Awalnya adalah kesalahan. Lebih tepatnya kesalahan yang membawa berkah. Jadi ketika saya baru sampai Hamburg, saya langsung menuju kantor Goethe Institute. Disana saya mendaftar, dapat sisa jatah stipendium, mengisi beberapa formulir, dan dapat dua lembar kertas.
Satu adalah lembar asuransi yang bakal menjamin kesehatan saya selama di Jerman. Lalu lembar kedua adalah lembar yang berisi jadwal kursus saya. Disana dengan jelas tertulis kalau hari pertama saya kursus adalah tanggal 7 Juni. Sedang hari terakhir kursus adalah tanggal 20 Juni. Kok cuma 2 minggu ya? Bukannya saya terdaftar kursus 4 minggu? Karena heran itulah saya menanyakan hal ini pada salah seorang staff GI yang mengurusi tetek bengek kursus saya.
"Yap, kamu terdaftar di kursus intensif 2 minggu" katanya.
Wah, berarti dari tanggal 21 saya bisa traveling. Itu pikir saya.
Tanggal 7 Juni itu hari Selasa, dan itu hari pertama kursus saya. Kursus berlangsung tiap hari dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu libur, dan minggu pertama saya pergi ke Belanda. Saya disana sampai Senin siang, karena hari itu sedang libur. Entah libur apa. Senin sore saya balik ke Hamburg.
Hari Selasa minggu kedua saya seharusnya ikut kursus. Tapi saya tergeletak, tak bisa bergerak banyak. Gigi tiba-tiba sakit dan berakibat kepala pusing dan badan sedikit demam. Kondisi itu berlangsung sampai hari Kamis. Hari Jumat tanggal 17 Juni saya kembali masuk kursus. Kembali saya tanyakan perihal kursus saya pada staff GI. Dia kembali berkata kalau kursus saya memang hanya 2 minggu. Lalu saya bertanya apakah ada ujian untuk kursus 2 minggu itu. Jawabannya adalah tidak ada. Yeah! Itu berarti ada 10 hari luang sebelum saya kembali ke Indonesia.
Mulailah saya jalan-jalan. Dari Italia saya pergi ke Perancis, tepatnya Paris. Tapi di kota metropolitan itu lah saya mendapatkan email yang mengejutkan.
Sang pengirim email adalah orang yang bertugas mengurus administrasi di GI Hamburg. Dia menuduh saya kabur dari kursus dan berlibur di Italia. Dia memaksa dan sedikit mengancam agar saya cepat kembali ke Hamburg dan menyelesaikan sisa kursus saya. Kalau tidak, maka saya harus mengembalikan uang stipendium yang saya terima.
Walah!
Akhirnya saya jelaskan semua kesalahpahaman ini. Dari kertas bertanggal 20 sebagai hari terakhir kursus itu, sampai ucapan sang staff GI. Tapi saya membalas email itu pas di akhir pekan, ketika semua kantor sedang libur. Jadi belum ada balasan dari si boss GI itu.
Saya sih sebenarnya deg-degan. Bagaimana kalau saya harus mengembalikan uang stipendium? Padahal uangnya sudah saya pakai buat beli tiket jalan-jalan, hahaha. Tapi kenyataan kalau saya masih memegang dokumen yang diberikan oleh staff GI sedikit menenangkan saya.
Selepas dari Paris saya tak langsung pulang. Saya melipir dulu ke Bonn. Menemui mas Andy dan bersenang-senang disana. Selepas dari Bonn rencananya saya mau ke Belgia sebentar, lalu ke Bremen, baru balik ke Hamburg.
Tapi sebuah email di hari Senin sore membuat rencana saya berantakan. Email dari sang boss GI itu lagi. Dia gak mau tahu. Pokoknya kamu harus kembali ke GI dan mengikuti sisa kursus saya, titik! Kurang lebih itu lah isi emailnya. Oh, that's ruined my day.
Akhirnya Selasa pagi saya dengan terpaksa pulang ke Hamburg. Sore saya sampai, menaruh tas, mengambil dokumen dari GI, dan langsung pergi ke GI dengan hati dongkol.
Setelah sampai di kantor GI, saya langsung mencari si boss yang kirim email. Ternyata dia pergi ke Munich dan baru balik hari Kamis. Akhirnya saya menemui staff yang memberikan saya dokumen itu.
Dia terkejut ketika saya menjelaskan semua hal itu. Dia dengan wajah tempias, berusaha meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Ia mengakui kalau ini adalah kesalahpahaman dan dia yang salah memberikan dokumen.
Oke, satu masalah sudah selesai. Tapi ada lagi yang menanti. Saya disuruh menghadap satu boss lagi. Awalnya dia menatap saya dengan pandangan sinis. "Oh ini anak yang seenaknya saja kabur dan berlibur di Italia itu?", kurang lebih itu arti pandangannya yang menusuk dari balik kacamatanya.
Lalu saya masuk ke kantornya dan memulai percakapan. Ketika saya mengeluarkan dokumen mengenai jadwal les saya, hilanglah semua kesinisan yang angkuh itu. Dia agak bingung karena mengetahui kalau itu semua salah pihak GI. Ia berusaha bermanis-manis, sedikit merayu agar saya mau melanjutkan kelas. Ketika saya menolak karena sudah tertinggal terlalu jauh, dia hanya bisa tersenyum pahit sembari berkata "oh, it's too hard ya?".
Lalu dia keluar. Entah melakukan apa. Saya duduk manis di ruangannya.
Tak seberapa lama dia kembali sambil membawa beberapa kertas . Antara lain ada jadwal les saya yang seharusnya 4 minggu itu. Akhirnya adu argumentasi dimulai, dan dia kalah. Kembali dia keluar ruangan. Sepertinya menghubungi boss yang mengirimi saya email.
Lalu dia masuk ruangannya lagi. Dengan nada tegas ia berkata "keputusan kami adalah kamu harus kembali ikut les dan membayar denda 150 euro karena kamu kabur". Singkat, padat, dan menyebalkan.
Langsung saja saya sambar dengan bacot saya yang sudah panas sedari tadi. Tapi karena dia tahu akan kalah kalau berdebat, dia memotong dengan ucapan "no argumentation!"
Hahahaha.
Saya sih ngotot gak mau ngelanjutin kursus dan tak mau bayar. Bodohnya pula dia kemudian bertanya "kamu bisa bayar uang denda itu gak?". Saya sambar aja "ya jelas gak bisa!". Setelah itu saya berpamitan dan langsung keluar dari ruangan.
Selesai?
Belum. Sebenarnya sikap saya ini adalah sikap kebanyakan orang Indonesia. Orang Indonesia kadang terlalu pemurah dan baik. Dulu Portugis dan Belanda berhasil menanamkan pengaruh dan menjajah kita karena tangan kita yang selalu terbuka dengan kedatangan orang asing. Tapi mereka dikasih hati malah minta ampela. Akhirnya keenakan, dan berakhir dengan bangsa kita dijajah selama 350 tahun oleh Belanda.
Sikap saya juga seperti itu. Seharusnya ketika tahu bahwa ini bukan kesalahan saya, saya bisa saja dengan marah meminta jatah uang stipendium saya yang dipakai untuk membayar kursus selama 4 minggu tapi hanya saya ikuti selama 2 minggu. Tapi itu tak saya lakukan. Lalu saya bisa saja menuding muka staff Goethe yang salah memberikan dokumen, seketika menimpakan kesalahan padanya. Tapi saya tak melakukan itu. Saya malah minta maaf karena merepotkan dia. Saya kasihan melihat muka pucatnya ketika tahu dia bersalah.
Entah saya bodoh atau baik. Inlander mungkin?
Tapi saya pikir semua sudah selesai. Tinggal tugas saya untuk menjelaskan duduk permasalahan ini pada orang Goethe Jakarta. Saya merasa tak enak pada Mbak Elia, staff GI Jakarta yang mengurusi keberangkatan saya. Ketika menerima email dari boss GI Hamburg, mbak Elia juga ikutan bingung. Nanti sesampai di Jakarta pasti akan saya jelaskan semuanya.
Saya juga sebenarnya dongkol pada semua masalah ini. Gara-gara kesalahpahaman ini saya batal mengunjungi Brussel. Juga gagal mengunjungi orang Jember yang tinggal di Bremen. Padahal saya sudah membawa satu pak besar suwar suwir. Gara-gara tak jadi ke Belgia dan Bremen itu, jatah Eurail saya masih ada 2 hari. Sayang sekali sebenarnya.
Tapi di satu sisi saya bersyukur. Sangat bersyukur malah. Coba saja kalau dokumen yang saya terima itu dokumen yang benar dan saya harus kursus 4 minggu. Bisa jadi saya tak sempat jalan-jalan ke Italia dan Perancis. Yang paling menyakitkan adalah: saya tak bisa mengunjungi makam Jim Morrison.
Tapi tuhan memang selalu melindungi para traveler. Seperti ada "tangan ghaib" yang membuat saya menerima dokumen yang salah , sehingga saya bisa berpergian. Saya percaya ini bukanlah kebetulan. Saya pun tak percaya pada yang namanya kebetulan.
God save the traveler!
sip mas :)
BalasHapusdan aku pun jadi semakin percaya gak ada yang kebetulan
bwahahahahaha... untunglah... wkwkwk akhirnya bayar juga?
BalasHapus