Rabu, 02 Maret 2011

Pepatah Tua dan Pulau Sempu: Sebuah Perjalanan Akhir Tahun

Kalau ada manusia yang begitu betah dengan sistem kerja perusahaan tengik, Ade Defrizal lah orangnya. Pria bergigi tidak genap ini sudah berkali-kali kerja di berbagai perusahaan swasta yang kejam terhadap para buruhnya. Mulai dari perusahaan air mineral yang hanya memberikan upah sebesar 50 rupiah per galon full tank yang diangkat, perusahaan kecap yang mengharuskannya keluar masuk pasar berbau busuk, hingga sekarang di sebuah perusahaan minuman berbakteri yang memaksa Ade berpindah domisili hingga beberapa kali.

Namun sama seperti kekuatan hatinya dalam menghadapi kisah cintanya yang selalu suram, Ade mampu bertahan menghadapi sistem pekerjaan busuk itu. Menjadi buruh korporat yang tersiksa jiwa dan raga, tak heran kalau Ade begitu bersuka cita karena dia berhasil mendapatkan cuti akhir tahun selama satu minggu. Lumayan buat mengisi ulang tenaga buat menghadapi siksaan dari bos-nya tahun depan.

Walaupun hati dan malam-malamnya sudah terbiasa menghadapi kesepian, tapi ia tak mau menghabiskan liburan sendirian. Jadilah ia merengek pada saya dan Fahmi agar mau menemaninya pergi jalan-jalan, entah kemana.

"Yang penting mlaku-mlaku" ujarnya sembari memasang tampang melas.

Kebetulan sedari SMA, Fahmi adalah partner setia Ade. Baik dalam hal mencari pacar, mencari pacar, mencari pacar, dan mencari pacar lagi. Intinya mereka berdua adalah pemburu pacar. Fahmi saat itu sudah tinggal menunggu wisuda. Jadi waktu bukanlah halangan.

Setelah berpikir panjang, juga karena kami adalah teman yang baik dan tak suka menghina antar teman, maka kami mengiyakan ajakan Ade. Setelah berunding, akhirnya diputuskan bahwa pulau Sempu akan menjadi tujuan kami. Pulau Sempu ini adalah sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang terletak di selatan kota Malang, tepatnya di kecamatan Sumbermanjing Wetan.

Setelah resmi mendapatkan tempat tujuan, mulailah kami bergerilya mencari satu orang teman lagi, agar jumlahnya pas 4 orang.

Nova batal di saat terakhir, karena ada rombongan pejabat kepolisian datang, dan dia harus stay di kantor. Lalu Quddus juga membatalkan keikutsertaannya karena harus ikut tes CPNS. Tanpa disangka, teman terakhir yang memutuskan ikut adalah Angga Nyen, bandar bokep terkenal asal Mangli. Sahabat kami sedari SMA ini adalah tipe anak rumahan yang akan lebih memilih untuk tinggal dalam kamar sembari berselancar di dunia maya ketimbang harus bersusah payah naik sepeda motor dari Jember menuju Malang. Karena itu keikutsertaannya adalah kejutan akhir tahun.

Konon saat itu Nyen sedang butuh pelampiasan agar pikirannya tak melantur ke perempuan tetangga. Satu-satunya perempuan yang pernah dititipi hatinya Nyen. Sayang tempat penitipan itu kurang profesional, sehingga hati Nyen yang lembut dan rapuh itu sedikit lecet. Maka Nyen memutuskan untuk pergi dan tak lagi menengok ke belakang. Meski itu tak mudah.

4 orang terkumpul sudah. Tinggal persiapan tekhnis saja.

Setelah menyiapkan peralatan seperti tenda, misting, kompor lapangan, hingga parang, akhirnya kami berangkat dari Jember dengan dua buah motor. Fahmi membonceng Ade dan Saya membonceng Nyen. Formasinya kadang berubah, tapi dengan Fahmi dan Saya yang tetap menyetir. Dari dulu saya memang lebih suka menyetir ketimbang dibonceng.

Sempat mampir di Lumajang untuk makan siang di rumah nenek saya, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Malang lewat Piket Nol. Tempat ini adalah sebuah jalan pintas menuju Malang via kota Lumajang. Daerah dataran tinggi ini jalannya berkelok-kelok yang menjanjikan pemandangan indah dan pepohonan yang rimbun. Hujan deras tidak membuat kami berhenti. Dengan memakai ponco, kami menerobos hujan layaknya Dika Tom Tom yang mengacuhkan hujan untuk pergi ke Malang hanya demi mengantar prol tape buat sang pujaan hati (dan gagal total, hahaha). Semua lancar, sampai...

"Mandek sik, aku ngelu, kudu muntah" seru Nyen diantara deru deras hujan dan rentetan kilat yang jadi seperti flash kamera di siang hari yang gelap itu.

Rupanya Nyen masuk angin. Kondisi perut yang kosong membuat masuk anginnya tambah parah. Setelah berhenti sejenak, kami lanjut lagi tanpa tahu ternyata masuk anginnya Nyen seperti pertanda akan ada petaka berikutnya.

Hujan masih belum berhenti hingga sore hari. Kami berhenti sebentar di daerah Dampit, sekedar makan pisang goreng dan ngopi sembari bertanya arah kepada sang penjual.

Setelah lepas ashar, kami pun melanjutkan perjalanan. Hujan masih saja turun. Saya dan Ade yang memang senang guyon terus-terusan ngrasani muka Fahmi yang tertekuk. Entah karena lelah, entah karena hujan, entah kesal karena sudah 6 tahun jomblo. Entahlah.

Menjelang petang, masih tak tampak tanda-tanda bahwa Sendang Biru sudah dekat. Kami mulai cemas, meski hal itu tidak menghalangi saya dan Ade untuk tetap guyon. Malam sudah datang, tapi bulan enggan keluar. Jadinya gelap. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Hujan masih saja turun dengan deras.

Ketika ada beberapa rumah penduduk kami berhenti untuk bertanya arah. Ternyata Sendang Biru sudah dekat.

"15 menit lagi mas. Hati-hati ya, jalannya turun dan licin" kata seorang ibu setengah baya yang saya tanyai.

Setelah mengucapkan terima kasih, kami berniat melanjutkan perjalanan. Tapi,

"Ran, gantian. Aku kesel digonceng. Aku wae sing nyetir" keluh Ade.

Saya sebenarnya sedikit enggan menyerahkan tampuk kekuasaan menyetir pada Ade. Hal itu bukannya tanpa alasan. Kecelakaan bagi Ade lebih mirip sebagai sebuah rutinitas ketimbang kecelakaan. Frekuensinya sudah terlampau sering. Yang paling parah adalah ketika kami duduk di kelas 3 SMA.

Saat itu geng SMA kami ingin menyerbu sebuah SMA di daerah kampus. Beberapa orang --termasuk saya-- berangkat terlebih dahulu dengan angkot. Ade dan Dika menyusul dengan naik motor.

Kami sampai di pelataran SMA itu lebih dahulu. Tapi ternyata target kami tahu kalau dia sedang ditunggu. Ketimbang jadi sansak hidup, dia memutuskan untuk bersembunyi di dalam sekolah. Kami dengan gemas menunggu ia keluar. Sekolah itu sudah ramai dengan para murid yang sudah keluar.

Lalu, "Rek, Ade kecelakaan" kata Nyen yang saat itu datang dengan jalan kaki setelah bermain play station.

Ade kecelakaan parah. Dia menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Ade yang saat itu asyik bercanda tak melihat ada truk itu.

Braaaaakkkk! Motor yang dikebut Ade menghantam bagian belakang bak truk dengan keras. Ade pingsan. Koma selama beberapa hari di rumah sakit. Dan selanjutnya adalah sejarah yang kelak akan ia ceritakan pada anak cucunya.

Saya bukan tidak percaya dengan kemampuan menyetir Ade. Saya hanya berjaga-jaga. Waspada. Siapa tahu ada kejadian yang tidak mengenakkan. Tapi Ade tetap jumawa.

"Aku iki wong sing uripe nang dalan. Tenang wae" katanya congkak.

Akhirnya saya mengalah. Ade jadi supir, dan saya di belakang.

Hujan masih turun dengan deras. Jalanan gelap karena tidak ada lampu selain dari lampu motor kami. Baru 5 menit motor berjalan dari rumah tempat kami bertanya, kami berpapasan dengan sebuah mobil.

Cahaya lampu yang menyilaukan, badan mobil yang besar, plus lebar jalan yang sempit membuat Ade panik. Jalanan licin. Ade membanting setir ke kiri. Motor mulai bergoyang hebat.

Saya yang memegang carrier juga ikut panik. Dan,

Brakkkkkkk!

Motor menghantam pohon setelah terlebih dahulu terpelanting. Ade jatuh ke tanah dengan bonus ditindih motor. Saya terbang terjengkang ke depan. Kerongkongan saya menghantam setir sebelah kanan dan saya jatuh ke motor. Menambah beban pada Ade yang badannya kurus kering itu.

Ade hanya bisa menggelepar lemah sembari mengaduh. Saya memaki pelan sembari berdiri dari tanah berlumpur. Setelah mengangkat motor, saya melihat Ade yang tergolek lemas di tanah dengan mata terpejam. Dasar kejam, saya malah tertawa keras. Lega karena tak ada kerusakan pada motor, yang berarti kami masih bisa terus berjalan.

"Hahahahaha. Enak le?" tanya saya dengan sadis pada Ade yang tak bisa menjawab.

Fahmi dan Nyen yang berhenti di belakang saya juga ikut tertawa. Ade masih tetap berbaring, mengumpulkan tenaga dan juga berusaha mengumpulkan sekelebat nyawa yang hilang sebagian karena shock. Baru setelah itu saya membantu dia berdiri. Ade masih saja meringis kesakitan. Saya tetap ketawa dengan keras. Bersaing dengan derap hujan yang menimbulkan gemuruh.

***

Kami menginap di masjid Sendang Biru. Tak perlu bayar. Saya cukup meminta tolong juru kunci masjid untuk membuka pintu yang dia gembok. Sang nenek tua penjaga masjid itu malah membukakan pintu kamar mandi dengan air yang mengalir tak terbatas. Sebenarnya ia menolak uang yang kami kasih. Padahal kami hanya memberinya 10 ribu. Setelah dipaksa baru ia mau menerima uang itu. Mungkin menginap di masjid bisa dijadikan alternatif menginap di Sendang Biru ketimbang menyewa losmen dengan tarif 100 ribu/ malam.

***

Keesokan paginya, setelah sarapan kami pun memutuskan untuk langsung berangkat. Tapi ada masalah menghadang.

Seorang pria bermata juling menghampiri kami dan memaksa kami untuk melapor. Sebelum bertemu dia, saya dan Fahmi sudah masuk ke pos penjaga. Tapi nihil orang. Akhirnya saya memutuskan untuk langsung menuju dermaga. Tapi karena si bapak juling itu memaksa saya untuk melapor ke pos, jadinya saya balik memaksa dia untuk ikut juga ke pos penjagaan. Kelak saya memberikan julukan Pendekar Bermata Juling (PBJ) pada pria menyebalkan ini.

Sampai di pos, memang tak ada orang. PBJ kelimpungan mencari penjaganya. Akhirnya 10 menit kemudian seorang pria berseragam dinas berwarna hijau tua datang. Sepatu bot yang dia pakai menimbulkan bunyi berderap.

Saya sebenarnya paham kalau selalu ada administrasi ketika kita datang ke suatu destinasi. Baik itu touristy atau tipikal konservasi seperti ini. Sayang penjaga itu terlalu berbelit dalam menyampaikan maksud sebenarnya: meminta ongkos administrasi.

"Mas harus bawa SIMAKSI" jelas petugas itu.

SIMAKSI adalah singkatan dari Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi. Surat ijin tersebut wajib dibawa ketika seseorang memasuki kawasan konservasi. Pulau Sempu sebenarnya memang masuk kawasan konservasi. Meski banyak orang beranggapan kalau Sempu adalah destinasi wisata.

Saya dan Fahmi sempat kebingungan menghadapi masalah ini. Saya berkali-kali berargumen kalau selama ini tak pernah ada himbauan untuk membawa SIMAKSI ketika berkunjung ke Sempu. Saya juga tahu kalau selama ini tak pernah ada wisatawan yang membawa SIMAKSI ketika berkunjung ke Sempu. Saya memberikan contoh dua rombongan yang berangkat sebelum kami. Lantas ada dua orang bule Spanyol yang ditemani seorang guide.

"Apa mereka membawa SIMAKSI?" tanya saya.

"Gak tahu mas. Tadi bukan saya yang jaga" elaknya.

Dia sudah mulai kalah langkah. Saya dan Fahmi terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan. Akhirnya mas penjaga itu menyerah.

"Ya sudah. Tapi saya gak tanggung jawab kalau ada apa-apa" jelasnya.

"Iya mas. Kami bisa tanggung diri kami sendiri kok" jawab saya dengan songong karena sudah terlanjur kesal.

Dari berbagai keterangan yang kami kumpulkan dari beberapa teman yang sudah pergi ke Sempu, SIMAKSI memang tak diperlukan. Cukup membayar biaya administrasi. Sebenarnya kalau mas penjaga itu meminta uang administrasi langsung kami mau membayar. Tapi karena berbelit-belit, akhirnya mas itu tidak mendapatkan uang administrasi dari kami.

Setelah menghabiskan tenaga dan waktu untuk berdebat, kami tak mau membuang waktu lagi. Kami berempat langsung menuju perahu motor yang disediakan. Tarif perahu ini sebesar 100 ribu pp. Mas pengemudi perahu akan memberi nomer hpnya. Jadi ketika kalian ingin pulang, tinggal telpon saja. Maka 15 menit kemudian perahu akan datang menjemput.


Uang 100 ribu itu ternyata harus dibagi untuk tiga pihak.

"Saya biasanya dapat 20 ribu mas. Sisanya saya kasih ke pemilik perahu. Nanti pemilik perahu membaginya untuk pihak pengelola Sendang" ujar Firman, nahkoda perahu berumur kisaran seperempat abad pada saya. Dari Sendang Biru, hanya diperlukan 10- 15 menit untuk menuju Sempu.

Ketika kami menginjakkan kaki di pulau Sempu dan baru berjalan beberapa belas meter, kami masih bisa bergembira. Ketawa-ketiwi, sambil sesekali mengejek kalau ada yang terperosok dan terpeleset. Ade dengan bahagia merekam semua adegan dalam hpnya. Dia tampak begitu senang lepas dari beban pekerjaannya barang sejenak.

Sampai...

"Jancuk, dalane asu cuk" maki saya dengan kesal. Medan di Sempu ternyata tak semudah yang kami bayangkan.

Kontur pulau ini berupa hutan basah yang berbukit-bukit. Kalau ada pepatah yang ngomong "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian," saya yakin kalau penciptanya adalah seorang sok tahu bermulut besar yang jelas tak pernah pergi ke pulau Sempu pada musim penghujan. Kalau saja ia pernah datang ke Sempu pada musim penghujan, pasti bunyi pepatahnya adalah "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang sebentar, lantas menangis kemudian."

Iya. Kami --terutama saya-- harus berkali-kali terpeleset. Terpelanting. Terjungkal. Terperosok. Tersandung. Terjebak. Apapun itu istilah yang menggambarkan penderitaan karena lumpur yang dalamnya sangat tidak manusiawi. Memang setelah bersusah payah, kami bisa bersenang-senang. Tapi saya menangis merengek dalam hati karena mengetahui betapa beratnya nanti jalan untuk pulang. Sialan.


Perjalanan yang kami tempuh dari bibir pantai sejak turun dari perahu, hingga sampai di Sempu hampir mencapai 4 jam. Selain lumpur, bebatuan karang tajam mendominasi dataran yang kami injak. Mungkin pulau ini dulunya berada di bawah laut.

Segara Anak --danau air asin di Sempu dengan pantai berpasir coklat muda-- terlihat sangat lengang. Hanya ada kami berempat yang ditemani kicau burung dan sesekali pekikan dari monyet berbulu hitam. Mengingatkan saya akan Fahmi.

Kenyataan pahit yang harus saya lihat adalah fakta bahwa Segara Anak sudah kotor. Di pantainya berserakan sampah. Mulai botol minuman, plastik bungkus mie instan, botol minuman keras, hingga celana dalam. Mengerikan.

Cuaca sangat panas. Kami menggunakan kesempatan ini untuk menjemur baju yang basah karena hujan kemarin. Setelah itu kami membangun tenda pinjaman yang berkapasitas 4 orang. Lantas baru kami melepas baju, langsung berlari menuju danau. Meloncat bagai monyet, berenang bagai ikan, menyelam bagai penyu hijau. Kami semua begitu bergembira.








Saya sejenak melupakan skripsi. Ade sejenak melupakan pekerjaan dan hatinya yang kesepian. Fahmi melupakan sebentar status jomblo yang sudah dia sandang selama 6 tahun. Dan Nyen jelas sejenak melupakan tetangga perempuan yang sudah bikin hatinya lecet.

Rutinitas kami setelah berenang hanya bersantai. Menuliskan nama di pasir pantai, memotretnya, lantas pergi ke tenda untuk bikin kopi dan memasak makan malam.

Suasana malam tenang, hanya terdengar debur ombak dan celotehan kami. Angin berdesau pelan sesekali. Berduet dengan bunyi ranting kering yang terbakar dari api unggun yang kami buat. Ketenangan ini begitu menyenangkan. Meski kadang sedikit menakutkan.


Bukan. Kami tidak takut hantu, pocong, atau sebangsanya. Saya yakin malah mereka yang akan lari terbirit-birit setelah melihat Fahmi. Kami takut kalau ada macan tiba-tiba datang dan mengobrak-abrik tenda kami. Memamah kami bagai kerbau memamah rumput. Karena konon katanya di pulau tak berpenduduk ini, macan masih ada dan menempati puncak rantai makanan.

Syukurlah keesokan harinya kami masih hidup. Fahmi masih hitam mengenaskan dan jomblo. Ade masih saja kurus dan rawan diterbangkan kalau ada topan. Nyen juga masih kecil dan berambut keriting. Saya juga masih keren dan berkharisma.

Setelah sarapan, membereskan tenda, packing, memendam sisa api unggun, memasukkan sampah dalam kantong plastik dan membawa sampah itu, kami pun berfoto sejenak.



Perjalanan belum usai. Kami sepertinya masih akan menangis karena tahu betapa medan pulang begitu berat.

Hei pembuat pepatah bersakit-sakit dahulu, fuck you!

3 komentar:

  1. suka sekali kalimat yang terakhir :)

    BalasHapus
  2. Sama. Aku ke sana Natal kemaren, dengan hujan seribu galon air. Ampun. So Far The Hardest Track. Tapi Naggih.
    Eh tapi tulisanmu kelewat berfokus pada deskriptif proses perjalanan, kekagumanmu terhadap Sempu kurang dramatis. Kasihan yag baca nanti trauma duluan.
    Buat apa berjuang kalau kecantikannya tidak layak diraih. HUH

    BalasHapus
  3. ira: hehehe, itu kan kalimat kotor? :p

    ajeng: hehehe, honestly, segara anakan emang kurang berkesan sih. udah kotor. yang berkesan itu justru perjalanannya kesana, hehehe. kalau yang baca udah trauma duluan, bagus deh, biar sempu gak jadi tambah kotor, hihihihi :D

    BalasHapus