Rabu, 01 Desember 2010

Ranca Buaya

Saya dan Ayos pergi jalan-jalan mengelilingi Jawa Barat pada medio Januari. Dengan tema Wild Wild West, kami berharap akan mendapatkan petualangan liar yang sesekali disertai dengan pantai-pantai bagus.

Ternyata petualangan kami tak seliar yang dibayangkan. Pun, pantai yang kami kunjungi tak ada yang bagus. Tapi traveling itu tak melulu mengenai pantai bagus, melainkan momen dan proses yang terjadi ketika traveling itu lah yang paling penting.

Kami berdua mendapatkan banyak cerita di perjalanan yang berlangsung selama hampir 2 minggu ini. Berangkat dari Surabaya, menuju Bandung, lalu ke Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, balik ke Bandung lagi, lantas berakhir di Jakarta. Sebenarnya kami ingin pergi ke Cirebon, apa daya waktu kami tak cukup. Ya sudahlah, Cirebon disimpan buat lain kali saja.

Banyak tempat yang kami kunjungi di tanah Parahyangan ini. Ada hulu sungai Citarum yang kami kunjungi dengan beberapa kawan Wanadri. Lantas Curug Malela, dimana kami mendapat teman berpetualang yang baru: Maya, Fanny, dan Aruna. Di Garut kami pergi menuju Ranca Buaya naik angkot neraka seharga 35 ribu (apa 50 ribu ya? saya lupa, hehehe). Disebut angkot neraka karena jalan yang kami lewati itu berkelok-kelok, tipikal jalanan pegunungan, dan supirnya mengebut ugal-ugalan seperti baru saja ditalak tiga oleh sang istri muda.

Ranca Buaya adalah sebuah pantai yang terletak di daerah Garut Selatan, tepatnya di Kecamatan Caringin, sekitar 100 km dari pusat kota Garut.

Nah di Ranca Buaya ini ada banyak cerita seru. Kami numpang nginap gratis di rumah pak Kades yang ternyata mantan supir pribadi seorang menteri di jaman Orde Baru. Orang-orang sana sungkan sama pak Kades ini karena konon dia dulu adalah preman desa. Kami menginap 3 hari 2 malam dengan gratis. Fasilitas itu masih ditambahi dengan makan gratis, hehehe. Pak Kades, semoga anda sekeluarga sehat disana :)

Oh ya, berbicara mengenai Ranca Buaya, ada sebuah spot menarik yang ditunjukkan oleh anak pak Kades yang masih berumur 9 tahun. Spot ini berupa padang rumput yang terletak di sebuah tebing. Jika kamu berdiri di spot ini, maka terlihatlah Samudra Hindia yang luas membentang. Ombak di bawah kita berkejaran dan menimbulkan buih serta suara yang magis. Belum lagi kalau kamu duduk dan menyaksikan matahari terbenam yang mempesona. Uh, rasanya tak ingin pulang.



Sayang tak ada penerangan di spot ini, hanya ada sebuah gazebo tempat bersantai. Kata Pak Kades, nanti tempat itu akan dipercantik lagi. Semoga ketika saya kesana lagi (entah kapan) tempat itu tambah bagus dan tetap terawat.

Ranca Buaya sendiri bukan tipikal pantai berpasir putih dan air laut yang biru nan bening. Ia adalah tipikal pantai selatan yang berombak besar dan berpasir coklat kehitaman. Tapi itu tak mengurangi keindahannya. Ranca Buaya mempunyai keeksotisannya sendiri.

Pantai ini sempat disebut Dewi Lestari di Perahu Kertas. Saya sendiri baru tahu ketika baca novel ini beberapa bulan setelah berkunjung ke Ranca Buaya. Di novel itu dia menyebutkan spot bagus yang bisa memandang ke lautan lepas. Tapi entah, apa spot yang ia maksud adalah spot yang sama dengan spot tempat kami berdiri.

Ah, saya jadi kangen Ranca Buaya. Kesana lagi yuk.


Mastrip
Sembari mendengarkan Shake Your Money Maker
dan The Southern Harmony and Musical Corporation
The Black Crowes rule!

2 komentar:

  1. yeeeaaah perahu kertasss!! ehhh yeeeaaahhh ranca buaya!!!

    BalasHapus
  2. Yang di atas itu puncak guha namanya mas, salam kenal. Saya juga kangen rancabuaya :)

    BalasHapus