Sabtu, 12 April 2014

Om Tris

Jangan benci sesuatu terlalu berlebihan. Kelak, ia akan berbalik padamu.

Tante Syemim adalah ibu angkat saya. Ia kawan baik almarhum ayah semenjak SMA. Perkawanan itu berlanjut karena mereka mengajar di Universitas yang sama, Fakultas yang sama.

Saat ayah menikah dengan mamak, tante Syemim yang kala itu belum menikah turut senang. Apalagi waktu saya lahir. Ia sering menjaga dan menggendong. Perempuan berdarah Pakistan itu menganggap saya sebagai anaknya sendiri.

Sewaktu ulang tahun saya yang ketiga, atau keempat, tante Syemim membelikan saya dua hadiah. Kaos berwarna putih, dan satu buah walkman Sony. Ia datang ke Lumajang untuk menyerahkan hadiah itu. Setelah menyuruh saya memakai walkman, ia menyuruh saya bergaya. Lalu ia memotret. Foto itu lantas ia cetak dan ia pajang.

Walkman merk Sony itu masih saya pakai sampai SMP. Hingga akhirnya walkman itu rusak.

Tante Syemim termasuk terlambat menikah. Ia termasuk perempuan yang judes. Ia tak segan berdebat dengan pria. Entah apa itu yang membuat pria agak takut mendekat. Padahal tante Syemim baik sekali. Ia juga orang yang gampang menangis. 

Meski terlambat menikah, ia tak lantas menerima semua pinangan. Bahkan, dengan gagah ia mengajukan syarat. Menurutnya, syarat itu mutlak dipenuhi.

"Pokoknya aku gak mau punya suami yang lulusan IKIP. Juga gak mau punya suami tentara," katanya suatu ketika.

IKIP adalah singkatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Biasanya lulusannya jadi guru. Mengenai kebencian terhadap lulusan IKIP ini, saya tak pernah menanyakan kenapa. Namun tante Syemim punya alasan kenapa tak mau punya suami seorang tentara.

Tante Syemim benci kaum militer. Kebencian itu semakin menjadi sewaktu ia berurusan panjang nan pelik dengan kepolisian beberapa tahun silam.

Tapi tante Syemim kena batunya. 

Ia, suatu hari, berkenalan dengan pria bernama Soetrisno. Hari demi hari berjalan. Panah Cupid akhirnya melesat. Tapi tante Syemim harus gigit jari lebih dulu.

Soetrisno, pria gagah nan tegap itu, adalah lulusan IKIP dan pensiunan tentara...

Tapi toh akhirnya mereka menikah jua. Rasa benci toh melebur, hilang sama seali. Mereka menikah, kalau saya tak salah ingat, di pertengahan tahun 90-an. Cerita mengenai kebencian tante Syemim kepada lulusan IKIP dan tentara, hingga akhirnya mendapat jodoh dengan dua kriteria itu, jadi cerita yang melegenda. Terus diceritakan turun temurun. Tante Syemim hanya bisa tertawa kecut, selalu, waktu diingatkan kembali dengan cerita itu.

Kelak nanti saya juga akan menceritakan kisah unik itu kepada anak saya. Hehehe.

Tante Syemim menjalani pernikahan yang bahagia. Om Tris, begitu saya memanggil suaminya, merupakan penyangga bagi tante Syemim. Juga menjadi rem bagi tante Syemim yang ceplas ceplos. Om Tris sabar. Kalau bicara pelan. Sama sekali tak tampak ciri tentara yang biasanya garang. Ia merupakan peredam bagi tante Syemim yang keras. 

Selepas dari dinas militer, Om Tris  menjadi dosen di sebuah kampus swasta. Sewaktu menikah dengan tante Syemim, status Om adalah duda dengan dua anak: Mas Arik dan Mbak Dyah. Mereka lebih tua beberapa tahun di atas saya. Mereka juga saya anggap sebagai kakak sendiri.

Dulu sewaktu masih akhir SD dan awal SMP, nyaris setiap malam Minggu saya menginap di rumah tante Syemim yang jaraknya hanya sepenanakan nasi dari rumah saya. Malam hari biasanya kami sekeluarga keluar, cari makan malam bareng. Setelah di rumah, kami biasanya main kartu.

Namun semakin menginjak besar saya jarang ke rumah Tante Syemim. Apalagi menginap. Saya juga jarang bertemu Om Tris. Walau sesekali saya berkunjung ke rumah mereka.

Belakangan Om Tris sakit-sakitan. Umurnya memang sudah senja. Lepas 60 tahun. Terakhir saya bertemu dengan Om sewaktu saya pulang ke Jember beberapa hari lalu.

Om Tris tampak sehat, walau masih terlihat lemas. Rambutnya semakin menipis. Menyisakan beberapa helai rambut yang sudah memutih. Sakitnya beberapa kali kambuh. Sakitnya pun tak jelas. Ya semacam "sakit orang tua". Tiba-tiba kondisinya drop. Padahal tak ada penyebabnya.

Sewaktu saya datang, Om sedang makan siang.

"Ayo makan Ran, ada pepes ikan nih," katanya mengajak makan sembari lahap menyantap pepes ikan yang tampaknya lezat.

Siang itu saya datang untuk mengabari kalau saya akan menikah. Om Tris dan Tante Syemim sebenarnya sudah tahu kabar ini beberapa waktu lalu. Cuma karena saya sedang pulang, sekalian saja saya mengabari mereka langsung.

Mereka tampak bahagia sewaktu dengar kabar itu. Om Tris dan Tante Syemim termasuk dua orang awal yang mendampingi saya di masa berat sekitar dua tahun lalu. Saya juga dapat kabar gembira dari mereka. Tanggal 21 April ini mereka akan umroh bareng. Saya senang mendengarnya.

"Yang sehat ya Om," kata saya sembari memeluk Om Tris sewaktu saya berpamitan.

"Iya dong, sehat, insyaallah," katanya sembari tersenyum.

Keesokan hari, saya pulang ke Jakarta.

Sore ini Orin menelpon saya. Tak dinyana, kabar duka yang ia sampaikan.

"Om Tris meninggal," katanya pelan.

Saya terhenyak. Diam beberapa detik. Lalu bertanya meninggal kenapa. Orin tak tahu penyebabnya. Ia sedang di jalan, menuju rumah duka.

Saya menelpon tante Syemim. Tak kunjung diangkat. Beberapa belas menit kemudian, setelah Orin sudah di rumah duka, baru ia menyuruh saya menelpon.

Di ujung telepon, suara tante Syemim begitu menyayat hati. Ia setengah meraung. Seperti tak rela ditinggal Om Tris.

"Aku lagi masak, bolak balik ke dapur dan kamar. Lalu ternyata Om gak gerak," katanya sembari menangis keras. Hati saya teriris.

Saya cuma bisa bilang sabar. Berusaha menguatkan tante. Ia, sembari tetap menangis, mengatakan terima kasih. Hati saya macam diremas sarung tangan berduri. Saya ingat, sewaktu ayah masuk rumah sakit terakhir kalinya, om Tris dan tante Syemim turut menunggu di rumah sakit hingga tengah malam.

Om Tris meninggal dalam tidur. Oh sungguh cara meninggal yang tenang, adem, ayem, tentrem. Tak ada penyakit menjemput. Tak ada pula isyarat. Ia meninggal tanpa pamit. Hanya menyisakan kenangan baik, dan juga duka yang mengudara.

Selamat jalan Om Tris. Dari tanah kembali ke tanah. Sampai jumpa lagi, kelak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar