![]() |
Rainy Day Cafe Oleh Sue Birkenshaw |
Hujan
baru saja usai, di sebuah malam nan dingin di kota yang tak perlu disebut
namanya. Tokoh Kita punya janji dengan kekasihnya. Sebuah kafe disepakati
sebagai tempat bertemu. Mereka tidak bareng. Sang Tokoh Kita yang punya senyum
cemerlang, mengingatkan khalayak pada Rizal Ramli muda, membawa motor sendiri
dari bilik kosnya. Begitu pula kekasihnya yang membawa motor dari tempat
tinggalnya.
Hubungan
mereka sedang memburuk belakangan ini. Frekuensi pertengkaran meningkat. Sang Tokoh Kesayangan Kita berharap pertemuan ini bisa menjadi titik penting
untuk memperbaiki hubungan dengan sang kekasih.
Sayangnya begitu berserobok, dengan beberapa argumen yang bisa dianggap sebagai omong kosong
tingkat tinggi, si kekasih malah minta putus. Sang
tokoh terhenyak. Bingung mau bereaksi apa. Ia impulsif. Dengan cepat bangkit
dari tempat duduk. Menyambar kunci motor, meninggalkan selembar uang biru di
meja.
"Untuk
kopi dan hidangan yang kita pesan."
Meski
kalut, ia sama sekali tidak membuang sikap gentleman-nya. Sang gadis cuma bisa
terdiam sembari menatap nanar selembar uang di meja. Kurang mas, begitu
batinnya.
Tokoh
kita yang berkacamata, menandakan hobi baca, keluar kafe. Langkahnya gontai.
Saat ia menghidupkan motor, hujan kembali turun. Sang tokoh kita menyetir motor
dengan masygul. Baru beberapa ratus meter meninggalkan kafe, suara dering telepon seluler menerabas dari saku celananya. Semula ia biarkan saja. Tapi panggilan itu terus berulang. Membuatnya tak tenang. Tapi sekaligus membikinnya senang.
Pasti ada
yang minta balikan. Harga dirinya membuncah. Hidungnya kembang kempis. Insting
pejantannya melarang untuk mengangkat panggilan itu. Biarlah ia yang memohon
dan merasa kehilangan, pikirnya.
Maka ia
biarkan telepon mati. Berdering lagi. Lalu mati lagi. Hingga akhirnya ia tak
tahan juga. Detik itu, ia membuat keputusan: kalau si kekasih ingin minta
balikan, ia akan menyanggupi. Lagipula ia masih sangat mencintainya. Ia meminggirkan motor dan mengangkat panggilan itu.
"Ada
apa, Dek?" sapanya, tenang dan hangat. Seperti angin musim panas di
Hokkaido yang turun perlahan dari lereng gunung Fuji.
"Anu
mas, kunci motorku kebawa sampean."
Sang
tokoh kesayangan kita, dengan muka masam menutup panggilan sialan itu, lantas memutar motor. Kalian sudah tahu
kemana ia pergi. []
Post-scriptum:
Cerita yang sekilas tak bisa dipercaya ini saya ceritakan ulang dari legenda
pemuda penyayang, yang awalnya diceritakan secara oral oleh Pamanda Yusi Avianto Pareanom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar