merk ini adalah favoritnya. Seraya bercerita ia menawari dark chocolate dengan kandungan kakao 85%. Rasanya sedikit pahit. Pas untuk teman minum wine. Yak, sekarang saya berlagak jadi wine tester jempolan.
Maka kami ngobrol ngalor ngidul di dapurnya yang kecil tapi cozy itu. Mulai dari flat yang ternyata sudah disewa selama 27 tahun; anak cucunya yang begitu membuat dia bahagia; ibunya yang sudah berumur 90 tahun lebih tapi ngotot tinggal sendiri; pekerjaannya sebagai family advisor yang memberikan saran mengenai kontrasepsi, masalah seksual, dll; keluarga saya; apa yang ingin saya kerjakan setelah wisuda; dan mengenai Indonesia.
"Bagaimana soal Baasyir?" tanyanya dengan mata menatap tajam ke mata saya. "Apa orang semacam dia banyak di negaramu?" tambahnya.
Lalu saya menjelaskan bahwa di negara manapun pasti ada kelompok radikal yang tak punya otak. Bahkan di Amerika pun sekarang masih ada WASP atau KKK.
Lalu saya menjelaskan mengenai Pegayaman, desa Islam yang ada di Bali. Saya terangkan kalau di Indonesia semua agama berdampingan. Indonesia negara yang indah. Banyak buah tropis. Lalu saja jelaskan mengenai rambutan yang tak pernah ia lihat bentuknya maupun rasanya.
"Indonesia sepertinya negara yang indah ya" ujarnya sembari tersenyum.
***
Mungkin saya masih bisa menjawab mengenai Baasyir atau kerukunan umat beragama di Indonesia. Tapi saya pasti kebingungan kalau ditanya mengenai Ruyati. Untung Marianne masih belum tahu mengenai kasus ini. Semoga saja dia tak akan tahu. Walaupun kecil kemungkinan Marianne tak tahu, karena sekarang berita menyebar secepat bau kentut menyebar di ruangan kecil.
Ruyati adalah TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi. Dakwaannya adalah membunuh. Hukum di Arab Saudi adalah nyawa dibayar nyawa. Tapi hukuman pancung di jaman modern kok rasa-rasanya merendahkan manusia ya? Seperti menyamakan manusia dengan hewan yang disembelih pas kurban.
Apapun itu, saya tak akan menyalahkan siapapun kecuali pemerintah kita. Kasus Ruyati ini adalah entah kasus keberapa ribu yang menimpa tenaga kerja kita. Pemerintah kita jelas gagal melindungi warganya. Titik.
Saya bisa membayangkan kalau Marianne tahu kasus ini.
"Kenapa pemerintah negaramu gak melindungi warganya? Kok bisa sampai dipancung di negara orang? Apa kerja pemerintahmu?" Itu mungkin pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.
Tadi saya ngobrol dengan Panjul masalah ini. Panjul dengan ketus memberikan saran jawaban: "my country doesn't have government, madam". Saya sepertinya akan memperhalus sedikit. "Negaraku punya pemerintahan. Tapi yang mengisinya adalah gerombolan orang idiot." Sepertinya itu jawaban saya kalau Marianne bertanya mengenai Ruyati.
Negara saya tercinta dipimpin oleh orang tolol?
Tiba-tiba anggur masam ini berubah jadi sangat manis jika dibandingkan dengan kenyataan itu...
hati hati, ada anak HI yang ga terima negaranya di hina "CUMA" karena satu orang mati dipancung. got it?
BalasHapus