Beberapa hari lalu saya pergi ke Banyuwangi. Kalau biasanya saya lebih suka naik motor, kali ini saya memilih naik kereta api.
Sudah lama juga saya tidak naik kereta api ke Banyuwangi. Terakhir itu ketika saya dan Ayos pergi ke Bali, lebih dari 1 tahun lalu.
Harga tiket kereta Jember- Banyuwangi sebesar 10.500 saja. Saya naik kereta Probowangi (Probolinggo- Banyuwangi) yang berangkat dari Jember jam 7.32 pagi (dan hari itu keretanya telat, jadi berangkat jam 9. Lagu Kereta Tiba Pukul Berapa ternyata masih relevan hingga sekarang). Sampai Banyuwangi sekitar 12.30, telat hampir 1 jam.
Ada banyak hal menyenangkan yang bisa dicatat dalam perjalanan menuju Banyuwangi dengan menggunakan kereta.
Yang pertama adalah tentu saja dua buah terowongan yang terletak di daerah Mrawan, perbatasan antara Jember dan Banyuwangi. Ada satu buah terowongan pendek, dan satu buah terowongan panjang. Dua-duanya dibangun pada tahun 1930-an. Hingga sekarang, ketika kereta melewati terowongan itu, sorak sorai anak-anak kecil masih lantang terdengar. Mereka terdengar begitu bahagia.
Lalu highlight kedua adalah nasi pecel Garahan. Garahan adalah sebuah daerah perbatasan Jember- Banyuwangi yang terkenal dengan pecel Garahan. Pecel ini dulu hanya dijajakan di stasiun Garahan. Belasan ibu-ibu biasanya menjunjung bakul berisi sayuran, nasi yang sudah dipincuk, dan bumbu pecel, berteriak-teriak keras menjajakan pecelnya. Harganya murah meriah, hanya 2500 saja, yang terdiri dari nasi, bumbu pecel yang rasanya manis pedas, sayuran, dan tahu serta tempe sebagai lauk.
Karena pecel Garahan ini semakin terkenal, maka makanan ini juga dijual di ruas jalan Garahan. Hingga muncul sebutan Garahan sebagai kampung pecel. Karena kereta yang saya naiki hanya terdiri dari 3 gerbong saja, maka pagi itu tak begitu banyak penjual pecel berseliweran. Coba kalau naik Sri Tanjung dari Banyuwangi menuju Jogja, penjualnya ada belasan, bahkan puluhan. Dan petugas kereta api pun sepertinya paham budaya jual beli nasi pecel ini. Jadinya kereta berhenti agak lama di stasiun ini.
Hal ketiga adalah Bipang Cap Jangkar. Bipang ini merupakan makanan klasik yang sangat terkenal. Terbuat dari beras dan gula, rasa legitnya membuat banyak orang ketagihan. Mamak saya sangat menggemari makanan ini, mengingatkan pada masa kecilnya, katanya. Harganya murah, hanya 1500 per buah, bahkan masih bisa lebih murah. Saya memberi uang 7000, mendapat 5 buah bipang. Rasanya menyenangkan melihat makanan klasik seperti ini masih ada, di kisaran harga yang murah pula.
Sepulang dari Banyuwangi, saya membelikan bipang untuk mamak saya. Seraya makan, ia terus bercerita mengenai kenangannya akan makanan ini.
Ia tampak bahagia sore itu.
Sudah lama juga saya tidak naik kereta api ke Banyuwangi. Terakhir itu ketika saya dan Ayos pergi ke Bali, lebih dari 1 tahun lalu.
Harga tiket kereta Jember- Banyuwangi sebesar 10.500 saja. Saya naik kereta Probowangi (Probolinggo- Banyuwangi) yang berangkat dari Jember jam 7.32 pagi (dan hari itu keretanya telat, jadi berangkat jam 9. Lagu Kereta Tiba Pukul Berapa ternyata masih relevan hingga sekarang). Sampai Banyuwangi sekitar 12.30, telat hampir 1 jam.
Ada banyak hal menyenangkan yang bisa dicatat dalam perjalanan menuju Banyuwangi dengan menggunakan kereta.
Yang pertama adalah tentu saja dua buah terowongan yang terletak di daerah Mrawan, perbatasan antara Jember dan Banyuwangi. Ada satu buah terowongan pendek, dan satu buah terowongan panjang. Dua-duanya dibangun pada tahun 1930-an. Hingga sekarang, ketika kereta melewati terowongan itu, sorak sorai anak-anak kecil masih lantang terdengar. Mereka terdengar begitu bahagia.
Lalu highlight kedua adalah nasi pecel Garahan. Garahan adalah sebuah daerah perbatasan Jember- Banyuwangi yang terkenal dengan pecel Garahan. Pecel ini dulu hanya dijajakan di stasiun Garahan. Belasan ibu-ibu biasanya menjunjung bakul berisi sayuran, nasi yang sudah dipincuk, dan bumbu pecel, berteriak-teriak keras menjajakan pecelnya. Harganya murah meriah, hanya 2500 saja, yang terdiri dari nasi, bumbu pecel yang rasanya manis pedas, sayuran, dan tahu serta tempe sebagai lauk.
Karena pecel Garahan ini semakin terkenal, maka makanan ini juga dijual di ruas jalan Garahan. Hingga muncul sebutan Garahan sebagai kampung pecel. Karena kereta yang saya naiki hanya terdiri dari 3 gerbong saja, maka pagi itu tak begitu banyak penjual pecel berseliweran. Coba kalau naik Sri Tanjung dari Banyuwangi menuju Jogja, penjualnya ada belasan, bahkan puluhan. Dan petugas kereta api pun sepertinya paham budaya jual beli nasi pecel ini. Jadinya kereta berhenti agak lama di stasiun ini.
Hal ketiga adalah Bipang Cap Jangkar. Bipang ini merupakan makanan klasik yang sangat terkenal. Terbuat dari beras dan gula, rasa legitnya membuat banyak orang ketagihan. Mamak saya sangat menggemari makanan ini, mengingatkan pada masa kecilnya, katanya. Harganya murah, hanya 1500 per buah, bahkan masih bisa lebih murah. Saya memberi uang 7000, mendapat 5 buah bipang. Rasanya menyenangkan melihat makanan klasik seperti ini masih ada, di kisaran harga yang murah pula.
Sepulang dari Banyuwangi, saya membelikan bipang untuk mamak saya. Seraya makan, ia terus bercerita mengenai kenangannya akan makanan ini.
Ia tampak bahagia sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar