Jumat, 09 Mei 2014

Jenis Golongan Orang di Dunia

Untuk Dumadi

Selain menjadi pahlawan dunia karena lirik lagunya yang menceritakan tentang perjuangan dan kebebasan, Bob Marley toh hanya orang biasa dalam kehidupan di luar musik.

Ia bahkan bisa menderita karena hal remeh temeh macam cinta, misalkan. Kurang manusiawi apa seorang mahabintang, yang dipuja bagai dewa, yang pernah merasakan patah hati? Ada banyak lagu pria gimbal itu yang bercerita tentang kisah asmara sendu.

Salah satunya adalah "Waiting in Vain". Ini lagu yang bisa merobek-robek hatimu hingga menjadi serpihan kecil, walau dituturkan dengan nada dan cara berdendang yang santai. Menunggu, bagi Bob, adalah hal yang menyebalkan.

"I don't wanna wait in vain for your love..."

Breeetttt. Terdengarlah suara hati yang terobek.

///

Menunggu bisa sangat melelahkan. 

"For a while," kata Haruku Murakami, sang pengarang yang senang sekali mengagungkan sakit hati dan kenangan, "is a phrase whose lenght can't be measured. At leastby the person who's waiting.

Kata 'sesaat' itu tak bisa diukur. Setidaknya oleh orang yang menunggu.

Bob Marley, yang menulis "Waiting in Vain" saat jatuh cinta dengan Cindy Breakspeare pada pertengahan dekade 70, bahkan menulis ...cause if summer is here, I'm still waiting there. Winter is here, and I'm still waiting there, untuk menggambarkan lama penantiannya.

Bagi yang belum tahu, para penghuni bumi ini terbagi dalam dua golongan. Jenis pertama adalah orang yang bukan penyabar, atau setidaknya tak suka bersabar. Sedangkan golongan kedua berisi jenis orang yang membuat saya sadar bahwa sabar dan pandir itu tipis bedanya.

Saya punya seorang kawan. Tak lama saya mengenalnya. Baru dalam hitungan satu dua tahun. Namun ia tahan dengan aneka gojlokan kurang ajar saya, bahkan ketagihan. Orang macam ini berpotensi jadi kawan saya hingga tua kelak.

Kawan saya ini adalah orang jenis kedua, yang membuat saya bingung: apakah ia sabar? Atau terlalu bodoh?

Pria dengan kulit legam dan senyum menyebalkan ini begitu setia menunggu seorang perempuan yang bahkan tak menganggapnya ada. Atau, kalaupun dianggap ada, ia pasti sudah dianggap sebagai orang yang mengganggu.

"Aku di block di twitter sama dia," kata pria itu suatu saat.

Nah kan...

Sebenarnya kisah cinta tolol macam ini, lelaki punguk yang merindukan bulan, bukan satu dua kali saya temui. Kisah cinta macam ini berjejer di rak toko buku. Dari yang gedongan hingga di tumpukan buku loakan yang tak kunjung laku lantas dikilokan. 

Kisah cintanya bukan kisah cinta menggugah yang membuatnya layak diganjar status best seller.

Tapi tetap saja, melihat kawan ini begitu teguh dan gigih menunggu dan mengejar cinta, saya mau tak mau tetap tergugah. Lebih tepatnya kasihan sih. Pasalnya, menunggu terlalu lama bisa membuat seseorang berhalusinasi.

Bayangkan, dalam blognya, ia selalu menulis seraya membayangkan ia menceritakan sesuatu pada orang yang dikasihi dan mengasihinya. Padahal orang semacam itu tak ada, atau setidaknya belum ada. Saya sempat berpikir ia sedang menderita penyakit waham kedua puluh: berkhayal mempunyai kekasih, padahal tidak. Tapi saya mahfum, itu sindrom majenun yang sering muncul pada orang yang terlampau lama menunggu cinta tak bersambut.

Beberapa malam silam, sang kawan ini mengirimkan surel pada saya dan beberapa kawan lainnya. Intinya, ia membuat blog rahasia untuk sang pujaan hati. Lalu kelak, entah kapan, ia akan membukukan senarai tulisan itu, untuk kemudian diberikan kepada sang pujaan hati.

Jancuk. Merusak hutan saja. Bayangkan pohon-pohon muda yang ditebang hanya untuk ditulisi kalimat cinta picisan yang tak jelas juntrungannya itu. Dih!

Tapi ya sudahlah, namanya juga usaha. Saya lantas punya teori lagi gara-gara usaha sang kawan yang putus asa ini. Bahwa golongan orang di dunia bertambah satu lagi: orang yang membuat bingung apakah ia pantas dikasihani atau dimaki sepenuh hati.

Kawan saya ini, selain pasti masuk dalam golongan kedua, pastilah masuk juga ke golongan ketiga.

Kemudian, sang kawan meminta saya dan kawan-kawannya yang lain untuk bersedia menuliskan komentar mengenai "kisah cinta" dua sejoli itu. Najis, pikir saya. Dianggap saja tidak, kok mau minta dituliskan kisah cintanya. 

"Khusus untuk mas, harus nulis tulisan khusus buat saya," pintanya.

Astaga. Ini macam pepatah Jawa slang: wis dikei ati nggrogoh taek. Sudah dikasih hati, masih saja meminta tainya.

Akhirnya saya bikin tulisan ini. Pedas, tentu saja. Agar ia tahu, tak selamanya menunggu itu baik. Apalagi menunggu yang tak ada juntrungannya. Bukankah hidup terlalu singkat hanya untuk dihabiskan dengan menunggu dan menunggu? 

Tapi rupanya kawan saya ini mungkin terasuki dongeng cinta ala Hollywood. Bahwa menunggu akan membawa kebahagiaan. Mungkin ia harus belajar sesuatu, bahwa seringkali menunggu hanya akan membawamu pada kesia-siaan. Bahwa perempuan tak hanya satu. Bahwa cinta nan suci tak lekang waktu itu hanya omong kosong romantika anak sekolah menengah pertama yang baru saja mengalami datang bulan pertama kali dan baru tamat membaca teenlit murahan. 

Menunggu karena cinta? Bagi saya itu terdengar seperti omong kosong terbesar abad ini. Menunggu dan berusaha karena terobsesi, itu baru mungkin.

Tak usah terlalu banyak membaca kisah cinta mendayu-dayu. Che Guevara yang ganteng, gagah, pintar, dokter, saja ditinggalkan atas nama 'tak sabar menunggu'. Itu juga yang membuat saya yakin, bahwa penantian itu juga ada batasnya.

Mungkin kamu belum tahu kapan harus berhenti menunggu. Silahkan saja menunggu sepuas dan selama yang kamu mau. Tapi lupakan dongeng cinta penuh gula, happily ever after.

Ada banyak menunggu yang lebih menyenangkan. Menunggu jam pulang kerja misalkan. Setidaknya jelas kapan penantiannya berakhir. Atau menunggu gajian, karena sudah pasti tanggalnya. Juga menanti kelahiran anak pertama, karena itu adalah penantian yang berbuah semanis tebu yang ranum.

Tapi toh tulisan pedas ini tetap harus saya pungkasi dengan menyuapkan hal yang manis. Karena biasanya kawan baik itu tak sekedar menghina, tapi ada semacam petuah dibalik hinaan.

Perempuan saya, yang kebetulan juga tahu kisah cinta sang lelaki hitam dengan muka melas ini, berpesan pada saya agar menuliskan kalimat ini sebagai penutup: setiap orang pernah melakukan setidaknya satu hal bodoh dalam hidupnya.

Semoga kelak, ketika kawan saya sudah pintar, ia membaca tulisan ini sembari tertawa. Bahwa ia pernah menjadi bodoh, dan jatah kebodohan itu sudah ia ambil. Jadi jangan pernah berlaku bodoh lagi ya.

2 komentar:

  1. "jatah kebodohan sudah ia ambil, jadi jangan berlaku bodoh lagi."

    sebagai yang merasa pernah mengambil jatah kebodohan. aku tertampar. hahahahaha..

    BalasHapus