Kamis, 16 Mei 2013

Sayonara Kereta Ekonomi!


Ada kabar duka mampir beberapa hari lalu. Tentang kenaikan tiket kereta api. Ah, atau lebih tepatnya, dihapuskannya gerbong ekonomi di kereta api. Sekarang, nyaris semua gerbong ekonomi di kereta jarak jauh sudah dipasangi AC. Bahasa kerennya: Ekonomi AC. Karena sudah semakin necis, maka harga tiket  jadi harus naik. Imbasnya jelas ke para pelintas batas yang lebih suka naik kereta karena harga tiket yang murah.

"Sekarang tiket Logawa dan Sri Tanjung sudah 90 ribu, cuk!" maki teman saya lewat pesan pendek.

Sebelum kenaikan, harga tiket ekonomi Logawa dan Sri Tanjung hanya 40.500 dan 35.000. Dari Jogja hingga Jember. Murah meriah. Sekarang melonjak hingga 90 ribu. Naik 100 persen lebih. Sekarang, akan ada banyak pertimbangan sebelum orang akhirnya memilih kereta api. Dulu kereta api dipilih karena murah. Sekarang kalau bis lebih murah, apa konsumen masih memilih kereta api? Kenaikan ini memang kabar buruk bagi para pecinta kereta api. Juga bagi saya.

Sedari kecil, saya memang sudah jatuh cinta dengan moda kereta api, terutama kereta api ekonomi. Ayah yang menurunkan kecintaan itu. Hingga sekarang, saya lebih memilih naik kereta api ketimbang naik bis saat berpergian. Bagi saya, naik kereta api jauh lebih nyaman ketimbang bis. Kalau capek, tinggal berdiri lalu jalan-jalan. Meregangkan otot. Kalau beruntung, bisa beradu pandang dengan mbak-mbak manis di gerbong sebelah. Atau kalau ingin minum kopi, tinggal pergi ke restorasi, lalu duduk berlama-lama.

Di kereta api ekonomi pula, saya menemukan banyak sekali hal yang menarik. Dari orang beraneka ragam sifat dan latar belakang (Panjul, kawan saya itu, pernah bertemu dengan orang di kereta, dan ujug-ujug orang itu nanya apa agama Panjul), berdesak-desakan (saya pernah duduk di toilet kereta, dari Jogja hingga Jakarta. Atau naik di gerbong barang dari Bandung hingga Jogja), hingga jualan yang aneh-aneh (dulu waktu saya SMP, masih ada orang yang menjual musang atau kera di kereta).

Berbicara mengenai kereta, saya punya pengalaman lucu dikerjai oleh ayah. 

Suatu hari dari Surabaya, kami menaiki kereta malam (saya lupa, apa itu Mutiara Timur ya?). Saat itu hanya kereta eksekutif yang punya nomer tempat duduk. Bayar di atas masih lazim. Nah, karena hari sudah malam, ayah menyuruh saya duduk di salah satu kursi di gerbong eksekutif. Saya iyakan saja dengan sedikit ragu.

"Ayah ngopi dulu di restorasi. Kamu tidur aja."

"Lah kalau ada yang yang duduk di kursi ini?"

"Udah, gak bakalan ada. Tenang aja," kata ayah dengan tenang.

Dasar ayah iseng, ia pergi ke restorasi dan tidak kembali hingga lama sekali. Saya mau tidur lelap juga agak ragu. Hingga akhirnya ada sepasang suami istri datang, dan kebingungan karena salah satu kursinya saya duduki. Saya yang tidak punya tiket jelas malu. Akhirnya saya ngacir ke restorasi. Di sana, saya melihat ayah ketawa ngikik. Sialan.

"Kemampuan negosiasimu berarti masih kurang," kata ayah sembari cekikikan. Negosiasi gundulmu, maki saya dalam hati. Hahaha.

***

Saya tak tahu siapa yang bertanggung jawab atas kenaikan tiket kereta api ini. Konon katanya, KAI sendiri terpecah jadi dua kubu. Antara yang mengusulkan kenaikan tiket dan menghapus kelas ekonomi, dan kubu yang menolaknya. Saya tak akan mengambil pusing soal itu.

Sebenarnya tipikal penumpang seperti saya, yang lebih memilih murah ketimbang kenyamanan secara berlebihan, cukup lah diberi kursi dengan nomer. Itu sudah nyaman dan sangat manusiawi. Tak perlu lah  kami diberi AC. Belum lama kami menikmati kursi ekonomi dengan nomer, eh sudah dihapus. Para amteenar kereta api itu tak bisa lihat orang senang dikit sepertinya.

Menghapuskan kereta ekonomi juga berarti menghapuskan banyak hal menarik di dalamnya. Saya sedih, karena kelak saat anak-anak saya sudah mulai belajar berpergian sendiri, mereka tak akan pernah bisa merasakan menariknya naik kereta gerbong ekonomi. 

Mereka tak akan pernah menyaksikan penjual musang di atas kereta. Tak mungkin menemukan kambing atau ayam yang juga jadi penumpang. Atau tak bisa melihat getirnya wajah penumpang yang terpaksa duduk di dalam kamar mandi. Padahal, dari sana mereka akan belajar mengenai kehidupan dan makna perjalanan.

Duh!

Ayah dan Saya. Kereta Ekonomi Jember- Jogja

4 komentar:

  1. Dan saya jg pengguna kereta api ekonomi sejak dlu kala. Yg saya tau skrg tarif kereta api ekonomi jarak jauh saat ini sama dg angkot, jauh dekat sama.
    saya jg memiliki pengalaman yg beragam di kereta api ekonomi, mulai berdesakan wkt mudik, lihat adaa penumpang kejang2, sampai kuliner yg macem2

    BalasHapus
  2. Wah iya mas, bener banget. Pengalaman paling jancuk saya waktu naik ekonomi adalah berdiri dari Jakarta sampe Jogja. Atau pernah juga saking pekoknya saya tidur di gerbong lokomotif, dan hasilnya sampe Jogja masuk angin.

    Hehehehehe.......

    BalasHapus
  3. Ekonomi boleh ngak ada tapi harga executive nya jgn terlalu mahal. Harga kereta exe nya aja jauh leboh mahal dibandingkan tiket pesawat :)

    BalasHapus
  4. Tulisan yang bagus sekali.

    BalasHapus