Cerita dimulai dengan fakta bahwa saya punya seorang kawan akrab. Saya sudah mengenal dia hampir di seluruh masa hidup saya. Maklum, dia sudah satu sekolah dengan saya semenjak TK dan SD. Masuk SMP baru kita berpisah karena perbedaan kualitas otak :D
Sahabat saya itu akhirnya masuk di Fakultas mentereng di Universitas elit dengan semboyan excellent with morality. Dia berhasil lulus tepat waktu, dengan nilai yang memuaskan pula. Dia berhasil membuat orang tua dan banyak orang bangga.
Tapi setelah lulus dan berhak bekerja di bidang yang ia geluti, ia lebih memilih untuk keluar dari zona nyaman. Di saat semua kawan seangkatannya --para sarjana yang tidak hanya ekselen, tapi juga bermoral-- berlomba-lomba mencari pekerjaan dengan gaji tinggi, teman saya itu malah asyik menekuni pekerjaan jadi travel writer.
Itupun kalau travel writer sudah diakui sebagai pekerjaan.
Dunia penulisan perjalanan itu baru dia tekuni tahun 2010. Kami sama-sama menjadi penulis lepas. Dia menulis tentang perjalanan, saya lebih sering menulis musik.
Memasuki dunia baru yang belum begitu ia kuasai dengan titel sarjana adalah keputusan yang bodoh dan sia-sia. Bukan bagi saya, tapi bagi banyak orang di sekelilingnya.Termasuk para temannya. Tak sedikit para temannya yang mencibir. Sarjana kok gak "kerja".
Malah banyak yang ngomong "wah kerjamu enak ya, jalan-jalan terus, dapet duit pula. Kalau aku kerjanya, bla bla bla" dan sederet keluh kesah ala anak mama yang tak paham kalau keluhannya itu rawan memicu kanker otak bagi yang mendengarnya.
Mereka tidak sadar bahwa jadi penulis perjalanan bukanlah pekerjaan yang gampang. Menjadi penulis itu bukan hal yang lebih mudah ketimbang kerja kantoran.
Tidak percaya?
Jadi, seorang penulis perjalanan biasanya dapat assignment. Ini seringnya berlaku bagi para kontributor yang sudah memiliki jam kerja tinggi dan mutu tulisannya dapat dipercaya, sehingga media tak ragu memberikan tugas. Step pertama sudah tidak menyenangkan: pergi ke tempat yang sudah ditentukan oleh sang redaktur.
Setelah sampai di tempat tujuan, sang penulis tidak bisa langsung seenaknya ngeluyur kemanapun yang ia suka. Ia harus meliput hal-hal yang nantinya akan ia masukkan ke dalam tulisannya. Dan biasanya sudah ada kesepakatan antara penulis dan redaktur mengenai hal yang akan ditulis. Sekarang bayangkan misalnya kita pergi ke sebuah resor mewah di Bali. Kita ingin pergi ke air terjun yang ada di belakang resor, tapi sang redaktur menyuruh kita untuk menulis soal spa. Tidak enak kan?
Lalu setelah semua tugas dalam perjalanan selesai, penyiksaan belum usai. Ada yang dinamakan: MENULIS. Ini adalah proses terpenting. Menulis biasanya dibarengi oleh yang namanya DEADLINE. Biasanya garis kematian itu diberikan hanya beberapa hari setelah perjalanan usai. Bayangkan, di saat lelah setelah jalan-jalan, sang penulis tidak bisa beristirahat dengan tenang karena masih harus menulis. Setelah tulisan dikirim pun, masih ada revisi.
Bagaimana? Masih berpikir kalau bekerja jadi penulis perjalanan itu menyenangkan dan mudah? Mudah matamu cuk.
Step ini juga berlaku bagi para penulis lepas lainnya, termasuk penulis musik. Kalian bisa membayangkan betapa tidak menyenangkannya jadi penulis musik lepas yang tidak suka Ungu atau Wali, tapi ditugaskan menulis tentang kenapa "Aku Bukan Bang Toyib" itu laris di pasaran, atau kenapa Ungu tega menulis lagu dengan lirik busuk macam "I will always love you, kekasihku"?
Tapi semua keburukan itu jadi sirna, tidak pernah kami rasakan. Kenapa? Simply because we love our job! Karena kami mencintai pekerjaan kami, sesederhana itu. Karena mencintai pekerjaan kami, uang honor jadi seperti bonus saja. Ada rasa puas ketika tulisan yang kami kerjakan nampang di majalah atau koran, lalu kami bisa menunjukkan pada orang-orang terdekat kami bahwa kami tidak melakukan sesuatu yang sia-sia. We did something!
Karena alasan mencintai pekerjaan juga, kami semua berusaha untuk tidak mengeluh. Tapi nyatanya tidak mengeluh serta menikmati pekerjaan itu adalah hal terakhir yang dilakukan para temannya sahabat saya itu.
Alih-alih bersyukur karena sudah dapat kerja, mereka malah ngomel, mengeluh, dan berkesah. Sebenarnya hal itu sah-sah aja, silahkan. Tapi masalahnya mereka sudah mulai sirik dengan kehidupan orang lain. Sudah mulai bilang "ah kamu kerjanya enak banget sih, jalan-jalan terus, bla bla bla bla". Mendengarkan keluh kesah seperti itu rasanya saya ingin memindah kuping ke dekat lubang anus.
Kenapa mereka tidak mulai bersyukur? Bersyukur bahwa mereka masih bisa kuliah, sudah sarjana, sudah dapat pekerjaan mapan dengan cepat, dan dapat gaji bulanan secara rutin. Kenapa harus mengeluh kerjanya membosankan, teman sekantornya menyebalkan, bla bla bla. Mereka seharusnya sadar, banyak orang yang tidak bisa kuliah, kuliah pun susah lulus, setelah lulus pun harus pontang panting cari kerja, cari kerja pun gajinya belum tentu cukup selama sebulan.
Banyak orang bijak bilang, salah satu cara membentuk manusia yang tangguh, tak pernah mengeluh, dan selalu bersyukur adalah dengan traveling. Saya setuju.
Seharusnya memang mereka traveling ke TIMBUKTU atau ke UGANDA!
*meskipun tulisan saya memang selalu buruk, kalau sedang emosi begini tulisan saya jadi makin bertambah buruk. Saya sepertinya memang tidak bisa jadi penulis yang bisa bikin orang merenung, hahaha*
Sahabat saya itu akhirnya masuk di Fakultas mentereng di Universitas elit dengan semboyan excellent with morality. Dia berhasil lulus tepat waktu, dengan nilai yang memuaskan pula. Dia berhasil membuat orang tua dan banyak orang bangga.
Tapi setelah lulus dan berhak bekerja di bidang yang ia geluti, ia lebih memilih untuk keluar dari zona nyaman. Di saat semua kawan seangkatannya --para sarjana yang tidak hanya ekselen, tapi juga bermoral-- berlomba-lomba mencari pekerjaan dengan gaji tinggi, teman saya itu malah asyik menekuni pekerjaan jadi travel writer.
Itupun kalau travel writer sudah diakui sebagai pekerjaan.
Dunia penulisan perjalanan itu baru dia tekuni tahun 2010. Kami sama-sama menjadi penulis lepas. Dia menulis tentang perjalanan, saya lebih sering menulis musik.
Memasuki dunia baru yang belum begitu ia kuasai dengan titel sarjana adalah keputusan yang bodoh dan sia-sia. Bukan bagi saya, tapi bagi banyak orang di sekelilingnya.Termasuk para temannya. Tak sedikit para temannya yang mencibir. Sarjana kok gak "kerja".
Malah banyak yang ngomong "wah kerjamu enak ya, jalan-jalan terus, dapet duit pula. Kalau aku kerjanya, bla bla bla" dan sederet keluh kesah ala anak mama yang tak paham kalau keluhannya itu rawan memicu kanker otak bagi yang mendengarnya.
Mereka tidak sadar bahwa jadi penulis perjalanan bukanlah pekerjaan yang gampang. Menjadi penulis itu bukan hal yang lebih mudah ketimbang kerja kantoran.
Tidak percaya?
Jadi, seorang penulis perjalanan biasanya dapat assignment. Ini seringnya berlaku bagi para kontributor yang sudah memiliki jam kerja tinggi dan mutu tulisannya dapat dipercaya, sehingga media tak ragu memberikan tugas. Step pertama sudah tidak menyenangkan: pergi ke tempat yang sudah ditentukan oleh sang redaktur.
Setelah sampai di tempat tujuan, sang penulis tidak bisa langsung seenaknya ngeluyur kemanapun yang ia suka. Ia harus meliput hal-hal yang nantinya akan ia masukkan ke dalam tulisannya. Dan biasanya sudah ada kesepakatan antara penulis dan redaktur mengenai hal yang akan ditulis. Sekarang bayangkan misalnya kita pergi ke sebuah resor mewah di Bali. Kita ingin pergi ke air terjun yang ada di belakang resor, tapi sang redaktur menyuruh kita untuk menulis soal spa. Tidak enak kan?
Lalu setelah semua tugas dalam perjalanan selesai, penyiksaan belum usai. Ada yang dinamakan: MENULIS. Ini adalah proses terpenting. Menulis biasanya dibarengi oleh yang namanya DEADLINE. Biasanya garis kematian itu diberikan hanya beberapa hari setelah perjalanan usai. Bayangkan, di saat lelah setelah jalan-jalan, sang penulis tidak bisa beristirahat dengan tenang karena masih harus menulis. Setelah tulisan dikirim pun, masih ada revisi.
Bagaimana? Masih berpikir kalau bekerja jadi penulis perjalanan itu menyenangkan dan mudah? Mudah matamu cuk.
Step ini juga berlaku bagi para penulis lepas lainnya, termasuk penulis musik. Kalian bisa membayangkan betapa tidak menyenangkannya jadi penulis musik lepas yang tidak suka Ungu atau Wali, tapi ditugaskan menulis tentang kenapa "Aku Bukan Bang Toyib" itu laris di pasaran, atau kenapa Ungu tega menulis lagu dengan lirik busuk macam "I will always love you, kekasihku"?
Tapi semua keburukan itu jadi sirna, tidak pernah kami rasakan. Kenapa? Simply because we love our job! Karena kami mencintai pekerjaan kami, sesederhana itu. Karena mencintai pekerjaan kami, uang honor jadi seperti bonus saja. Ada rasa puas ketika tulisan yang kami kerjakan nampang di majalah atau koran, lalu kami bisa menunjukkan pada orang-orang terdekat kami bahwa kami tidak melakukan sesuatu yang sia-sia. We did something!
Karena alasan mencintai pekerjaan juga, kami semua berusaha untuk tidak mengeluh. Tapi nyatanya tidak mengeluh serta menikmati pekerjaan itu adalah hal terakhir yang dilakukan para temannya sahabat saya itu.
Alih-alih bersyukur karena sudah dapat kerja, mereka malah ngomel, mengeluh, dan berkesah. Sebenarnya hal itu sah-sah aja, silahkan. Tapi masalahnya mereka sudah mulai sirik dengan kehidupan orang lain. Sudah mulai bilang "ah kamu kerjanya enak banget sih, jalan-jalan terus, bla bla bla bla". Mendengarkan keluh kesah seperti itu rasanya saya ingin memindah kuping ke dekat lubang anus.
Kenapa mereka tidak mulai bersyukur? Bersyukur bahwa mereka masih bisa kuliah, sudah sarjana, sudah dapat pekerjaan mapan dengan cepat, dan dapat gaji bulanan secara rutin. Kenapa harus mengeluh kerjanya membosankan, teman sekantornya menyebalkan, bla bla bla. Mereka seharusnya sadar, banyak orang yang tidak bisa kuliah, kuliah pun susah lulus, setelah lulus pun harus pontang panting cari kerja, cari kerja pun gajinya belum tentu cukup selama sebulan.
Banyak orang bijak bilang, salah satu cara membentuk manusia yang tangguh, tak pernah mengeluh, dan selalu bersyukur adalah dengan traveling. Saya setuju.
Seharusnya memang mereka traveling ke TIMBUKTU atau ke UGANDA!
*meskipun tulisan saya memang selalu buruk, kalau sedang emosi begini tulisan saya jadi makin bertambah buruk. Saya sepertinya memang tidak bisa jadi penulis yang bisa bikin orang merenung, hahaha*
cara terbaik menikmati hidup adalah menemukan passion.
BalasHapusdan cara terbaik untuk bahagia adalah bersyukur dan menikmati hidup.
huahahahhhahaa.... sopo iki maksude!!! :)))
BalasHapusiki bab Dwi Putri yang gembil itu?
BalasHapus