Rabu, 19 Juni 2013

Adik

Saya akui, saya bukan kakak yang baik. 

Saya punya dua adik perempuan. Orin dan Shasa. Sepanjang ingatan saya, saya lebih sering membuat mereka menangis karena keusilan saya ketimbang membuat mereka tertawa. Dalam masa hidup kami, jarang sekali saya bertukar cerita personal dengan mereka.

Orin, lahir tiga tahun setelah saya. Waktu ia lahir, saya masih terlalu kecil untuk tahu bahwa nyawanya pernah di ujung tanduk. Ia lahir dengan berat badan yang kurang ideal dan kondisi kesehatan yang lemah.  Meski badannya lemah, ia akhirnya berhasil bertahan. Hanya, sampai sekarang badannya memang yang paling rapuh dan sering sakit. Karena itu ayah dan mamak sering sekali mengkhawatirkan Orin.

Waktu hamil Orin, mamak ngidam aneh: menonton film India. Akibatnya, ayah harus dengan ikhlas mengantar mamak menonton film Bollywood di bioskop. Entah ada korelasinya atau tidak, Orin tumbuh jadi perempuan yang klemak klemek

Entah makan apa dia, Orin tumbuh jadi perempuan yang tinggi. Ia bahkan jauh lebih tinggi ketimbang saya.  Kalau tidak salah, tingginya sekitar 171 cm. Damn! Itu adalah satu-satunya hal yang saya iri dari Orin. Dan satu lagi yang membuat ayah semakin sayang dengan Orin: ia pintar sekali matematika. Ayah adalah orang yang sangat menggemari matematika. Betapa senangnya ia ketika Orin mewarisi kegemarannya itu, sesuatu yang sama sekali tidak menurun ke saya.

Sedang Shasa. Hmm. Sebagai anak bungsu, ia cenderung manja dan keras kepala. Segala keinginannya sepertinya harus dituruti. Kalau tidak, ia bisa marah. Padahal ayah dan mamak sama sekali tidak pernah memanjakannya. Sejak kelas dua SD, ia sudah naik angkutan umum sendiri untuk pergi ke sekolah.  Ia harus ganti angkutan dua kali untuk sampai di sekolahnya, sejauh 10 km dari rumah. Toh ia tak pernah mengeluh. 

Saat lulus SD, ayah dan mamak mengirimnya ke Lumajang untuk sekolah di sana. Sekalian menemani nenek. Ia jarang sekali pulang ke Jember. Shasa anak yang cerdas, tidak seperti saya yang agak pandir. Ia menempuh SMP dalam dua tahun saja. Saat SMA ia ditawari menempuh masa studi hanya dalam dua tahun. Namun saya larang karena masa SMA itu masa yang paling menyenangkan, akan sayang sekali kalau ditempuh hanya dalam dua tahun. Selepas SMA, baru ia balik ke Jember untuk kuliah. Sepertinya hingga sekarang, itu satu-satunya petuah saya yang bermanfaat untuknya. You're welcome Sa.

Kiki, Orin (mukanya cengo banget ya?), Saya

Orin, Kiki (memeluk Micha anak tetangga), Shasa, dan Saya

Meski secara personal tidak/ belum pernah dekat dengan mereka, sebagai kakak saya selalu punya perasaan universal: ingin melindungi adik. Itu rasa-rasanya perasaan semua kakak di dunia. Saya jelas sayang kepada adik-adik saya. Namun saya --ini rasanya turunan dari ayah-- bukanlah tipikal orang yang bisa mengungkapkan sayang secara eksplisit. Apalagi kepada keluarga. Oh ya, saya mungkin sama seperti kakak lain di seluruh dunia yang menganggap, sampai kapanpun, adik adalah anak kecil yang harus kita lindungi --seringkali berujung overprotektif. Tak peduli berapapun umurnya.

Saya ingat, dulu saya dan Kiki --kakak saya, anak pertama dalam keluarga-- pernah mendatangi seorang cowok yang mengancam Orin. Bocah lelaki itu beberapa kali mengancam Orin, entah apa sebabnya. Karena Orin polos dan sedikit lugu, ia ketakutan dan kabur dari rumah, lari ke Lumajang. 

Saat itu saya merasa bersalah. Sangat. Saya merasa tidak bisa diandalkan sebagai kakak. Harusnya saat Orin terancam, ia bisa cerita kepada saya dan Kiki. Tapi ia tak melakukannya. Malah ia lari ke Lumajang dan memilih bercerita serta meminta perlindungan kepada salah seorang sahabatnya.

Malam itu saya dan Kiki datang ke rumah sang cowok yang mengancam Orin. Kiki membawa tas. Entah apa isinya, ia tak mau bilang. Kakak saya yang pertama ini diam saja. Namun hati saya sedikit waswas, karena ia adalah yang paling berdarah panas diantara kami berempat.

Malam itu berakhir tanpa satu insiden apapun. Saya yang berusaha dingin, berbicara dengan baik-baik. Apalagi orang tua si bocah lelaki itu ikut menemui saya dan minta maaf atas kelakuan anaknya. Maka kami pun pulang dengan damai. Sampai rumah, saya yang penasaran langsung membuka tas yang dibawa Kiki. Ternyata isinya... celurit. Madekipe!

Saat kami mendatangi bocah lelaki itu, ternyata Orin sudah pulang ke rumah. Matanya sembab, kata mamak. Kebanyakan menangis karena ketakutan mungkin. Mamak yang bingung langsung menghambur memeluk Orin, sembari sedikit memarahinya tentunya. Setelah bercerita semuanya, Orin pun tertidur. 

Saya sempat mengelus kepalanya barang sejenak. Ia terbangun dan langsung terisak saat melihat Kiki dan saya. Kiki berbisik lirih, saya masih ingat kata-katanya, "Kok kamu gak cerita ke Kak Kiki sih? Ceritao kalau ada apa-apa, pasti kak Kiki bisa ngeberesin." Orin kembali menangis.

Saya memeluknya.

Sepertinya itu pelukan pertama saya kepada Orin, entah dalam beberapa tahun terakhir.

***

Saat Shasa masuk kuliah, ia ingin mengikuti jejak saya: belajar menulis di Tegalboto. Saya melarangnya dan menyuruhnya untuk bergabung dengan UKM Pers Lingkar (UKM Pers Fakultas Farmasi). Bukan karena apa, tapi karena saya tahu kultur belajar di Tegalboto yang sangat ketat dan tidak bersahabat bagi mahasiswa jurusan Eksakta seperti Shasa.

Tapi dasar kepala batu, ia tetap bersikeras masuk Tegalboto. Nubuat saya benar. Tak berapa lama, ia keluar dari Tegalboto karena tak cocok dengan sistem belajar di sana.

Namun ia terus belajar menulis. Saya senang sekali melihat semangatnya itu. Ia suka sekali menulis cerpen. Itu hebat, setidaknya bagi saya. Karena saya selalu kesusahan untuk menulis cerpen. Namun saya sedikit khawatir saat referensinya hanya teenlit. Saya sudah suruh ia membaca buku-buku yang ada di perpustakaan pribadi warisan ayah. Namun ia menggelengkan kepala. "Berat bahasanya," katanya. 

Ya sudahlah. Tapi beberapa waktu lalu saya memberinya Gadis Pantai. Ia suka dan membacanya sampai habis. Mungkin nanti akan saya berikan tetralogi Pulau Buru untuknya.

Saya sedikit menghembuskan nafas lega saat tahu Shasa banyak berdiskusi dengan Rani. Setiap selesai menulis cerpen, Shasa selalu minta pendapat Rani. Dan mereka pun berdiskusi dengan riang. Rani bahkan beberapa kali memberikan referensi-referensi buku dan kumpulan cerpen untuk Shasa. 

Tapi di satu sisi, saya juga merasa bersalah. Kenapa Shasa jarang sekali minta pendapat saya soal tulis menulis? Saya coba mawas diri. Bisa jadi ini karena saya dulu seringkali usil dan sedikit "keras" dengan tulisan Shasa. Saya sedikit terbawa gaya mengajar ala Tegalboto yang tak pandang bulu. Ini sedikit membuat Shasa sedikit segan dan malas untuk berdiskusi dengan saya. Ditambah, pintu diskusi dengan saya sudah ditutup karena saya sudah diblokir dari Facebook-nya semenjak saya seringkali usil mengomentari tiap statusnya. Hihihi.

***

Salah satu bentuk ketidakdekatan saya dengan Orin dan Shasa adalah jarangnya saya menulis tentang mereka. Padahal saya seringkali menulis tentang kawan-kawan saya. Bisa jadi tulisan ini, kalau ingatan belum berkarat, adalah tulisan pertama yang bercerita tentang mereka.

Beberapa menit lalu saya terlibat percakapan dengan Rani. Intinya, saya bilang, kelak saat adik-adik kami (Rani juga punya adik perempuan yang seumuran dengan Orin) sudah punya dunianya sendiri, mereka akan berjarak dengan kami. Berbeda dengan saya, Rani dekat sekali dengan adiknya. Dan kenyataan itu membuatnya sedikit khawatir akan 'kehilangan' sang adik.

Sedang saya? Tidak. Karena sejak kami kecil, orang tua sudah menanamkan perasaan "kehilangan" saudara itu. Sejak kelas 6 SD saya dan Kiki sudah hidup di luar rumah. Shasa semenjak lulus SD bersekolah di luar kota. Selain itu kami juga diajarkan bahwa kelak kami semua akan berpisah dan membangun dunianya sendiri. Ini tentu bukan dalam artian saya akan kehilangan kontak sama sekali dengan adik-adik saya. Namun itu artinya, saya harus membiarkan adik saya punya hidup masing-masing. Bergaul dengan teman-temannya sendiri. Punya pacar. Akhirnya menikah, punya suami dan anak, lalu entah seperti apa kelanjutannya.

Saya sebagai kakak tentu tidak berhak ikut campur terlalu dalam. Yang bisa saya lakukan hanya mengawasi Orin dan Shasa dari jauh. Ada saat mereka butuh uluran tangan dan bahu untuk bersandar. Menjaganya kalau kelak ada sesuatu yang mengancam mereka. 

Saat saya sedang menulis ini, Orin dan Shasa mungkin sudah tertidur. Orin akan tertidur di depan televisi, dengan Mak Ri, pembantu kesayangan keluarga kami yang sudah ikut keluarga kami sejak 25 tahun silam. Ia tentu lelah karena seharian mengurus ujian skripsinya pada tanggal 21 Juni nanti. TV biasanya akan dibiarkan menyala dan Mak Ri yang akan mematikannya saat terbangun tengah malam nanti.

Sedang Shasa? Pasti ia sudah tertidur di ruangan atas. Diktat kuliah, buku-buku catatan, dan alat tulis pasti berserakan. Poster Bisma Sm*sh miliknya --yang kapan hari wajahnya sudah saya coreti dengan spidol marker-- sudah dilepas dari tembok kamarnya sembari bersungut. 

Malam ini, saya ingin sekali memeluk mereka. []

8 komentar:

  1. Pada akhirnya, setiap orang memilih jalannya masing-masing. Saya juga mengalami perasaan "kehilangan" saudara. Ayah saya berkata, pada akhirnya saudara bukan hanya yang satu rumah dengankita. Cari saudara di penjuru dunia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, betul itu. Tapi alangkah baiknya kalau ada saudara di penjuru dunia, dan ada saudara yang di rumah :D

      Salam

      Hapus
  2. sweet banget ran.. jadi mau nulis tentang adik. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks Chan :) Ayo nuliso tentang adikmu. Aku tunggu yo :)

      Hapus
  3. terus terang, saya suka baca postingan ini, sederhana namun dalam, tidak lebay, pas saja...
    akhirnya aku bisa tahu sedikit perasaan laki-laki tentang saudara perempuan mereka...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Ya gitu deh, pria emang kadang suka menahan diri untuk mengungkapkan perasaan sayang ke saudara :p

      Hapus
  4. setuju banget sama yang di atas "akhirnya aku bisa tahu sedikit perasaan laki-laki tentang saudara perempuan mereka... " hehe

    btw mas nuran fotonya imut banget, gak nyangka :p hahaha

    BalasHapus
  5. adik saya laki-laki, beda usia kami 7 tahun.

    bagi saya selamanya dia adalah anak kecil yang rambut keritingnya bisa saya uyel-uyel sepanjang hari. tapi baginya, saya adalah mbak yang justru lebih mirip adik.. haha...

    ah ya, dan tentang ini : Oh ya, saya mungkin sama seperti kakak lain di seluruh dunia yang menganggap, sampai kapanpun, adik adalah anak kecil yang harus kita lindungi --seringkali berujung overprotektif. Tak peduli berapapun umurnya. -setuju sekali.. :)

    BalasHapus