Selasa, 20 Maret 2012

Tentang Klasifikasi Pejalan Itu


 “Traveling is a brutality. It forces you to trust strangers and to lose sight of all that familiar comfort of home and friends. You are constantly off balance. Nothing is yours except the essential things - air, sleep, dreams, the sea, the sky - all things tending towards the eternal or what we imagine of it.”
(Anonymous)

Saya ingat waktu itu saya masih anak muda ingusan berseragam putih biru. Saya membaca Balada si Roy untuk pertama kalinya. Disana muncul padanan kata baru untuk saya: avonturir. Itu sepertinya istilah bahasa Indonesia untuk adventurer. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan Roy yang melakukan perjalanan, atau lebih tepatnya berpetualang. Ia naik segala moda transportasi, mulai bis, kereta, hingga menumpang truk. Ia juga melakukan kontak terhadap penduduk lokal dan menyerap berbagai hal dari sana.

Sejak itu, saya dengan bangga memproklamirkan diri sebagai avonturir. Ketika itu, saya melakukan perjalanan iseng pertama menuju Banyuwangi dengan menumpang truk. Ketika saya masih SMP,  istilah backpacker belum populer. Istilah itu malah baru saya ketahui ketika saya sudah duduk di bangku SMA.

Waktu teman sekolah bertanya kegiatan saya ketika liburan, saya selalu dengan bangga menjawab "jadi avonturir". Mereka menggelengkan kepala tanda tak mengerti.

Ada beberapa alasan kenapa saya menjadikan avontur sebagai pilihan perjalanan. Yang pertama adalah saya jelas tidak punya uang berlebih untuk melakukan perjalanan kala itu. Saya hanya bocah SMP yang modal nekad karena terbakar semangat si Roy. Yang kedua adalah perasaan bangga karena melakukan hal yang tak banyak dilakukan oleh kawan seumuran saya kala itu.

Menginjak bangku SMA saya mulai kenal istilah backpacking. Istilah itu secara umum digunakan untuk menggambarkan perjalanan dengan ransel dan hemat biaya. Dan saat itu pula, traveling mulai jadi gaya hidup. Orang-orang pun mulai bangga melabeli diri mereka sebagai backpacker. Saya melihat motivasi mereka dengan pelabelan itu, sama seperti saya ketika SMP: bangga karena melakukan hal yang jarang dilakukan oleh orang lain.

Ya, perjalanan dengan konsep backpacking itu memang butuh energi dan semangat ekstra. Bagaimana kita bisa melakukan perjalanan dengan biaya terbatas. Biasanya, biaya perjalanan terbatas itu imbasnya pada kenyamanan. Semakin sedikit anggaran perjalanan anda, biasanya semakin sedikit pula kenyamanan yang anda dapat. Itu sudah hukum alam.

Tapi semakin banyak saya berpergian dan bertemu orang baru, saya jadi sadar kalau pelabelan untuk para pejalan itu sama sekali tidak penting. Saya jadi sadar bahwa yang penting adalah proses perjalanan, bukan dengan gaya apa kamu melakukan perjalanan. Ketika saya sudah melepaskan pelabelan itu, tanpa saya sadari bahwa traveling sudah menjadi gaya hidup. Semakin banyak orang melakukan perjalanan dan dengan bangga melabeli diri mereka sebagai "backpacker". Yeah.

Pernah pada satu titik, saya begitu muak dengan para manusia yang menggunakan istilah backpacker itu. Bukan sekedar sinis, tapi juga muak, untuk alasan yang tidak perlu saya ungkapkan disini. Anggap saja ini sisi snobbish saya yang selalu tak tahu adat. Ketika orang lain bangga dengan sebutan backpacker, saya malah enggan sekali memakai sebutan itu. Pernah saking sinisnya, saya seringkali menjadi sarkas dengan menuliskan bio saya sebagai backpacker wannabe. Para backpacker itu bahkan tak bisa membedakan antara backpacker (kata benda) dan backpacking (kata kerja). Seringkali mereka ditanya, "mau kemana?" jawaban yang terlontar adalah "mau backpackeran". Haduh!

Yang bikin saya sedikit sinis pada para backpacker itu adalah semakin minimnya kontak para pejalan itu dengan orang lokal. Oke, memang tak ada peraturan baku mengenai "bagaimana seharusnya menjadi backpacker". Tapi ketika perjalanan hanya dimaknai sebagai mencapai destinasi, bukankah itu mereduksi makna sebuah perjalanan? Anggap saja saya berlebihan.

Tapi sejak jaman dulu, bagi saya, yang menarik dari sebuah perjalanan adalah proses perjalanan itu sendiri. Sekarang mari kita menyimak satu contoh. Orang Islam mengenal Haji sebagai ibadah yang menuntut kita untuk berpergian jauh. Ketika jaman buyut saya, untuk pergi berhaji harus naik kapal laut menuju Arab. Perginya pun bisa berbulan-bulan. Tak heran, kalau dulu orang pergi Haji sama saja dengan pergi menyabung nyawa. Ancaman badai di laut, tersesat di laut, dan bahaya lain, membuat ibadah mereka jadi lebih berarti dan bermakna. Pengalaman spiritual yang didapat pun jauh lebih dahsyat. Karena itu pula, ini pendapat saya, naik haji jaman dulu pasti punya lebih banyak cerita dan pengalaman spiritual ketimbang naik haji kontemporer.

Jaman sekarang, asal orang punya uang, ia bisa pergi berhaji. Koruptor pun bisa leluasa naik haji. Karena mereka hanya mengejar titel, bukan pengalaman yang kelak bisa lebih menyucikan jiwanya. Tak heran, para koruptor itu meskipun punya titel haji, tetap saja korupsi. Karena yang penting bagi mereka adalah titel haji-nya, bukan perjalanan spiritualnya.

Sial, saya mulai melantur lagi. Tak jelas pula apa isi tulisan ini. Jadi ada baiknya saya pungkasi saja tulisan tak bermutu ini. Jujur, saya sudah masa bodoh terhadap klasifikasi seorang pejalan. Terserah orang saja lah mereka mau menyebut diri mereka apa, mau backpacker kek, flashpacker kek, avonturir kek, bla bla bla. Kalau ia bilang backpacker tapi tidur di hotel bintang, so fucking what? Rasa sinis saya dulu sudah menjelma jadi rasa apatis terhadap semua pelabelan pejalan itu. 

Rasa-rasanya saya seperti anak punk yang lelah menyikapi punk yang masuk mall dan MTV...

14 komentar:

  1. Ngomel. :D Hmm, sudah coba kereta barang-kah? Duduk di sambungan rantainya dan terhujani. Itu sangat horror. Terlebih lagi karena melihat penampakan. Ini perjalanan saat menuju ke Surabaya-Pasar Turi, dari Tj. Priuk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah, dulu waktu SMP, pergi ke Panarukan :) Yang lebih horror lagi, pernah coba duduk di samping lokomotif? Coba saja :) Tapi sekarang pengalaman seperti itu bakalan susah dicoba lagi, karena KAI sudah menerapkan tiket dengan tempat duduk, bukan siapa cepat dia dapat :)

      Hapus
  2. Nice. kadang ada beberapa orang yang suka travelingan namun memang lebih memilih tidur di hotel daripada menumpang orang. so what kalo gitu..? Perjalanan adalah sebuah perjalanan, bagaimanapun caranya. Intinya: Say no to label. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, iya :) yang penting menurut saya itu proses perjalanan dan persentuhan dengan orang-orang baru :) makasih udah mampir :)

      Hapus
  3. Setuju sekali. Hal paling menarik dalam sebuah perjalanan adalah menemukan. Menemukan hal baru yg sebelumnya belun pernah kita rasakan. Ada sensasi tersendiri saat kita nyasar hingga kenangan tak ternilai saat percakapan warung kopi dengan orang lokal

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul betul betul :) seringkali beberapa pejalan itu melupakan betapa penting dan menyenangkannya "menemukan" itu :) makasih udah mampir, salam kenal :)

      Hapus
  4. wah, persis seperti saya yang apatis terhadap pelabelan fotografer. sejak kamera dslr mulai gampang dibeli dan sudah banyak panduan penggunaannya, tiba2 aja di berbagai media sosial dan blog orang2 menulis profil/bio mereka, photographer, hobi: fotografi, dll padahal mungkin itu sebatas kesukaan mereka nenteng2 dslr kemana2 buat asal motret. (tidak semuanya tapi)

    saya sampe gamau disebut fotografer karena gamau diidentikkan dengan mereka, padahal sudah akrab dengan dunia ini sejak jaman masih pake slr manual dan film.

    akan ada masanya sesuatu yang berlebihan dan bertubi-tubi membuat kita bosan dan muak. saya sedang muak dengan segala macam berhubungan dengan fotografi.

    *ikutan marah*
    hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. cup cup *puk puk*

      Hehehe, aku juga pernah ketemu sama orang kayak gitu kok kin :D sabar ya :) yang bisa kita lakukan ya cuma ngelus dada dan perduli setan sama mereka. Yang penting kita berkarya aja deh :D

      Hapus
  5. biar mereka menikmati dengan caranya sendiri om, klo egois dan merasa paling keren, berarti mereka blom dapat apa2 dlm perjalanannya :p atau kitanya yang kadang merasa sudah jagoan sebagai pejalan sehingga sedikit alergi dengan mereka2 yang baru terjun dalam aktivitas perjalanan haha :D

    yah mungkin yang bisa kita lakukan cuma tetep terus berjalan, biar pengalaman yang perlahan mematangkan manusia, dengan caranya masing2 :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. "atau kitanya yang kadang merasa sudah jagoan sebagai pejalan sehingga sedikit alergi dengan mereka2 yang baru terjun dalam aktivitas perjalanan haha :D"

      Bisa jadi ini poin yang ingin aku sampaikan secara tersirat, wakakaka :)) tapi enggak kok mas, aku sudah (insyaallah) melewati fase sinis kayak gitu. Seperti yang aku ungkapkan tadi, aku berusaha masa bodoh sama pelabelan ini. Dan aku setuju, biar kita dan mereka semakin matang dengan perjalanan, dengan cara masing-masing :)

      Hapus
  6. Nuran kalo nulis ramee udah kaya' Kolak. Mulai dari Mas Roy, pelabelan, naik haji ampe koruptor dibawa-bawa.
    Tapi aku tembak klimaksnya ya... tentang proses dalam melancong. Karena sulit mengajarkan orientasi proses ke genre yang orientasi hasil. Bukankah berlari lebih enak daripada nyampe garis finish.
    Pokoknya jadi pelancong jangan takut tersesat, karena pelancong "pasti tersesat"

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe, iyo mbak, aku nulise karo emosi iki. Aku moco maneh, tulisan iki semburat :)) makasih kritiknya :)

      Iya, semoga generasi baru di bawah kita tak melupakan proses. Karena seperti yang ditulis mas jeri diatas, biar perjalanan yang mematangkan kita. Karena perjalanan adalah proses :)

      Hapus
  7. kitab Suci kita sama cak, SI Bengal Roy ha ha ha.

    BalasHapus
  8. Pas baca tulisan ini rasanya seperti "Ah, ternyata aku tidak sendiri..."

    Sudahlah kita tidak usah membahas masalah klasifikasi atau definisi seorang pejalan itu... aku pun sama, sudah melewati fase kayak yg mas Nuran alami. Fase dimana sudah muak dengan org2 semacam itu...hehehe (sok oke..)

    by the way salam kenal mas! tulisanmu wuapik2...

    BalasHapus