Saya upload kembali untuk mengenang masa pendakian yang menyenangkan itu, dan juga sebagai ode buat para penduduk di lereng Merapi. Semoga tuhan bersama kalian para pemberani!
Buat para korban meninggal, semoga amal kalian diterima, dan tak ada tempat yang lebih menyenangkan untuk mati ketimbang di alam bebas. Buat keluarga yang ditinggalkan, buang air mata dan panjatkanlah doa...
***
Semua berawal dari kenyataan bahwa aku tak akan bisa backpacking pada bulan Juli. Hal itu dikarenakan aku harus menempuh semester pendek agar targetku untuk lulus bulan November tercapai. Menghadapi kenyataan itu, aku sedikit kecewa. Tapi itu tak berlangsung lama.
Bermula dari cangkrukan rutin di warung Bulek, aku melemparkan ajakan iseng pada Fahmi, teman SMAku yang hitam tapi tidak manis itu.
“Mi, munggah gunung yuk. Merapi koyoke enak (Mi, naik gunung yuk. Merapi sepertinya enak)” kataku.
Dan siapa yang menyangka ajakan iseng itu terealisasi.
***
Aku dan Fahmi mulai mengatur itenerary kami, termasuk budget perjalanan hingga dana untuk konsumsi. Kami ingin semua lancar. Maklum, kami sudah lama tak naik gunung. Aku terakhir naik gunung “beneran” adalah waktu aku mendaki ke Semeru pada tahun 2004. Fahmi sendiri terakhir naik gunung ketika dia masih menjabat sebagai ketua umum organisasi pecinta alam di kampusnya, pada medio 2007. Makanya aku menyematkan julukan pensiunan pendaki gunung pada kami berdua.
Ajakan iseng itu ternyata memakan korban. Beberapa hari menjelang hari H, ada 4 orang yang merelakan diri untuk ikut mendaki bersama kami.
Ada Zainul, pria 20 tahun banyak omong yang sering menjadi objek sarkasmeku yang sadis. Lalu ada pula Ruffo, pria tinggi besar yang berwajah sangar tapi berhati hello kitty. Ada Yoga, yang kapan hari pacarnya sempat aku maki-maki karena melarang Yoga beraktivitas di alam bebas. Terakhir ada Agus, pria bertubuh kecil, pendiam, dan selalu dijadikan objek kambing hitam oleh Zainul. Selain Agus, kami semua sudah berstatus mahasiswa.
Kami memutuskan tema untuk pendakian kali ini adalah “happy hiking.” Kami semua sudah lama tak mendaki gunung, jadi sebaiknya tak usah terlalu ngotot untuk mencapai puncak. Budget yang ditetapkan adalah IDR 150.000 per orang. Itu semua mencakup biaya perjalanan dan biaya logistik. Hari yang sudah ditentukan adalah Kamis, 25 Februari 2010.
***
Kamis, 25 Februari 2010. Kami semua sudah stand by di stasiun Jember. Kami akan menaiki Logawa, kereta api sejuta umat. Tujuan kami adalah stasiun Purwosari, stasiun kecil di Solo. Aku mendapatkan itenerary kasar dari seorang teman yang sudah mengenal Solo luar dalam. Dion Bandenk namanya, sang pria absurd pemuja Joy Division.
Harga tiket Logawa untuk menuju Solo dibandrol IDR 28.000. Murah bukan? Tapi kami jadi seperti tumbal dari petuah para kapitalis: ada harga ada mutu. Maka kami harus rela menempuh perjalanan selama 11 jam. Masih pula ditambah dengan aroma keringat para penumpang yang semerbak baunya. Tapi tak apalah, toh itu bumbu kehidupan. Dan lagi aku bisa puas menghina Zainul, sebuah kesenangan yang tiada taranya.
Satu hal yang aku perhatikan sejak dulu adalah para pengamen di dalam kereta. Semasa awal aku mulai backpacking di jaman SMP dulu, aku sering menemukan para pengamen dengan formasi big band. Para pengamen itu terdiri dari 2 gitaris, satu pemegang perkusi, satu biola, satu bass betot, dua vokalis, dan ditambah dengan satu orang yang bertugas meminta bayaran. Tak jarang lagu yang mereka bawakan adalah lagu suci. Aku pernah mendengarkan sebuah big band pengamen ini menyanyikan Jhonny B. Goode milik Chuck Berry. Mereka adalah para pengamen yang berdedikasi. Mereka bernyanyi dengan sepenuh hati. Mereka menganggap mengamen adalah pekerjaan, karena itu mereka serius. Karena itu pula aku selalu bisa menikmati lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Dan aku tak sayang melempar uang seribu rupiah ke dalam kantong plastik tempat uang mereka.
Tapi entah kenapa, beberapa tahun belakangan, tak ada lagi para pengamen seperti itu. Yang ada hanya pengamen yang tak ramah, yang menyanyi asal, dan kerap mengancam penumpang yang tak memberi uang. Satu hal lagi, jenis pengamen seperti ini biasanya menyanyikan lagu yang sedang booming, tak perduli lagu itu buruk sekali.
Kasus itu terjadi lagi padaku hari ini.
Siang sekitar jam 12.15 WIB, ada 3 orang pengamen yang mulai beraksi. Aku tak tahu siapa penyanyi lagu ini. Sampai aku diberitahu oleh seorang teman bahwa yang menyanyikan lagu ini adalah band bernama Armada (yeah, stupid name i know...). Liriknya kira-kira seperti ini:
Bukalah hatimu, bukalah sedikit untukku
Sehingga diriku uu uu, bisa memilikimu
Entah apa yang membuat lagu itu jadi terkenal. Setiap kali aku mendengar 3 orang itu bernyanyi, hawa panas di Logawa semakin menjadi-jadi. Zainul malah beberapa kali mengikuti nyanyian para pengamen itu. Jadilah aku memukul kepalanya berkali-kali dengan botol minuman.
Siksaan mental tak berhenti sampai disitu. Ternyata ada sekitar 5 orang kelompok pengamen setelah kelompok yang pertama tadi. Dan percaya atau tidak, 5 kelompok itu semua menyanyikan lagu dari Armada.
Sekarang aku tahu mengapa orang rela membayar mahal untuk naik kereta eksekutif...
***
Kereta sampai di Purwosari pada pukul 16.10 WIB. Tepat waktu. Sedikit aneh rasanya, mengingat terlambat adalah sinonim dari Logawa. Dari Purwosari, kami harus berjalan ke pertigaan Kerten (e pertama dibaca dengan lafal e dalam kata edan, dan e kedua dibaca dengan lafal e dalam kata elang). Tapi sebelum itu, kami menunggu Yudi, seorang teman dari Riau yang ikut bergabung dalam happy hiking kali ini. Yudi ini adalah seorang traveler cum fotografer yang baru pertama kali datang ke Jawa. Minggu lalu, Aku dan Ayos mengantar dia ke Ijen. Kali ini dia ingin ikut ke Merapi.
30 menit kemudian, Yudi datang, dan kami semua berjalan menuju pertigaan Kerten. Pertigaan ini terletak sekitar 500 meter dari Stasiun Purwosari. Tempat ini adalah sebuah persimpangan tempat orang menunggu tujuan Jogja, Semarang, hingga ke Surabaya. Tapi bis yang akan kami naiki adalah bis menuju Boyolali.
Disaat menunggu ini pula, ada sedikit kepanikan karena ibuku menelpon.
“Ran, mamak bikin nasi kuning. Ini mau dianter ke kosan atau ke Tegalboto?” tanya ibuku.
“Duh mak, Nuran lagi ada di luar kota” kataku sedikit panik.
“Ha? Lagi dimana emang?” tanya ibuku lagi.
“Uhm... Nganjuk” jawabku ngawur. Entah kenapa aku menjawab Ngajuk. Sempat terpikir jawaban Paris, tapi ibuku tak mungkin percaya.
Untunglah ibuku bersikap biasa. Aku memang tak pamit pada orang rumah tentang pendakian ini. Bukannya apa, setiap kali mendengar aku backpacking, ibuku langsung melotot sambil melontarkan pertanyaan klasik bagi para mahasiswa semester X, “Kapan skripsimu digarap? Mau lulus kapan?.”
***
Dari pertigaan Kerten, kami naik mini bus yang melayani trayek antar kota. Tarifnya hanya IDR 4000. Bagi yang ingin ke Merapi, bilang saja pada kondekturnya kalau kalian ingin turun di arah Selo. Nanti kalian akan diturunkan di pertigaan Surowedanan. Dari pertigaan inilah kalian bisa naik bis, pick up, atau colt untuk menuju desa Selo, desa terakhir di kaki gunung Merapi.
Malam itu kami naik di sebuah pick up milik seorang penduduk Selo. Dia kebetulan baru saja pergi ke Boyolali, dan ingin balik ke desa Selo. Ketimbang pulang dengan bak kosong, sang supir memilih untuk mengajak kami, dengan tarif diskon tentunya. Tarif normal untuk pergi ke Selo berkisar antara IDR 6000 – IDR 8000. Tapi malam itu kami cukup membayar IDR 5000 per orang.
Perjalanan dari Surowedanan menuju Selo memakan waktu sekitar 20 menit. Malam itu aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Entahlah, berada di tengah pepohonan yang lebat, dengan suasana jalan yang sepi, selalu berhasil membuatku berkontemplasi dengan sendirinya. Aku mulai berpikir mengenai tujuan hidup, masa depan, cita-cita, dan segala macam pernik kehidupan. Ah sial, aku jadi meracau.
Setelah kami sampai di desa Selo, kami lantas membayar retribusi. Nominalnya IDR 2500 saja. Dari posko pendakian itu, kami lalu pergi menuju pos pendaki. Jaraknya hanya sekitar 100 meter saja. Sang pemilik rumah bernama Pak Min.
Perlu aku terangkan, jalur pendakian menuju Merapi ada 2. Bisa lewat Jogja atau lewat Boyolali. Kalau kalian lewat Jogja, maka anda bisa menemui Mbah Maridjan yang kesohor itu. Tapi kalau anda lewat jalur Boyolali, maka anda akan menemui Pak Min ini.
Sampai di rumah Pak Min, kami sejenak merebahkan badan. Rumah Pak Min ini khas rumah pedesaan yang dijadikan pos pendaki. Tempat menampung para pendaki adalah ruangan depan yang luas, dengan satu dipan panjang tempat untuk beristirahat. Kalau dipan penuh, maka kalian bisa membeber matras untuk tidur di lantai yang terbuat dari semen itu.
Di depan rumah Pak Min, ada sebuah kios yang menjual souvenir ala Merapi. Mulai kaos, pin, stiker, hingga bandana. Yang bikin aku sedikit geleng-geleng kepala adalah sang penjaga dan teman-temannya menyetel lagu dari Wali dengan sound system besar yang biasa dipakai untuk pengajian. Tak ada lagi suasana syahdu ala pegunungan. Dan lagi, kenapa harus Wali?
Ketika kami sampai, terlihat ada sekitar 9 orang pendaki yang sudah bersiap untuk mendaki. Mereka sudah memanggul tas. Aku sempat berpikir, kok aneh ada orang yang mendaki pada malam hari. Tapi sepertinya hal itu sudah biasa di Merapi.
Sebelum kami tidur, kami sempat memasak. Menu malam itu adalah tempe bacem yang dibawa dari Jember, nasi, mie goreng, sambal bajak, dan chicken nugget. Karena tema pendakian ini adalah happy hiking, maka kami membawa nugget. Aku sempat menertawakan hal ini. Karena ketika aku dan Fahmi masih suka naik gunung, nugget tak pernah ada dalam daftar logistik. Menu makanan kami yang paling mewah saat itu adalah sarden kaleng, hahaha.
Setelah memasak, kami bersiap untuk beristirahat. Jam 4 pagi adalah waktu pendakian.
***
Alarm di ponselku menyalak garang pada jam 4 pagi. Aku terbangun, menikmati sejenak lagu Rock N Roll dari Led Zeppelin yang aku jadikan alarm signal, lalu tertidur lagi. Setengah jam kemudian baru kami bangun. Kami memasak mie goreng untuk makan dini hari, sekedar mengganjal perut. Tepat pukul 5 pagi, kami berangkat.
Sial, di depan jalan sudah terlihat menanjak.
5 menit kemudian aku terengah-engah. Begitu juga Zainul dan Agus.
7 menit kemudian, Zainul muntah. Agus hampir pingsan. Dan aku sekarat.
10 menit kemudian... Mamak tolooooonggggg!!
Kami memang para pendaki yang payah. Baru saja dihantam trek curam, kami langsung sekarat. Hanya Fahmi, Yudi dan Ruffo yang terlihat lelah tapi tetap tegar. Pada menit ke 30, kami berhenti sejenak untuk menikmati sunrise yang indah. Pemandangan terlihat begitu indah, di depan kami nampak gunung Merbabu. Yudi pun langsung kalap memotret. Lumayan, jeda memotret itu kami gunakan untuk istirahat.
Lalu kami berjalan lagi. Semua tampak sendu tersiksa lelah. Aku dan Yudi selalu berjalan belakangan. Yudi sibuk memotret, sedang aku sibuk menarik nafas. Dan memang Yudi senang sekali dengan pemandangan Merapi yang indah tiada banding. Berkali-kali dia berucap “tak rugi aku ikut ke Merapi mas. Jancook, bagus pemandangannya.” Beberapa hari berkumpul denganku sudah membuat Yudi mahir mengucapkan Jancuk, makian ala Jawa Timur yang aku ajarkan padanya. Memang aku guru yang teladan bukan?
Pendakian memakan waktu 4 jam. Kami semua terseok-seok seperti ikan meminum limbah pabrik. Pendakian ini sedikit banyak memberikan gambaran kebiasaan dari anggota tim.
Zainul suka sekali mengoceh tiada juntrungannya. Dia ngoceh apa saja, mulai politik, musik, sampai wanita. Sayang, otaknya tak sebesar mulutnya. Seringkali dia aku skak mat, dan lantas aku jadikan objek sarkasme yang aduhai.
Yoga suka sekali tidur dan mengentut. Kalau istirahat lebih dari 5 menit, sudah dipastikan ia akan tertidur. Kalau dibangunkan, suara yang pertama keluar adalah suara “duuut” dari pantatnya. Dan baunya, busuk tiada terkira.
Fahmi suka sekali istirahat sambil berdiri. Menurutnya, istirahat dengan duduk akan membuat orang tambah capek. Dan dia seringkali tertawa mendengar celoteh sadisku saat menanggapi ocehan Zainul.
Ruffo sukanya diam. Ada kentut dia diam. Ada ocehan Zainul dia diam. Dia hanya sesekali berbicara. Entah kenapa, aku merasa ia tak cocok masuk Fakultas Hukum.
Yudi sudah jelas, hobinya adalah memotret, sambil sesekali mengucapkan kata Jancuk.
Agus? Sudah takdirnya untuk selalu jadi pihak yang disalahkan. Hobinya adalah sesekali merepet tak jelas kalau dia dijadikan objek kambing hitam.
***
Kami mencapai Pasar Bubrah alias Pasar Setan sekitar jam 10.43 WIB. Disebut pasar setan karena tempat ini seringkali menyesatkan orang. Orang seringkali berhalusinasi melihat ada pendaki yang berjalan, dan dia mengikutinya, lalu dia bisa tersesat. Banyak orang mengira pendaki-pendaki itu adalah setan. Namun bisa jadi, semua itu disebabkan oleh kelelahan, yang lantas menimbulkan halusinasi.
Kami semua sudah merasakan apa yang disebut sebagai exhausted. Kelelahan tiada tara. Saat itu pula, aku memutuskan untuk tidak berjalan menuju puncak. Niat ini muncul karena melihat puncak Garuda (nama puncak gunung Merapi) masih jauh menanjak. Aku yang berangkat dengan tema Happy Hiking, jelas sudah tidak happy lagi saat itu.
Zainul dengan perut menggelambirnya juga sejenak mengamini keputusanku. Ia sudah terengah-engah, merengek seperti wanita yang dicolek pantatnya. Tapi karena makianku, dan motivasi dari Fahmi, maka ia memaksakan diri untuk mendaki. Puncak Merapi masih sekitar 1 jam lagi.
Maka jadilah aku berteduh di balik batu, menjaga tas-tas dan barang bawaan anggota tim. Aku membeber matras sambil membaca The Motorcycle Diaries, sebuah buku yang tak pernah bosan aku baca meski sudah selesai berulang-ulang. Sesekali aku mengantuk, lalu tertidur. Tak jarang pula aku bangun karena sengatan matahari begitu panas terasa.
Tak terasa, sudah hampir 2 jam para gerombolan begundal itu naik menuju puncak. Lantas terdengar makian jancuk yang tidak biasa. Makian jancuk itu diucapkan dengan logat Melayu. Aha, itu pasti suara si Yudi. Tak lama berselang, terdengar pula ocehan dengan suara yang tak merdu. Brengsek itu pastilah si Zainul. Mereka sudah dekat. Lalu 15 menit kemudian, kesemua anggota tim datang sambil memegangi kaki mereka. Lutut mereka bergetar hebat. Tak lupa repetan dilayangkan pada medan Merapi yang super berat.
“Wah, Raung sih tak ada apa-apanya” kata si Fahmi.
10 menit setelah packing, maka kami pun bersiap untuk turun. Tapi sial, 15 menit kemudian hujan turun dengan derasnya sambil membawa kabut yang tebal. Kami berhenti sejenak, pasrah dihantam hujan. Kabut membuat kami tak berani melangkah lebih jauh. Saat berhenti itulah, para anggota tim memulai kebiasaan mereka. Zainul mulai mengoceh lagi, Yoga tidur, Fahmi tetap berdiri sambil sesekali mengoleskan counterpain pada betisnya. Yudi dan lainnya hanya terdiam sambil sesekali tertawa mendengar ejekanku pada Zainul.
Turun gunung adalah satu siksaan baru. Kami melawan semua teori gravitasi yang pernah diungkapkan Newton ratusan tahun yang lalu. Kami harus berjalan perlahan atau jatuh terjerembab. Kaki kami menahan berat badan yang menyebabkan lutut kami gemetar, dan seaakan tak kuat menopang. Perjalanan turun memakan waktu sekitar 3 jam. Mungkin itulah 3 jam terlama dalam hidup kami.
Sesampai di pos pendaki, lagi-lagi lagu Wali menyambut kami. Suasana di kamp ramai, berbeda dengan kemarin. Ada beberapa orang bule yang ditemani oleh beberapa guide dengan logat ala Jakarta dengan kata-kata lo-gue yang tak sedap didengar kupingku.
Kami semua merebahkan diri. Lelah. Haus. Lapar.
1 jam kemudian, beberapa kelompok pendaki yang ada di pos pendaki, mulai menghilang. Semua memulai pendakian. Hanya ada satu kelompok pendaki dari Purbalingga yang berisik. Mereka memutar lagu dari handphone keras-keras. Padahal di depannya ada 2 orang yang sedang sholat. Brengsek, tak kenal toleransi rupanya. Aku juga jadi rindu suasana tenang di pegunungan. Aih, tekhnologi memang menakutkan.
Kami tak ambil pusing dengan itu semua. Kami masak, kami makan, kami bercanda, aku memaki Zainul, Yoga mengentut, Fahmi merokok, dan yang lainnya mulai tidur. Malam tinggal sejumput lagi. Kami ingin melewatkannya dengan istirahat.
Karena besok pagi aku akan ke Solo... []
aku durung sempet foto karo mbah maridjan je...
BalasHapus