Rabu, 27 Oktober 2010

The Mentawai: Behind the Scenes Documentary on Vimeo

The traditional ways of the Mentawai are extremely endangered. However, there still remains a handful of scattered clans in the rainforest who choose to live in isolation, away from the assimilation of government villages.

these few people still live the legend of their ancestor.






***

Saya dikasih video ini oleh karib saya, Ayos Purwoaji yang imut kayak semut. Film ini dibuat oleh fotografer bernama Joey L. Sebuah behind the scene dari film berjudul The Mentawai.

Film ini dibuka dengan adegan di kapal cargo yang menuju Siberut. Ditunjukkanlah kondisi kapalnya, dimana penumpang tidur keleleran seperti ikan tuna yang akan dikirim ke Jepang. Lantas ada sunset yang indah setelah tersiksa selama 10 jam penyebrangan. Setelah itu mereka masih harus trekking selama beberapa jam di medan yang sangat berat.




Semua berawal dari 2007, ketika seorang bernama Willem Isbrucker, yang saat itu sedang berada di Tabek, sebuah kota kecil yang terletak 2 jam dari Padang, menerima sebuah kartu pos bergambar suku Mentawai.

Lantas Will menghubungi Joey, temannya semasa SMA yang berprofesi sebagai fotografer. Joey kaget mengetahui masih ada suku seperti ini di Indonesia. Setelah beberapa riset, maka mereka memutuskan berangkat ke Siberut untuk memotret sekaligus memfilmkan kehidupan suku Mentawai.

Sebelum Joey dkk memfilmkan suku yang diyakini sebagai pencipta seni tatto tertua di dunia, mereka mengakrabkan diri terlebih dahulu.






Gempa Bumi dan Mentawai

Pada tanggal 16 Agustus 2009, Joey yang sedang berkumpul di uma --sebutan untuk rumah dalam bahasa Mentawai-- merasakan bumi bergetar. Tau Jia Jia, orangMentawai sang pemilik uma segera menggendong anaknya dan segera berlari keluar rumah. Rupanya gempa itu hal biasa. Secara ilmiah, dapat diterangkan bahwa gugus kepulauan Mentawai berada di antara lempengan tektonik yang rawan gempa.

Namun para anggota suku Mentawai punya cerita legenda mengenai gempa itu.

“Long ago, there was a boy who had a beautiful house. It was so well made that the other Mentawai were jealous of him. Since they did not possess his craftsmanship and skill, they tricked him into building their own houses for them. While he was digging a large deep hole for the center support beam, they beat and killed him with clubs. After the houses completion, it remained haunted and cursed. A feast was held inside by the murderers. The sister of the dead boy was invited, but upon arrival heard her brothers voice asking not to go inside. She listened to his spirit and sat outside as the dead boy rolled his his grave and shook the uma, causing a large earthquake. The people inside the house were all killed but those outside remained safe. That is why to this day, we the Mentawai feel uncomfortable going into our houses when earthquakes are rolling. It represents a breach in taboo.” Kata Aman Tarason, salah seorang tetua suku Mentawai. (terjemahin sendiri ya, saya lagi males nerjemahin, hehehe)

Sedihnya, meski di Mentawai sering terjadi gempa, tak ada tindakan apapun dari pemerintah (yeah, siapa lagi yang paling enak dikambinghitamkan selain pemerintah? Dan mereka memang seharusnya bertanggung jawab) untuk setidaknya mengajari bagaimana hidup berdampingan dengan bencana alam. Ketika gempa dan tsunami terjadi di kepulauan Mentawai beberapa hari lalu, hingga malam ini sudah 282 orang tewas --menurut data Badan Pengendalian Bencana Daerah Sumbar.

Padahal semua sudah tahu kalau kepulauan Mentawai itu rawan bencana alam. Dan sudah terjadi gempa beratus-ratus kali sejak tahunan lalu. Tapi kok masih saja menelan banyak korban? Ini bukti bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari masa lalu.

Malah Si Bodoh Marzuki Ali, anggota DPR yang katanya terhormat itu (cuih!) malah menyalahkan suku Mentawai dengan bilang "Ngapain tinggal di laut." Kalo dia beneran serius ngomong itu, berarti dia memang jancuk se jancuk jancuknya, dan semoga ia dilaknat di neraka! Jancuk!

Suku Mentawai, Bagaimana Kabarmu Sekarang?

Saya masih belum tahu bagaimana kabar suku Mentawai sekarang. Apakah mereka baik-baik saja, atau malah sudah punah terhantam gempa. Tapi feeling saya mengatakan, mereka baik-baik saja. Mereka sudah hidup ribuan tahun dan melewati puluhan ribu gempa bumi, toh mereka masih ada hingga sekarang. Jadi saya yakin, mereka masih ada dan menanti saya untuk datang melihat mereka dengan mata kepala saya sendiri.

Selain bencana alam dan regenerasi, ancaman kepunahan Suku Mentawai justru datang dari pemerintah sendiri.

Bajak Tolkot, seorang Sikeri alias Shaman alias dukun dari Mentawai bercerita dengan nelangsa.

"Ketika aku muda, hampir setiap orang --Mentawai-- hidup di hutan. Sekarang, hampir sebagian besar dari mereka hidup di desa pemerintah. Tapi aku memilih untuk hidup dalam cara tradisional" kata Sikeri dari Klan Atabai ini.

"Aku menjadi shaman untuk menyembuhkan orang. Bukan paksaan. Tapi terutama untuk melindungi budaya Mentawai. Aku tidak ingin kehilangan identitas kita. Budaya kita adalah budaya makanan! Kepercayaan kita! babi-babi kita! Tari tradisional kita! Pemerintah dan misionaris membuat sekolah untuk merubah kita! Mereka menyuruhku agar tidak menjadi sikeri. Tapi aku, aku tidak akan berubah sampai akhir hayat!" ujar seorang sikeri lain bernama Bajak Lala dengan berapi-api.

Joey dkk tinggal di uma Klan Atabai ini sekitar 3 minggu. Ia juga bercerita bahwa ritme kehidupan disana memang berjalan dengan sangat lambat. Joey tak tahu apa yang terjadi diluar sana, termasuk pekerjaan, atau apapun yang bisa membuatnya stres. Di satu sisi, hal itu baik, namun di satu sisi lain, ia merasa kehidupannya bukan disana.

Cara komunikasi tim Joey ini memang cukup ribet. Komunikasi harus dilakukan dengan dua kali penterjemahan. Ketika suku Mentawai berbicara, guide mereka menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Will yang bisa berbahasa Indonesia lantas menterjemahkan ke bahasa Inggris.

Selama 3 minggu itu, Joey dkk belajar banyak hal dari klan Atabai itu. Mulai dari memanah, pengobatan, shamanisme, hingga seni tatto yang tersohor itu. Tak heran jika mereka lantas menjadi sahabat bagi suku yang terancam punah itu.







Salah satu adegan yang lucu adalah ketika Cale Glendening, sang kameramen, merasakan tekhnik tattoo Mentawai. Ia meringis kesakitan karena ditato tanpa dibius terlebih dahulu. Bahkan ia sepertinya menangis kesakitan.


Mengenai tatto itu, Bajak Tarason, salah seorang shaman itu bercerita

"tatto ini adalah sebuah simbol bahwa aku adalah seorang Mentawai. Dan beberapa adalah simbol bahwa aku adalah sikeri. Kamu mengenakan baju, Mentawai mengenakan tatto."

Bagian yang paling membuat saya merinding ada di penghujung film. Ketika Bajak Tarason berkeluh kesah mengenai ia dan masa depan suku Mentawai.

"Ketika generasiku mati, tidak akan ada lagi pengikut dari arat sabulungan. Aku rasa tidak akan ada lagi budaya asli Mentawai. Genrasi muda kita terlalu berbeda." kata Tarason dengan lemah, seperti menerima nasib bahwa Mentawai diambang kepunahan.


Dan klimaksnya adalah ketika Bajak Lala dengan ekspresif berseru,

"Halo orang dari seluruh dunia! Datanglah ke kepulauan Mentawai, segera! Sekarang suku Mentawai masih ada, aku masih hidup. Tapi ketika aku mati, kalian tidak akan pernah bisa melihat kebudayaan kami lagi."

***

Semua foto diambil dari situs www.joeyl.com

Simak cerita mengenai perjalanan ke Suku Mentawai disini dan disini

Lalu lihat video ini disini


Tulisan ini dipersembahkan buat Suku Mentawai yang masih sekarang tak diketahui kabarnya. Semoga kalian baik-baik saja. Spirit bersama kalian.

Terimakasih buat Angga Nyen yang tadi sudah men-tag saya di foto seorang anggota suku Mentawai, sekaligus menyemangati saya untuk segera pergi kesana :)


1 komentar:

  1. all hail VIMEO!!!

    ayo mas, kapan video mentawai versimu.. taktunggu :)

    BalasHapus