Rencana saya kemarin setelah melewatkan 9 jam di kereta dari Jember hingga Jogja adalah tidur.
Namun rencana itu langsung berantakan ketika Sawir, kawan kosan, memberitahu kalau The SIGIT akan bermain malam ini (9/6). Di perjalanan menuju kos, saya berpikir keras dan berusaha memilih: tidur seharian atau menahan capai barang sejenak demi menonton salah satu unit rock n roll terbaik di Indonesia ini.
Pilihan pertama: tidur. Rasanya pasti nyaman, setelah 9 jam terguncang-guncang di kereta. Lalu bisa merebahkan badan di kasur. Sembari membaca beberapa buku yang masih menanti untuk diselesaikan hingga halaman terakhir. Surga dunia.
Pilihan kedua: berjingkrakan sembari menyanyikan lagu The SIGIT. Pasti akan sangat menguras tenaga, lagi mempertipis pita suara. Duh.
Sepertinya saya akan memilih opsi pertama. Oh saya seperti orang uzur yang bahkan sudah tak punya tenaga untuk pergi ke gig band kesayangan. Namun sesampainya saya di kos, sembari bersantai saya mendengarkan album terbaru The SIGIT, Detourn. Tepat saat lagu "Tired Eyes" memecah udara kamar, saya langsung memutuskan untuk pergi ke konser The SIGIT. Bukan apa, saya membayangkan mereka akan memainkan lagu itu. Gonna be tight as fuck!
Saya terakhir menonton The SIGIT sekitar 3 tahun silam. Saat itu saya dan beberapa kawan kuliah naik motor menuju Bali demi menonton mereka di Soundrenaline. Siang itu, saat The SIGIT tampil, pecahlah rasa penasaran kami terhadap mereka. Kami berteriak-teriak sekuat tenaga. Hingga nyaris putus urat leher. Setelah itu saya belum punya kesempatan untuk menonton mereka lagi.
Didorong rasa rindu menonton penampilan live energik mereka, ditambah rasa penasaran, maka saya memutuskan untuk sedikit tidak acuh pada rasa lelah. I am gonna see them!
Saya memang penasaran sekali bagaimana The SIGIT, band rock n roll asal Bandung, memainkan repertoir dari album ketiga mereka. Secara musikalitas, musik di album Detourn memang berubah haluan cukup jauh. Tidak se-catchy lagu-lagu di album Visible Idea of Perfection. Mereka tidak lagi memainkan rock n roll dengan straight and wild. Mereka semakin gemar mengeksplor bebunyian dan ranah musikalitas dengan lebih luas, ada gitar mengawang dan siulan flute misalnya. Karenanya musik kuartet ini jadi lebih kompleks. Sepertinya agak susah dimainkan hanya dengan empat orang.
Berangkat dari rasa penasaran itu, saya pun berangkat ke Purna Budaya, UGM, tempat manggung The SIGIT malam itu. Di perjalanan, saya berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang bisa menguras energi, seperti berjingkrakan atau bernyanyi keras.
Ada beberapa band yang jadi penampil pembuka. Yang cukup menarik adalah Sri Plecit, rombongan pengusung Ska yang ceria dan sudah punya massa yang cukup banyak. Setelah mereka undur diri dari panggung, massa sudah tak sabar dan meneriakkan koor, The SIGIT!
Menanti cukup lama karena check sound, akhirnya Rekti, Farri, Adit, dan Acil muncul. Penonton berteriak keras sembari mengacungkan kepalan tangan ke udara.
Seakan mengerti kalau penonton sudah lama menanti, The SIGIT langsung menghajar tanpa berbasa-basi. Jreng! "Clove Dopper" langsung digeber kencang. Mampus!
Maka saya langgar kembali janji yang sudah saya ucapkan dalam hati. Saya langsung melompat dan berteriak. The SIGIT sepertinya bahkan bisa membuat orang umur 70 jadi merasa seperti orang berumur 18. 18 and life dude!
Namun yang sedikit membuat saya mengernyitkan dahi, kenapa tempo "Clove Dopper" jadi lambat begini? Tidak seliar dan brangasan seperti di album demo mereka. Apapun itu, lagu pembuka ini berhasil membakar penonton.
The SIGIT memang cerdas (atau bermain aman?) dengan memainkan lagu-lagu dari album yang menjulangkan nama mereka, Visible Idea of Perfection, di awal. Karena sepertinya sebagian besar penonton (termasuk saya) akan susah untuk dibakar dengan lagu-lagu baru mereka.
Terbukti, setelah "Clove Dopper" usai, dimainkanlah "Alright." Band saya semasa kuliah senang sekali membawakan lagu ini ketika manggung. Terutama Alfien, sang drummer, yang sejenak bisa merasakan gagahnya jadi jelmaan Keith Moon ketika memainkan akrobat drum di tengah lagu. "No Hook" langsung menyusul dan semakin membuat penonton berkeringat dan berteriak makin kencang.
Setelah itu barulah Rekti menaruh gitar dan menyapa penonton. Tapi hanya sekitar 1 menit. Farri langsung menghajar gitar, memainkan intro "Gate of 15th" dari album baru mereka. Saya langsung girang. Ini salah satu lagu favorit saya di album baru, selain "Tired Eyes" tentunya. Rekti tak menyandang gitar kali ini. Ia hanya bernyanyi sambil sesekali melakukan Jagger-esque dance. Cukup aneh rasanya melihat vokalis berambut gondrong sebahu ini menyanyi tanpa memainkan gitar.
Namun Rekti memang seperti ditakdirkan untuk bernyanyi sembari memainkan gitar. Setelah "Gate of 15th" usai, ia langsung mengambil gitar dan langsung menjadi partner ideal bagi Farri untuk memainkan "Horse." Setelahnya, mereka langsung menggebrak lewat tiga lagu sekaligus: "Up and Down," "Black Summer," dan "The Party" yang mengundang histeria penonton karena Acil memainkan drum sembari berdiri di set drumnya. Crowd juga makin menggila. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan crowd surfing.
Courtesy of Nara Pratama, @nrprtm |
Courtesy of Nara Pratama, @nrprtm |
Courtesy of Nara Pratama, @nrprtm |
Di sela-sela pertunjukan, saya tak bisa menutupi rasa kagum. Pasalnya, stamina The SIGIT begitu yahud. Rekti misalnya. Ia konstan bernyanyi dalam pitch yang tinggi, berteriak terus-terusan, berjingkrakan senantiasa, namun seakan tak pernah kehabisan tenaga. Power suaranya bahkan terus konsisten dari awal hingga akhir penampilan. Acil juga, terus memainkan drum dengan sangat eksplosif. Tak pernah sekalipun ia mengendurkan gebukannya. Kalau diibaratkan pemain bola, mereka sepertinya bisa bermain dengan tenaga penuh selama 90 menit.
Jam terbang sepertinya memang sangat berperan. Selain soal stamina, mereka berhasil menjaga tempo dengan baik. Nyaris tak ada cacat dalam penampilan mereka. Hanya ada satu kesalahan minor yang diakibatkan Acil salah memainkan urutan lagu. Tapi itu pun hanya beberapa detik, dan bisa langsung disesuaikan lagi dengan baik.
Saya juga jadi tersenyum melihat The SIGIT yang sudah jadi lebih "rapi." Baik secara musik maupun secara attitude. Dulu sekali saya pernah melihat video mereka yang memainkan "Clove Dopper" di sebuah klub. Wuih, itu rasanya liar dan anak muda sekali. Rekti masih gondrong awut-awutan. Masih bisa mengumpat sembari tertawa-tawa, "...apa ini? Bau, anjiiing." Fun sekali.
Sekarang mereka sudah lebih rapi. Rekti tak lagi gondrong awut-awutan. Pada suatu masa, ia malah pernah meluruskan rambut gondrongnya. Damn weird! Hahaha. Farri pun berambut pendek tak jelas dan sepertinya semakin bingung menentukan gaya rambut apa yang sesuai dengannya. Ia sepertinya butuh hair stylist khusus. Hehehe. Hanya Adit yang berambut makin gondrong dan cocok bila suatu saat bermain di Burgerkill atau Dead Squad.
Selagi saya tersadar dari lamunan, beberapa lagu sudah terlantun. "Satan State," "Conundrum" yang mengawang, berdurasi panjang, dan membuat penonton bengong. Juga "Let the Right One In," hingga "Money Making" yang 'menutup' konser malam itu. Menutup? Tentu tidak. Tak mungkin rasanya konser mereka hanya ditutup dengan ucapan "selamat malam, terima kasih Yogyakarta." Kurang spektakuler dan bombastis.
Artinya? Encore!
Benar saja, setelah penonton berteriak we want more, The SIGIT kembali muncul. Maka berturut-turut "Only Love Can Break Your Heart" milik Neil Young, "Live in New York" yang membuat saya merinding ketika turut menyanyikan bait cause people going back to rock n roll, dan ditutup dengan sangat megah dan menggetarkan oleh "Black Amplifier." Total ada 18 lagu yang dimainkan oleh band yang pernah tampil di SXSW Festival ini.
Kaki saya baru terasa pegal konser usai. Bahkan untuk menekuk rasanya susah sekali. Pita suara rasanya semakin menipis. Punggung rasanya linu. Encok sedikit nyeri. Saya merasa tua sekali, sialan. Ini akibatnya kalau melanggar janji sendiri. Tapi tetap saja hati saya riang. Sebab, yeah, people going back to rock n roll!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar