Selasa, 04 Juni 2013

Festival Berakhir Petaka

Perhelatan Locstock Festival 2 berakhir tragis. Yoga “Kebo" Cahyadi, sang ketua panitia bunuh diri setelah acara berjalan kacau dan ia menjadi sasaran caci maki karena dianggap melarikan fee band. Ini adalah tragedi besar dalam sejarah musik di Indonesia. Apa yang tersisa dan bisa dipelajari dari tragedi ini?

***

Awal April 2013, Yoga mengirimkan pesan pendek pada Wok the Rock. Yoga meminta untuk bertemu guna membicarakan konsep Locstock 2. Karena saat itu Wok sedang berada di Jepang, maka pertemuan diundur. Mereka akhirnya sempat bertemu awal April di sebuah kafe di bilangan Sosrowijayan, Yogyakarta. 

Saat itu Yoga mengutarakan niatnya untuk mengadakan acara Locstock 2 pada bulan Mei. Wok kaget. Pasalnya, waktu persiapan sangat mepet.

"Saat itu aku sudah melarang Kebo untuk mengadakan acara ini. Tapi dia kekeuh agar acaranya diadakan bulan Mei," ujar Wok dengan wajah yang digelayuti mendung saat ditemu dua hari setelah Yoga meninggal.

Namun Yoga bersikeras. Ia ingin menghidupkan kembali even Locstock, yang sudah mati suri semenjak tahun 2009. Pria yang juga turut membuat acara legendaris Parkinsound itu ingin publik kembali mengingat even Locstock. 

“Kalau niatnya memang sekedar mengingatkan, lebih baik tak usah besar-besaran,” saran Wok pada Yoga kala itu. Namun Yoga tetap ingin membuat Locstock dalam skala besar. Karena Yoga masih ngotot agar acara ini tetap diadakan bulan Mei, maka Wok pun memilih untuk mundur.

Pada awal  Mei Yoga menemui tim penasihat Locstock: Wok, Djaduk Ferianto (Kua Etnika), Aji Wartono (Warta Jazz), dan Andy "Memet" Zulhan (manajer Endank Soekamti). Satu anggota penasihat lain, Marzuki “Kill the DJ” Mohamad berhalangan hadir saat itu. Pada pertemuan itu, kembali Wok dan anggota komite lain menyarankan dengan tegas supaya acara diundur hingga Agustus.

"Pertimbangannya, selain setelah hari raya Idul Fitri, akan ada gelombang mahasiswa baru yang datang di Yogyakarta. Itu saat yang tepat untuk mengenalkan acara ini," ujar Wok.

Namun Yoga, seperti kesaksian teman-temannya, memegang prinsip sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai. Ia masih yakin kalau Locstock 2 ini akan berjalan dengan lancar. Pada pertemuan itu pula, Djaduk dan Aji sempat menanyakan tentang sponsoship. Yoga menjawab pendek dan yakin, "beres, aman." 

Yoga secara khusus meminta rekomendasi nama-nama band untuk tampil di Locstock 2 pada Wok. Karena sedang lumayan sibuk, sekaligus tidak sreg dengan even ini, pendiri netlabel Yes No Wave ini hanya memberikan nama beberapa band dari labelnya. 

Setelahnya, Wok hanya sesekali kontak dengan Yoga untuk menanyakan kepastian Senyawa dan Zoo, dua band dari labelnya, bermain di Locstock. 

Satu hari menjelang acara, Wok kebingungan. Pasalnya sama sekali tidak ada technical meeting, jadwal loading alat, atau check sound. Senyawa dan Zoo hanya diberi rundown acara dan peta lokasi. Saat itulah Wok merasa kalau Locstock akan berjalan kacau.

Pada hari H (25/5), Wok datang ke venue dan menyaksikan bahwa nubuatnya benar. Jumlah penonton tak terlalu banyak. Sponsor hanya sedikit. Hal ini diperparah dengan hujan besar yang terjadi selepas maghrib. Karena hujan besar itu, hanya dua dari lima panggung yang bisa difungsikan. Wah, remuk nih acaranya, ujar Wok membatin.

Acara ini makin terasa kacau saat berhembus kabar angin: Yoga melarikan uang fee band.

***

Pada awalnya, Locstock adalah festival musik yang diinisiasi sebagai wadah besar bagi musisi-musisi asal Yogyakarta. “Niat Yoga mulia sekali. Ia ingin agar orang-orang Yogyakarta tak hanya menggemari band luar kota. Seakan ingin menunjukkan kalau band-band Yogyakarta ini juga keren,” kata Wok.

Sebagai bantuan, Yoga mengajak beberapa orang yang sudah dikenal lama dalam scene musik Yogyakarta untuk bergabung sebagai tim penasihat. Mulai Djaduk, Aji, Woto, Marzuki, dan Andy. 

"Namun kami semua tidak ada keterlibatan secara bisnis," terang Marzuki. Wok juga mengamini hal ini. Pada even Locstock 1, Wok sebatas memberi rekomendasi band-band yang akan diundang untuk tampil. “Jadi tidak ada kesepakatan kalau saya dan kawan-kawan lain menjadi anggota komite.”

Festival besar ini pertama kali diadakan pada tahun 2009. Secara acara, festival ini sukses. Kala itu, acara ini dibuka oleh Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Berlangsung selama tiga hari, acara ini digadang-gadang akan menjadi festival yang bisa menjadi identitas musik baru kota Yogyakarta. 

Namun harapan ini agak tersendat. Locstock yang dikonsep menjadi acara tahunan, gagal dihelat secara rutin. Setelah 2009, acara ini mengalami hibernasi panjang. Hingga akhirnya tahun 2013 Yoga ingin mengadakannya lagi sebagai pengingat kalau acara ini masih ada. Selain itu, agar acara makin meriah, band luar kota pun diundang.

Line up band penampil pun dirancang. Kali ini Yoga ingin cakupan band meluas. Ada band-band dari luar kota seperti Navicula, Ras Muhammad, Efek Rumah Kaca, Koil, Payung Teduh, Kelelawar Malam, hingga musisi-musisi lokal seperti Shaggy Dog, Jogja Hip Hop Foundation, Sangkakala, Captain Jack, FSTVLST, hingga komunitas Jazz Mben Senen.

Namun sayang, karena persiapan yang minim, acara ini berakhir kacau balau. Hampir semua band tidak mendapat bayaran. “Senyawa dan Zoo cuma mendapat cek,” kata Wok.

Para band yang merasa kebingungan lantas menelpon Marzuki yang dianggap sebagai salah satu pihak yang terkait. Padahal pendiri Jogja Hip Hop Foundation ini tidak terlibat sama sekali, dan saat itu sedang menyepi di rumahnya di sekitar Candi Prambanan.

"Mungkin hal ini juga dialami oleh Djaduk, Aji, Wok, dan Memet," kata Marzuki.

Sementara itu, kekacauan di venue terus berlanjut. Beberapa band memutuskan untuk batal tampil karena nihilnya kejelasan soal pembayaran. Terhitung Koil, Shaggy Dog, Down for Life, juga Ras Muhammad membatalkan tampil.

Untung Navicula memutuskan tetap tampil dan mempersetankan kejelasan pembayaran. Kuartet green grunge gentlemen asal Bali ini menjadi messiah sekaligus penampil pamungkas hari pertama. 

Beberapa jam kemudian, muncul pengumuman berantai: Locstok hari kedua dibatalkan.

***

Agatha Putri Cahyanti duduk bersila dengan tenang di ruang tengah rumahnya. Kursi-kursi di ruang tamu rumah itu dikeluarkan dan dipakai untuk tempat menerima tamu yang melayat. Setiap hari, semenjak sore hingga pukul 8 malam, diadakan doa bersama untuk almarhum Yoga. Di depan rumah yang terletak di bilangan Pogung itu ada beberapa karang bunga duka cita.

Wajah Agatha masih kuyu. Duka dan lelah tampak bercampur jadi satu. Ia tentu tak menyangka, Yoga sang kakak tercinta, harus meninggal dengan cara yang mengenaskan. Ia masih ingat betapa kakaknya semangat sekali saat mengadakan Locstock. Agatha juga diajak mengurus festival yang diberi label the biggest music festival in Yogyakarta itu.

Agatha memang bukan panitia resmi Locstock.  Namun ia turut mengurus beberapa hal seperti konsumsi dan sedikit publikasi. Pekerjaanya sebagai sebuah manajer kafe besar di Yogyakarta membuatnya bisa membantu mencari sponsor. Meski tak paham hal-hal teknis terkait persiapan acara, Agatha punya pendapat tentang acara ini.

"Acara ini memang... kurang sistematis. Seperti kurang jelas pembagian kerjanya," ujarnya terbata sembari menghela nafas.

Menjelang hari H, Agatha memang sibuk menyiapkan publikasi. Konferensi pers pun diadakan di tempat kerjanya. Pada hari H, perempuan berambut ikal ini stand by di venue sejak permulaan acara. Ia membenarkan kalau jumlah penonton Locstock tidak sebanyak yang ia bayangkan. Namun saat itu harapannya masih menyala. Ia merasa ledakan penonton akan terjadi selepas maghrib. 

Sayang, harapannya hancur lebur. Hujan besar mengacaukan acara. Panggung 1 dan 3 yang konsepnya outdoor terpaksa tak bisa digunakan. Padahal itu panggung besar. Akhirnya sisa penampilan diadakan di panggung 2 dan 4 yang indoor. Sedang panggung 5 memang sudah selesai digunakan semenjak sore. Sepinya penonton juga berkaitan dengan beberapa acara besar yang berlangsung di hari yang sama, salah satunya upacara Waisyak di Borobudur.

Sekitar jam 4 sore, Agatha masih melihat Yoga menonton FSTVLST bermain. Wajahnya sudah tampak murung. Selepas berbicara beberapa patah kalimat dengan Yoga, Agatha berkeliling venue. Setelah itu, ia tak lagi bertemu dengan sang kakak. Tahu-tahu ada banyak telpon yang menanyakan hal yang sama: kemana Yoga? 

Yoga menghilang. Beberapa band yang menuntut kejelasan pembayaran mengerubuti tenda panitia. Entah dari mana, beredar kabar kalau Yoga lari dengan membawa serta fee band. Agatha dengan keras membantah hal itu.

"Sekarang membawa lari uang yang mana? Wong uangnya gak ada," tegasnya. Agatha menjelaskan kalau uang dari sponsor tak banyak. Itupun sudah nyaris habis untuk menyewa venue dan panggung. Namun rumor sudah terlanjur beredar di linimasa Twitter. Caci maki pada Yoga langsung berhamburan setelahnya.

Agatha sendiri yakin kalau Yoga menghilang untuk mencari hutang guna membayar fee band.  Pasalnya, setelah Yoga meninggal, Agatha membuka sim card milik sang kakak. Ada banyak sms masuk dari kawan-kawan Yoga yang mengatakan kalau mereka akan mengusahakan mencari hutangan.

Wok juga berpendapat sama. Selain kenal Yoga –yang menurutnya bukan tipikal orang yang melarikan diri dari masalah-- ia berasumsi kalau even ini memang kekurangan dana sejak awal. Indikasinya bisa dilihat dari sepinya baliho sponsor di venue. Di pamflet acara pun nyaris  tak ada logo sponsor. Laman sponsorship di situs Locstock malah tak bisa diakses. 

"Locstock 1 masih lebih sukses. Acaranya bahkan dibuka oleh Walikota. Kalau yang sekarang ini kacau dan terlalu terburu-buru," kata Wok. Sementara Marzuki punya pendapat lain. Meski Locstok 1 berjalan dengan lancar, tapi secara bisnis acara itu bisa dibilang gagal. Sepertinya sejak itu Yoga menumpuk hutang.

Agatha sendiri sedih sekaligus geram terhadap cyber bullying yang menimpa Yoga. Ia rajin memantau linimasa twitter dan hatinya pedih saat membaca semua makian yang ditujukan pada kakaknya.

"Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi seenaknya men-judge," kata Agatha dengan raut muka yang serius. Namun Agatha juga tak yakin kalau cyber bullying menjadi satu-satunya penyebab Yoga bunuh diri. Menurutnya, uang juga bukan masalah utama. Yoga yang ia kenal tidak selemah itu. Apalagi Yoga sudah sejak lama berkecimpung di dunia event organizer dan rugi serta hutang bukan hal yang baru, juga merupakan hal yang wajar asal bisa dibayar. Berdasar hipotesanya, Yoga down karena acara yang digadang-gadang akan mengharumkan nama Yogyakarta, gagal secara mengenaskan. 

Wok juga punya pendapat yang senada. "Yoga itu misinya mulia. Ia ingin mengadakan acara musik besar yang mengharumkan scene musik Yogyakarta. Dan ketika itu gagal, Yoga merasa malu dan harga dirinya tercoreng," ujarnya. 

"Dan itu diperparah saat Yoga mencoba membereskan semua masalah, orang-orang sudah mencerca tanpa tahu akar masalahnya," tambah Agatha. "Tapi ya sudahlah. Toh semua itu tak bisa mengembalikan kakak saya," lanjutnya sembari meminta agar semua pihak belajar sesuatu dari tragedi.

Yoga memang sudah meninggal. Agatha dan keluarganya pun sudah merelakannya. Namun ia ingin agar semua pihak mengingat Yoga sebagai orang yang punya keinginan untuk memajukan scene musik Yogyakarta. Sedang Wok ingin mengingat Yoga dengan cara yang lain.

“Apapun yang terjadi, Locstock harus tetap digarap tahun depan. Dengan persiapan yang lebih matang, konsep yang lebih berkarakter, dan diorganisir dengan sangat profesional. Harus digarap. Ini untuk menghormati visinya Yoga. Selain itu, supaya Locstock tidak jadi sejarah yang gagal dan suram,” kata Wok.[]

Untuk membaca versi edit, sila kunjungi situs ini.

1 komentar: