26Desember 2010. Terdengar lantunan ayat suci dari ruangan bawah. Beberapa orang berpeci dan mengenakan sarung tampak duduk bersila. Tiap mereka memegang alquran.
Ba'da maghrib itu ada acara khatamman alquran dirumah. Sekedar mendoakan ayah saya yang kemaren pagi meninggalkan dunia ini dengan tenang dan senyum kemenangan. Selain mendoakan, acara khattaman ini juga untuk mengenang ayah saya.
Tapi saya mengenang beliau dengan cara saya sendiri. Membuka kembali album-album foto lama ayah saya. Melihat kembali kenangan masa muda ayah. Memilih beberapa dan merepro foto-foto itu.
***
22 Desember 2010. Rumah saya riuh rendah dengan berbagai celoteh riang. Hari itu saya dan adik saya berulang tahun. Ada acara makan-makan yang dihadiri oleh beberapa orang kerabat.
Kiki datang dari Surabaya bareng pacarnya yang karateka sabuk hitam itu. Saya jadi paham kenapa Kiki yang dulu sering gonta ganti pacar sekarang sudah menghentikan kebiasaan buruknya itu.
Sasha si bungsu juga datang. Ia libur karena ada class meeting di sekolahnya. Saya sendiri mengajak Rina datang kerumah. Meski awalnya deg-degan, ia berhasil melewatkan pertemuan pertama dengan keluarga saya dengan gemilang. Keluarga saya ribut. Tetangga saya juga ribut. Mereka semua membingungkan satu hal: kenapa Rina mau sama saya :D
Kiki lah yang punya inisiatif mengumpulkan kami semua. Dia pula yang minta pada mamak agar masak Sop Buntut. Saya sendiri minta sambal goreng hati sapi, makanan kesukaan saya sepanjang masa.
Ayah sendiri bahagia hari itu. Meski ia berkali-kali nangis ketika melihat para anaknya bercanda. Ayah sudah 5 kali kena serangan stroke. 4 kali diantaranya berakhir di RS. Yang paling parah adalah serangan ke 3, yang mengharuskan dia pindah rumah sakit sebanyak dua kali, dan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan di atas kasur rumah sakit.
Karena serangan stroke itu pula, saraf ayah terganggu. Kalau ada tayangan humor, meski garing, ia akan tertawa terbahak-bahak. Kalau melihat tayangan yang sedih, maka ia akan menangis, tak jarang tergugu, meski yang ditontonnya hanya acara sedih polesan yang banyak bertebaran di TV.
Pernah pula saya merasa bingung. Sebabnya adalah ayah menangis tersedan ketika rokaat pertama sholat Jumat di Masjid Universitas Jember. Katanya, suara amin yang serempak itu mengingatkan dia ketika sholat di masjid Nabawi. Dan ia terharu. Maka menangislah ia sampai rokaat terakhir.
Karena itu pula ayah berkali-kali menangis terharu melihat keempat orang anaknya sudah tumbuh besar. Kami berempat sering menggodanya dengan gojlokan "udah besar kok cengeng", lalu tertawalah ayah.
***
Suatu hari saya dan ayah menghadiri pernikahan anak sahabatnya. Seingat saya, pertama kali itulah saya memakai batik. Itupun karena dipaksa oleh mamak. Ayah cuma tertawa kecil melihat muka saya yang ditekuk karena kesal.
Dasar pernikahan anak orang penting, untuk masuk ke dalam gedung saja harus antri. Padahal ayah sering tak kuat kalau harus berdiri terlalu lama. Untunglah hari itu ayah kuat berdiri cukup lama dan berjalan cukup jauh.
Ketika sudah masuk ke dalam gedung, tampak di pojokan ada segerombolan biduanita yang bernyanyi diiringi oleh seorang pemain keyboard. Mereka memainkan lagu-lagu mesra yang sepertinya wajib dimainkan di resepsi pernikahan.
"Yah, ntar kalo aku nikah, aku mau ngundang full band. Harus ada lagu Smoke on the Water sama I Will" kataku songong.
Smoke on the Water adalah lagu dari super band Deep Purple favorit ayah yang pertama kali didengarkannya pada saya ketika saya masih duduk di kelas 2 SD.
"Iyo wis. Yang penting kamu mau nikah" kata ayah sambil terkekeh.
Ayah bilang gitu karena dulu semasa masih jadi remaja galau berseragam putih abu-abu, saya pernah bilang ke ayah dan mamak kalau saya tidak akan pernah mau menikah sampai kapan pun. Alasannya apa lagi kalau bukan ingin bebas sampai ajal menjemput nanti.
Ayah bilang kalau pikiran saya itu adalah pikiran orang bodoh. Lantas beliau bilang --dan kalimat itu masih saya ingat dengan jelas hingga sekarang-- kalau pernikahan itu bukan melulu soal seks. Selain ibadah, pernikahan itu menyenangkan karena ketika kita bangun, kita tahu ada orang disamping kita.
Iya ayah.
***
24 Desember 2010. Jam setengah 9 malam, saya sedang duduk lesehan dengan Rina di sebuah kedai jagung bakar. Malam itu Rina merengek, pengen makan jagung manis rasa keju. Aduh kakak, mana ada makanan begituan di Jember. Kalaupun ada, pasti tak akan dijual di daerah kampus. Akhirnya saja ajak dia lesehan di kedai jagung bakar di bundaran jalan Bangka. Kami makan jagung bakar serut.
Rina memesan jagung bakar keju manis coklat, dan saya pesan jagung bakar ekstra asin pedas. Rina ternyata lebih suka jagung bakar pesanan saya, dan dia menghabiskan pesanan saya.
Lalu tiba-tiba ada handphone saya berbunyi. Adik bungsu yang telepon. Tumben, pikir saya. Sebenarnya saya sedikit enggan mengangkatnya, karena saya pikir si bungsu yang rewel itu pasti minta oleh-oleh. Tapi saya berubah pikiran, dan saya angkat telepon itu.
Bukannya suara, yang terdengar malah pecahnya tangis histeris di seberang sana.
Saya bingung. Adik saya menangis dan meracau secara bersamaan. Setelah saya tenangkan, barulah ia bisa ngomong dengan jelas.
"Ayah, ayah!" katanya terbata-bata sambil tetap tersedu.
Pasti ada yang gak beres di rumah. Saat itu juga saya panggil Rina dan segera berkemas. Setelah mengantar Rina pulang, saya pun segera mengebut menuju rumah dengan Supra tua yang hanya mampu berlari maksimal 80 km/jam. Lebih dari itu bisa mrotol dia, dan langsung akan ditawar ditempat oleh juragan besi asal Sumenep.
Pas saya sampai di gapura perumahan, dari kejauhan sudah terlihat gerombolan orang yang menyemut di depan rumah saya. Sesampai di depan rumah, terlihat Orin sedang terduduk di teras.
Gayanya persis gadis emo yang baru saja diputus pacarnya lalu merasa dunia ini adalah tempat yang kejam dan tak ada orang yang mau mengerti dia. Dagunya ditopangkan ke lutut. Matanya sembab. Habis keluar air mata banyak sepertinya.
Orin sekarang sudah besar. Sudah jadi gadis cantik. Dulu siapa yang sangka kalau dia lahir prematur dan nyaris saja meninggal setelah dilahirkan. Orin kecil tubuhnya rapuh, gampang jatuh sakit. Setelah besar, selain tambah sehat, Orin pintar matematika. Seingat saya, dia mendapatkan nilai sempurna di ujian nasional matematika semasa SMP. Gabungan dari faktor prematur dan pintar matematika itulah yang membuat Orin jadi gadis kecil kesayangan ayah.
Pas ngeliat saya datang, Orin tambah nangis. Seperti anak kecil yang melihat genderuwo saja. Sialan. Setelah saya tenangkan, saya suruh dia cuci muka. Beberapa menit kemudian dia ikut mobil tetangga yang juga turut pergi ke RS.
Lalu saya masuk ke dalam rumah. Melihat kamar ayah dan mamak. Lampunya masih hidup. Pintu kamar mandi masih terbuka. Tapi tidak ada ceceran air, yang menandakan belum ada orang yang sempat masuk kamar mandi. Lalu ada ceceran muntah di sprei yang sudah berantakan.
***
Beberapa jam sebelumnya. Mamak, Sasha, Orin dan Mak Ri sedang liat TV di ruang tengah. Seperti biasa, mereka menonton sinetron yang terkutuk. Ayah sendiri setelah sholat isya, lantas masuk ke dalam kamar. Biasanya nonton tv, acara komedi kesukaannya.
Di luar terdengar suara kentongan dari tukang jual sate ayam. Sasha yang belum makan, memesan 10 tusuk sate.
"Sha, ayah coba ditawari, siapa tau mau" kata mamak.
Tapi Sasha bilang gak usah, "Palingan sudah tidur" katanya. Sekitar pukul 20.30, Mamak masuk ke dalam kamar, mau wudhu, sholat isya, dan bergegas tidur.
Tapi ketika membuka pintu kamar mandi, alangkah kagetnya Mamak melihat ayah sudah tengkurap. Begitu dibalikkan, mulut ayah sudah berbusa dan ada ceceran muntah. Mamak panik dan memanggil Orin, juga Sasha. Mereka lalu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Melihat Mamak memeluk ayah yang tidak sadar, mereka berdua ikutan histeris dan memanggil Mak Ri.
Mak Ri ini pembantu keluarga kami yang sudah ikut keluarga sejak tahun 1987, sudah 23 tahun lalu.
Mak Ri yang sudah "senior" bisa berpikir lebih tenang, lantas berlari memanggil tetangga sebelah, Pak Kamdi. Setelah mengetahui ceritanya, Pak Kamdi bersama menantu lelakinya berlari menuju rumah. Ayah lantas digotong berempat oleh Pak Kamdi, menantunya, Mamak, dan juga Orin. Ayah yang berbadan besar memang sepertinya berat jika digendong. Akhirnya setelah bersusah payah, ayah berhasil digendong dan masuk ke dalam sedan milik Pak Kamdi. Lantas mobil kecil berisi 5 orang itu ngebut menuju RSUD Soebandi.
***
Dulu ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP, ayah mengirimkan 4 lembar kartu pos dari benua suku aborigin untuk 4 orang anaknya. Tiap orang mendapat jatah 1 kartu.
Punya Kiki dikirim ke SMP 12, punya saya dikirim ke SMP 7, dan untuk dua orang adik saya, dikirimkan ke SD Al Furqan.
Lucunya, hanya punya saya yang sampai dengan selamat. 3 kartu pos lain entah nyasar kemana. Di kartu pos hitam bergambar koala, kanguru, dan Sydney Opera House itu ayah menuliskan pesan.
Belajarlah yang rajin lalu lihatlah dunia. World is beautiful my son.
Entah mau percaya atau tidak, kartu pos yang hanya sampai ke tangan saya itulah yang membuat saya menggemari jalan-jalan. Tuhan seperti menulis skenario takdir yang harus saya mainkan. Hal itu seperti menyibak takdir, bahwa saya dilahirkan untuk jalan-jalan. Memang diantara 4 orang anaknya, hanya saya yang suka jalan-jalan. Saya seperti mewarisi kegemaran ayah yang suka jalan-jalan dan menggelandang. Mengenai menggelandang, saya ingat satu cerita.
Ayah dulu pernah minggat dari rumah dan bekerja sebagai pelayan restoran di Yogya. Sebabnya adalah ayah gagal masuk Fakultas Kedokteran UGM. Ayah yang sudah lolos ujian tulis, harus menerima kenyataan pahit bahwa ia buta warna. Gagallah ia masuk Fakultas idamannya. Untuk melampiaskan rasa frustasinya, ayah pergi dari rumah dan memilih untuk hidup di kota orang. Setelah satu tahun, ayah lalu masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember.
Kembali ke masalah kartu pos tadi. Di kalimat yang dituliskan ayah, jelas tersirat bahwa aku harus terus berjalan, mengetahui tempat baru, berkenalan dengan orang baru, dan mendapatkan pengalaman baru.
Sampai sekarang aku masih suka berjalan. Setapak demi setapak. Untuk menagih janji indahnya dunia yang dijanjikan ayah dalam kartu pos dari Australia itu.
***
24 Desember 2010, pukul 23.00. Saya sampai di IGD RSUD Dr. Soebandi. Di ruang tunggu ada beberapa kerabat dan tetangga. Orin dan Sasha duduk sembari membawa bantal dan guling. Mata mereka berdua masih sembab. Mamak tidak ada, ternyata masuk ke dalam bangsal perawatan. Saya menyusul masuk.
Ayah terbaring tanpa daya di brankar. Ada beberapa selang yang terhubung dengan infus dan mesin yang saya tidak tahu apa kegunaannya. Hati saya tiba-tiba tersergap perasaan getir. Melihat sosok yang saya idolakan, sekarang terbaring lemas dan tidak sadarkan diri. Saya memang mengidolakan ayah saya, meski tak pernah mengungkapkan hal itu langsung padanya. Kami berdua sepertinya menderita alergi penyakit melankolia antara ayah dan anak. Ayah tak pernah sekalipun bilang kalau dia sayang sama saya. Saya pun tak pernah bilang betapa saya sayang ayah. Meski kami tak pernah mengungkapkannya, kami tahu bahwa kami saling mengagumi.
Nafas ayah masih ngorok. Kata mamak, kalau ayah sudah ngorok, berarti ada yang salah dengan jantung dan paru-parunya. Malam itu ayah ngorok dengan kerasnya. Lalu terdengar pula suara dahak yang mengumpul di tenggorokan. Sang dokter muda yang berjaga lantas memasukkan selang panjang ke dalam tenggorokan ayah. Selang itu fungsinya menyedot dahak yang menggumpal di tenggorokan. Setiap si dokter muda itu memasukkan selang ke dalam tenggorokan ayah, rasa sakit tiba-tiba terasa di tenggorokan saya. Lantas saya seperti ingin muntah.
Dokter muda yang berjenis kelamin laki-laki itu sepertinya dulu adalah tipikal mahasiswa yang rada bloon. Saya sempat memergokinya bertanya pada temannya tentang bagaimana caramengoperasikan selang penyedot dahak itu. Sialan. Lantas saya berpikir, kok bisa ya dokter magang ditaruh di IGD? Bukannya IGD itu kepanjangan dari Instalasi Gawat Darurat, yang artinya pasien yang masuk kesini adalah pasien dengan kondisi yang gawat serta darurat. Kalau sedang dalam kondisi gawat dan darurat itu, tapi dokternya bahkan kebingungan untuk masalah kecil, kan kasihan pasiennya? Sepengamatan saya, hanya ada satu dokter senior --dan dia juga masih termasuk muda-- serta 2 orang perawat senior yang mendampingi para dokter magang itu. Kemana para dokter senior yang lain ya?
Sekitar jam 00.00 ayah dipindah ke Unit Saraf. Ayah masih tidak sadar. Setelah dokter memasang beberapa selang ke tubuh ayah, mamak kembali ngaji di sebelah ayah. Saya duduk diluar ruangan, bukan lagi diluar kamar. Karena gak boleh ada terlalu banyak yang menunggui ayah. Jadinya saya ditemani oleh sekaleng kopi instan, dan nyamuk-nyamuk yang membuat saya tetap terjaga. Rina berkali-kali sms menanyakan kabar ayah. Tapi sayang jawaban saya tak jua berubah: masih belum sadar.
Sekitar jam 1.30 saya masuk ke dalam kamar tempat ayah dirawat. Nafas ayah sudah tak ngorok lagi. Sudah tenang seperti biasa.
"Tekanan darah, atas dan bawah sudah mulai normal" kata mamak. "Tubuhnya sudah mulai hangat, tidak dingin seperti tadi" lanjutnya. Mamak dan saya berkali-kali memegang lengan ayah yang hangat. Mencari penghiburan diri, bahwa sebentar lagi ayah akan sadar dan setelahnya meminta makan pecel Lumintu atau pecel Bu Darum kesukaannya.
Hari ini tanggal 25 Desember 2010, hari natal. Beberapa hari lalu saya sempat berencana mengirimi ucapan natal buat Pak Heru, seorang pak tua asal Kediri yang banyak membantu saya dan Ayos di Bima dulu. Tapi hari itu saya lupa mengirimkan ucapan natal buat beliau.
Saya kasihan melihat mamak. Beliau tampak letih, matanya juga sembab. Berkali-kali saya menyuruhnya untuk tidur, tapi berkali-kali pula ia menampik tawaran saya. Beliau tak bisa tidur.
Pagi terasa cepat datang. Subuh, mamak pergi meninggalkan ayah sebentar untuk sholat subuh. Beberapa jam lalu saya mengantarnya untuk sholat isya. Dan tangisan mamak dalam doa selepas sholat begitu membuat dada saya sesak.
Bersambung...
your dad had a great opened mind bro, i knew that, he spoke to me as i was an adult when i used to sleep in your house, we were just 11th that day.
BalasHapusi used to read asterix&obelix,tintin,and anything that were your dads collection,your dad even has a book that now being my academical concerned, u re blessed being his son.
FAREWELL Pak Akbar!! May God's Forces be with you, and the family you left.
:')
BalasHapusyou never walk alone Rin, kalo nuran mah kelaut aja