Rusaknya
hari yang indah bisa terjadi dengan mudah dan tiba-tiba.
Pagi tadi
cuaca mendung, tapi tidak hujan. Menyenangkan. Terik tidak, hujan pun tidak.
Suasana sepoi.
Menjelang
siang, seperti biasa, perut keroncongan. Niatnya mau pergi ke warung langganan
di Cikini IV. Bagi yang belum tahu, di sana ada warung pinggir langganan saya.
Saya sebut warung pinggir, bukan warteg, karena memang ini warung di pinggir
jalan. Bukan bangunan permanen. Hanya ada terpal berwarna biru tua, beberapa meja yang sudah dilapisi alas, serta tiga kursi
panjang.
Meski warungnya tampak sederhana, masakan empunya begitu dahsyat. Pertama kali dikasih tahu Putra tentang warung ini, saya
sudah jatuh cinta dengan masakannya.
Pemiliknya, sekaligus juru masak, adalah seorang ibu paruh baya asal Jawa Timur. Masakannya pun tak lepas
dari gagrak Jawa Timuran. Nasi pecelnya pedas, namun tak galak-galak amat. Bisa diterima oleh orang-orang Jakarta yang sepertinya lebih suka pecel yang sedikit manis.
Rawonnya, hitam pekat seperti malam tanpa cahaya. Dengan potongan daging dan kecambah yang generous. Rawon dan pecelnya selalu jadi rekomendasi saya kalau ada orang yang bertanya mana rawon dan pecel yang Jawa Timuran.
Rawonnya, hitam pekat seperti malam tanpa cahaya. Dengan potongan daging dan kecambah yang generous. Rawon dan pecelnya selalu jadi rekomendasi saya kalau ada orang yang bertanya mana rawon dan pecel yang Jawa Timuran.
Di luar
menu andalan itu, si Ibu jual banyak makanan ala rumahan. Mulai rempela ati
masak kecap, tongkol bumbu merah, tempe orek, telur dadar, sampai oseng usus. Nah,
makanan yang disebut terakhir ini yang bikin saya penasaran. Terakhir saya makan di
warung tanpa nama ini, seorang pengendara motor datang.
"Ususnya
masih ada? Bungkus dong, gak usah pake nasi."
Bagi
saya, lauk yang membuat orang rela membungkus tanpa nasi, berarti lauk itu spesial.
Titik.
Karena
itu, menjelang berangkat ke warung siang tadi, bayangan nasi putih yang hangat mengepul,
oseng usus, dan telur dadar penuh cacahan bawang daun, membayang di pikiran. Maka
berangkatlah saya dengan semangat.
Sampai di
sana, saya kaget. Bangunan semi permanen itu sudah tak ada. Di kursi panjang,
saya lihat si Ibu duduk-duduk santai. Ada mendung di wajahnya. Melihat saya
datang, ia senyum. Pahit.
"Libur
dulu mas. Lagi ada pembersihan."
"Waduh,
sudah mulai kapan Bu?
"Ya
sudah semingguan lah."
Katanya
mereka berjualan lagi menunggu suasana aman dulu. Ini membuat suasana semakin terasa menyedihkan.
"Menunggu suasana aman" ini seperti menunggu Godot. Bisa besok. Bisa
lusa. Bisa seminggu lagi. Bisa setahun lagi. Siapa yang tahu?
Saya
memutar haluan dengan perasaan kecewa. Juga sedih. Seminggu mereka libur
jualan, mereka makan apa? Sepertinya terpaksa membongkar tabungan. Uang
simpanan mereka cukup untuk berapa hari? Membayangkan peristiwa ini, membuat
hari yang sebelumnya menyenangkan, jadi rusak berantakan.
Iya,
sesederhana itu cara merusak sebuah hari yang indah.
Di tengah
jalan, saya ingat ada sebuah warung Tegal yang lokasinya di pengkolan Jalan
Probolinggo. Warungnya berada di bangunan yang semi permanen, cuma kondisinya
lebih baik. Lantainya disemen.
Saya
memutuskan untuk mampir ke sana.
Laiknya
warung Tegal kebanyakan, lauknya beragam. Sejenak melongok, saya melihat opor ayam, telur dadar, telur balado, rempela hati masak kecap, tempe dan tahu goreng, juga beraneka sayuran. Mulai sayur toge, urap, bayam, oseng kacang panjang, hingga sayur labu
Tapi satu yang membuat saya tertarik. Ikan dalam genangan kuah berwarna kuning pucat, bersantan, dengan lingkaran minyak, plus irisan cabai yang mengambang. Lengkap dengan potongan petai yang hijau menggoda.
Tapi satu yang membuat saya tertarik. Ikan dalam genangan kuah berwarna kuning pucat, bersantan, dengan lingkaran minyak, plus irisan cabai yang mengambang. Lengkap dengan potongan petai yang hijau menggoda.
"Ini
apa bu?" tanya saya.
"Ikan
asap."
Dengan
kompulsif, saya menunjuk lauk itu. Untuk teman baiknya, saya pilih sayur labu.
Suapan pertama, jreng! Saya terkejut. Rasa ikan asap yang dibanjur kuah
bersantan ini melampaui ekspektasi saya.
Ini ikan
asap --saya menduga ini ikan pe-- dengan kuah mangut ala Pantura. Pedasnya
tegas. Bisa bikin berkeringat, tapi juga menambah nafsu makan. Tak perlu waktu
lama bagi saya untuk menandaskan sepiring nasi dengan ikan asap dan sayur labu
itu. Saat membayar, saya tersenyum senang. Total kerusakan cuma Rp 10 ribu.
Sepertinya saya akan sering ke sini.
Dan,
sesederhana ini pula, cara mengembalikan hari yang terlampau rusak, menjadi
hari yang kembali menyenangkan. []
Wah nduk endi iki cak? tulisanmu jan nyampleng tenan koyo ikan asapmu kuwi ha ha
BalasHapusMas, bolehlah kamu nulis tentang kuliner pinggiran macam ini lagi di Jakarta Raya sana Mas, siapa tahu bisa dijadikan acuan. :))
BalasHapus