Senin, 06 Juni 2011

Deg-degan dan Kenorakan

Bis Damri Jurusan Gambir- Soetta

Belakangan ini saya seringkali deg-degan.

Deg-degan pertama tentu saja berkaitan dengan dunia akademis. Tanggal 30 Mei kemarin saya sidang ujian skripsi. Pas masuk ruang ujian dan menghadapi 5 orang dosen senior, saya tak sedikit pun deg-degan. Malah hari-hari sebelum hari H itu yang bikin hati saya jadi cetar-cetar gak karuan.

Satu malam sebelum ujian, saya "menculik" Ade, Umbar, dan Dika untuk menemani saya ngopi di Alun-alun Jember. Saya ngaku kalau waktu itu saya deg-degan berat. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.

Subuh menjelang, saya sudah bangun. Biasanya susah sekali saya bangun pagi hari. Saya deg-degan. Pas jemput Rina pun saya masih deg-degan. Saat ambil kue buat para dosen pun saya tetap deg-degan. Beberapa menit sebelum masuk ruang ujian pun saya masih deg-degan. Untung ada banyak teman yang menyemangati saya. Rasa gemetar saya sedikit berkurang.

Lucunya pas masuk ruang ujian, saya sama sekali tidak deg-degan. Plong. Walau ada beberapa pertanyaan dosen yang sedikit menyulitkan, terutama pertanyaan mengenai teori si Bourdieu itu. Selepas ujian, deg-degan tidak serta merta usai. Kali ini berkaitan dengan rencana perjalanan saya. Yang mungkin saja ini merupakan perjalanan terjauh selama 23 tahun saya hidup.

Beberapa hari sebelum keberangkatan saya makin tak enak makan. Rupa-rupanya saya ketakutan.

Bukan, bukan ketakutan akan pergi jauh dan tinggal di negeri orang. Pergi jauh dan harus beradaptasi dengan kultur yang berbeda itu sama sekali bukan masalah.

Tapi saya takut keteledoran saya akan menggagalkan perjalanan ini. Saya memang orang yang teledor. Tiap kali melakukan perjalanan, baik dekat maupun jauh, selalu saja ada hal yang lalai. Yang paling sering ya barang-barang saya ketinggalan di tempat tujuan. Makanya mamak dan Rina selalu "bawel" ngingetin ini dan itu. Mereka sepertinya sudah sangat hafal karakter saya.

Ketakutan itu makin menjadi-jadi kala beberapa waktu lalu saya ketinggalan kereta dari Jakarta menuju Surabaya.

Ketinggalan kereta itu rupanya membawa bekas luka bernama trauma. Saya jadi takut ketinggalan pesawat. Bagaimana kalau itu beneran terjadi? Lalu saya gak jadi pergi ke negaranya Karl May itu? Saya harus ngomong apa sama orang-orang yang sudah ngirim doa dan semangat? Ternyata Heidegger benar ketika dia dengan pongah berkata bahwa "time" itu bisa melahirkan angst alias anxiety, alias kegelisahan. Ketakutan akan masa depan memang kerap kali menimbulkan kekalutan, kegalauan, kegelisahan, atau apapun itu namanya.

Tapi syukurlah ketakutan itu tidak terjadi. Dan semoga tidak akan terjadi :)

Oh ya, bagian noraknya dilanjut di tulisan selanjutnya ya.

Dubai International Airport
Sedang menunggu pesawat yang akan membawa saya ke Hamburg

2 komentar:

  1. karl may apa karl marx sih jon nuran ?

    BalasHapus
  2. jaki: karl may, yang nulis winnetou dan old shatterhand. Bagiku, dia lebih berjasa ketimbang Karl Marx :D

    BalasHapus