Bir di sini enak banget
Makanan nggak karuan
Masakan terburuk dunia: jerman
(Andy Budiman, Orang keren yang sudah tinggal menahun di Bonn)
Saya salut dengan Afni Prawesti, pacar kawan saya yang sekarang sedang Au Pair di Ingolstadt dan juga kursus bahasa Jerman di Goethe. Afni yang sudah hampir 1 tahun tinggal di negaranya Kraftwerk ini begitu kuat tidak makan nasi. Ketika barusan ngobrol via chat, dia bercerita kalau dia pernah tidak makan nasi selama 1 bulan. Olala.
Saya baru 3 hari di Hamburg dan saya sudah rindu nasi setengah mati. Saya kedengaran seperti pemuda manja yang suka mengeluh dan tidak bersyukur ya? Hehehe.
Tapi beneran, perut saya masihlah perut Indonesia. Ketika hari pertama sampai di kota ini, saya memang masih jet lag, jadi tidak enak makan. Keesokan harinya, saya tidak sarapan karena memang saya tidak biasa sarapan. Nah, siang perut mulai berontak. Tapi saya bingung mau makan apa. Beruntung, di seberang Goethe Hamburg ada Vinh Loi, supermarket yang menjual bahan makanan China. Di sebelahnya ada pula restoran China bernama Din Hau
Awalnya saya mau makan di restoran China itu. Tapi ketika ada gambar babi terpampang di etalase jendela, saya undur diri perlahan. Akhirnya saya masuk ke supermarket Asia itu. Mencoba mencari mie instan ala Jepang dan China. Karena kalau mendengar cerita Viera yang kesusahan mencari Indomie di Italia, saya menganggap prosentase bisa mendapat makanan kebanggan mahasiswa Indonesia itu di Hamburg adalah 0,1 persen saja.
Tapi ketika saya menyeseri rak mie instan, lihat apa yang saya dapat!
Indomie!
Saya akhirnya membawa pulang 1 Indomie goreng dan 1 Indomie rasa rendang. Masing-masing harganya 0,4 euro. Tapi sayang, ketika dimasak, saya harus menemukan kenyataan bahwa tak ada saus sambal dalam Indomie goreng ala Jerman ini, hiks. Mas Andy sendiri meledek, jauh-jauh ke Jerman kok cuma makan Indomie.
Tadi pagi seperti biasa, saya tak sarapan. Tapi masalah muncul ketika saya keliru memencet tombol air soda di dispenser (karena saya tak tahu apa arti tulisan di tombol itu) dan langsung saya minum. Kombinasi perut kosong dan air soda itu membuat perut cekat cekot. Perih.
Jam 10 pagi, kelas rehat selama 30 menit. Lumayan buat ngaso dan melahap roti yang biasanya tersedia di meja pantry. Tapi apa daya, roti yang biasanya disediakan gratis itu nyatanya tak ada lagi. Terpaksa saya menahan lapar. Sampai...
"Nuran, kamu mau ikut ke McDonald gak?" tanya Juan Carlos, teman sekelas saya yang berasal dari Mexico.
Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan ajakannya itu. Yang lain tak mau ikut karena waktu istirahat sangat mepet. Sepertinya memang saya dan Juan yang bakat jadi bajingan tengik di kelas ini.
Saat itu pula saya berkenalan dengan si kembar Bruno dan Luiz, duo Mexicana yang selalu jalan bareng Juan. Si kembar ini badannya kate, rambutnya coklat, berhidung mancung. Saya susah membedakan mereka (ya iyalah!). Tapi setelah saya perhatikan, Bruno jauh lebih ekspresif dan aktif ketimbang kembarannya.
Maka kami makan di McD pagi tadi. McD memang makanan paling murah disini. Untuk sepotong McMuffin Sausage (isinya roti muffin, daging sapi, telur, dan keju) harganya hanya 1,3 euro. Hanya sekitar 15 ribu rupiah. Coba bandingkan dengan harga McD di Indonesia. Untuk minum saya memesan cappucino seharga 1 euro. Cukup murah.
Ketika ngobrol itulah saya tahu kalau si kembar baru akan masuk kuliah. Masih bocah bau kencur rupanya.
"Coba tebak, kalau dilihat dari mukaku, aku umur berapa?" tanya Bruno kocak.
"Uhm, awal 20?" saya malah bertanya balik karena saya tak yakin
"Hahaha, kamu salah. Aku baru umur 18" kata dia jumawa karena saya salah menebak umurnya.
Trio dari Mexico ini ternyata suka sekali pesta.
"He's so fucking crazy" kata Bruno sembari menunjuk Juan yang cengengesan karena dibilang gila.
Tapi si Juan ini sepertinya memang slengeean. Selain suka menggoda Elena, teman satu kelas kami yang berasal dari Moskow, dia juga suka berceloteh mesum. Tadi si guru membikin satu kelompok yang berisi dua orang. Karena jumlah kami ganjil, maka ada satu kelompok yang berisi tiga orang. Tiba-tiba saja Juan berseru "threesome! hahaha" sembari tertawa keras.
Pancen Juancuki tenan kok :D
Sepulang kursus, hujan turun. Angin pun bertiup kencang. Walau musim panas, matahari kadangkala masih sungkan mau muncul. Saya punya rencana belanja bahan makanan hari ini. Marianne bilang ada supermarket yang cukup besar di dekat Isestr.
Dengan bergerimis ria, saya pun mendendangkan kaki menuju supermarket yang dituju. Hamburg memang kota yang menyenangkan. Orang-orang tak malu bersenandung "Halo" ketika bertemu, walau tak saling kenal. Entah bagaimana di kota besar macam Berlin. Saya penasaran. Minggu depan main kesana ah.
Oke, balik lagi ke topik semula. Saya sebenarnya bingung mau beli apa. Akhirnya sambil berkeliling, saya mencomot sekotak besar pizza tuna seharga 2,49 euro. Lalu sekotak jus apel seharga 1,39 euro, dan satu potong dada ayam seharga 1,1 euro. Tak lupa sebotol saus sambal merk Heinz seharga 1,49 euro untuk merangsang nafsu makan saya (dan ini tidak begitu berhasil karena saus ini sama sekali tidak pedas).
Untuk makan malam saya berencana makan pizza berukuran besar itu. Biar kenyang sekalian. Tapi ternyata saya salah pencet tombol di microwave, dan itu berakibat pizza jadi keras seperti batu. Tuk tuk tuk, itu bunyi kalau diketok. Seperti batu saja.
Tak apalah. Malam ini tahan lapar lagi ya. Pram aja bisa tidak makan selama 3 hari, masa saya gak kuat?
Sampai saat ini saya mengamini perkataan mas Andy tadi. Bahwa makanan Jerman itu buruk sekali. Entah kenapa, baunya bisa bikin eneg. Atau memang saya yang masih belum terbiasa. Semoga beberapa hari lagi saya akan terbiasa. Oh ya, saya tiba-tiba pengen minum bir.
Di luar sedang mendung. Dan lampu kamar mulai berpendar...
Makanan nggak karuan
Masakan terburuk dunia: jerman
(Andy Budiman, Orang keren yang sudah tinggal menahun di Bonn)
***
Saya salut dengan Afni Prawesti, pacar kawan saya yang sekarang sedang Au Pair di Ingolstadt dan juga kursus bahasa Jerman di Goethe. Afni yang sudah hampir 1 tahun tinggal di negaranya Kraftwerk ini begitu kuat tidak makan nasi. Ketika barusan ngobrol via chat, dia bercerita kalau dia pernah tidak makan nasi selama 1 bulan. Olala.
Saya baru 3 hari di Hamburg dan saya sudah rindu nasi setengah mati. Saya kedengaran seperti pemuda manja yang suka mengeluh dan tidak bersyukur ya? Hehehe.
Tapi beneran, perut saya masihlah perut Indonesia. Ketika hari pertama sampai di kota ini, saya memang masih jet lag, jadi tidak enak makan. Keesokan harinya, saya tidak sarapan karena memang saya tidak biasa sarapan. Nah, siang perut mulai berontak. Tapi saya bingung mau makan apa. Beruntung, di seberang Goethe Hamburg ada Vinh Loi, supermarket yang menjual bahan makanan China. Di sebelahnya ada pula restoran China bernama Din Hau
Awalnya saya mau makan di restoran China itu. Tapi ketika ada gambar babi terpampang di etalase jendela, saya undur diri perlahan. Akhirnya saya masuk ke supermarket Asia itu. Mencoba mencari mie instan ala Jepang dan China. Karena kalau mendengar cerita Viera yang kesusahan mencari Indomie di Italia, saya menganggap prosentase bisa mendapat makanan kebanggan mahasiswa Indonesia itu di Hamburg adalah 0,1 persen saja.
Tapi ketika saya menyeseri rak mie instan, lihat apa yang saya dapat!
Indomie!
Saya akhirnya membawa pulang 1 Indomie goreng dan 1 Indomie rasa rendang. Masing-masing harganya 0,4 euro. Tapi sayang, ketika dimasak, saya harus menemukan kenyataan bahwa tak ada saus sambal dalam Indomie goreng ala Jerman ini, hiks. Mas Andy sendiri meledek, jauh-jauh ke Jerman kok cuma makan Indomie.
***
Tadi pagi seperti biasa, saya tak sarapan. Tapi masalah muncul ketika saya keliru memencet tombol air soda di dispenser (karena saya tak tahu apa arti tulisan di tombol itu) dan langsung saya minum. Kombinasi perut kosong dan air soda itu membuat perut cekat cekot. Perih.
Jam 10 pagi, kelas rehat selama 30 menit. Lumayan buat ngaso dan melahap roti yang biasanya tersedia di meja pantry. Tapi apa daya, roti yang biasanya disediakan gratis itu nyatanya tak ada lagi. Terpaksa saya menahan lapar. Sampai...
"Nuran, kamu mau ikut ke McDonald gak?" tanya Juan Carlos, teman sekelas saya yang berasal dari Mexico.
Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan ajakannya itu. Yang lain tak mau ikut karena waktu istirahat sangat mepet. Sepertinya memang saya dan Juan yang bakat jadi bajingan tengik di kelas ini.
Saat itu pula saya berkenalan dengan si kembar Bruno dan Luiz, duo Mexicana yang selalu jalan bareng Juan. Si kembar ini badannya kate, rambutnya coklat, berhidung mancung. Saya susah membedakan mereka (ya iyalah!). Tapi setelah saya perhatikan, Bruno jauh lebih ekspresif dan aktif ketimbang kembarannya.
Maka kami makan di McD pagi tadi. McD memang makanan paling murah disini. Untuk sepotong McMuffin Sausage (isinya roti muffin, daging sapi, telur, dan keju) harganya hanya 1,3 euro. Hanya sekitar 15 ribu rupiah. Coba bandingkan dengan harga McD di Indonesia. Untuk minum saya memesan cappucino seharga 1 euro. Cukup murah.
Ketika ngobrol itulah saya tahu kalau si kembar baru akan masuk kuliah. Masih bocah bau kencur rupanya.
"Coba tebak, kalau dilihat dari mukaku, aku umur berapa?" tanya Bruno kocak.
"Uhm, awal 20?" saya malah bertanya balik karena saya tak yakin
"Hahaha, kamu salah. Aku baru umur 18" kata dia jumawa karena saya salah menebak umurnya.
Trio dari Mexico ini ternyata suka sekali pesta.
"He's so fucking crazy" kata Bruno sembari menunjuk Juan yang cengengesan karena dibilang gila.
Tapi si Juan ini sepertinya memang slengeean. Selain suka menggoda Elena, teman satu kelas kami yang berasal dari Moskow, dia juga suka berceloteh mesum. Tadi si guru membikin satu kelompok yang berisi dua orang. Karena jumlah kami ganjil, maka ada satu kelompok yang berisi tiga orang. Tiba-tiba saja Juan berseru "threesome! hahaha" sembari tertawa keras.
Pancen Juancuki tenan kok :D
***
Sepulang kursus, hujan turun. Angin pun bertiup kencang. Walau musim panas, matahari kadangkala masih sungkan mau muncul. Saya punya rencana belanja bahan makanan hari ini. Marianne bilang ada supermarket yang cukup besar di dekat Isestr.
Dengan bergerimis ria, saya pun mendendangkan kaki menuju supermarket yang dituju. Hamburg memang kota yang menyenangkan. Orang-orang tak malu bersenandung "Halo" ketika bertemu, walau tak saling kenal. Entah bagaimana di kota besar macam Berlin. Saya penasaran. Minggu depan main kesana ah.
Oke, balik lagi ke topik semula. Saya sebenarnya bingung mau beli apa. Akhirnya sambil berkeliling, saya mencomot sekotak besar pizza tuna seharga 2,49 euro. Lalu sekotak jus apel seharga 1,39 euro, dan satu potong dada ayam seharga 1,1 euro. Tak lupa sebotol saus sambal merk Heinz seharga 1,49 euro untuk merangsang nafsu makan saya (dan ini tidak begitu berhasil karena saus ini sama sekali tidak pedas).
Untuk makan malam saya berencana makan pizza berukuran besar itu. Biar kenyang sekalian. Tapi ternyata saya salah pencet tombol di microwave, dan itu berakibat pizza jadi keras seperti batu. Tuk tuk tuk, itu bunyi kalau diketok. Seperti batu saja.
Tak apalah. Malam ini tahan lapar lagi ya. Pram aja bisa tidak makan selama 3 hari, masa saya gak kuat?
Sampai saat ini saya mengamini perkataan mas Andy tadi. Bahwa makanan Jerman itu buruk sekali. Entah kenapa, baunya bisa bikin eneg. Atau memang saya yang masih belum terbiasa. Semoga beberapa hari lagi saya akan terbiasa. Oh ya, saya tiba-tiba pengen minum bir.
Di luar sedang mendung. Dan lampu kamar mulai berpendar...
Isestr, 8 Juni 2011
Sembari mendengar Grand Funk Railroad
Sembari mendengar Grand Funk Railroad
jancuuuuk tenananananananana asuususususususmu asu
BalasHapusHa ha ha...Luar bisa foto-foto dan gaya ceritamu hoo
BalasHapusHahahaha namanya Juancuki ?
BalasHapusSaya ngikutin terus ceritanya yang "nuran sekali".
Mantap Mbah ! :)
Juang ngganteng tapi mesum!.
BalasHapusworong worong worong...!
dhani: laopo fbmu mbok deactivate? :D
BalasHapusmas sigit: yang rada serius nanti ya mas :D
yudi: namanya sih juan, tapi kelakuannya slengean, jadi aku panggil juancuki :D
hermin: hehehe, biasane wong wedok ora perduli mesum opo ora, sing penting ganteng :D
ganteng-ganteng :)
BalasHapus:p
salam ya ran ma si Juancuki...haha
BalasHapus