Beberapa
hal besar memang kadangkala dimulai dari suatu kebetulan.
Kenneth
Nnebue adalah seorang pedagang biasa di pinggiran kota Onitsha, sebuah kota di
tenggara Nigeria.
Kala
itu ia punya stok kaset video kosong dalam jumlah besar. Pikirnya waktu itu,
ketimbang menjual dalam keadaan kosongan, akan lebih menguntungkan bila ada
sesuatu dalam kaset video itu. Maka ia iseng menulis film Living in Bondage
yang lantas diproduksi langsung dari kamera video ke kaset video.
Film
itu berkisah mengenai seorang lelaki yang mendapatkan kekuatan super dan
kekayaan dengan cara membunuh sang istri dalam sebuah ritual. Sang istri
kemudian menjadi arwah gentayangan dan menghantui sang suami sialan itu.
Tak
dinyana, film ini laris keras. Setelah digandakan, film ini laku sebanyak
750.000 kopi. Tarikh menunjukkan angka 1992. Living in Bondage --dibuatkan film sekuelnya, walau tak selaris pendahulunya-- lantas menjadi
pemicu derasnya industri film di Nigeria.
Industri
film di Nigeria yang dimulai dari suatu kebetulan itu lantas dikenal dengan
sebutan Nollywood.
***
Tanpa
banyak diketahui orang, Nollywood sudah menyalip Amerika Serikat dalam hal
jumlah produksi film tahunan sejak tahun 2009. Berdasarkan survei dari UNESCO
Institute for Statistic, industri film Nollywood berada pada posisi nomer dua,
hanya kalah dari Bollywood, industri film di India.
Sepanjang
rentang 2005 hingga 2009, Bollywood memproduksi rata-rata 1.178 film tiap
tahun. Nollywood menyusul di belakangnya dengan produksi film berkisar 1.093
per tahun, jauh meninggalkan Hollywood yang hanya memproduksi 485 film tiap
tahun.
Dalam
sektor tenaga kerja, industri film Nigeria menyerap jutaan tenaga kerja.
Terbanyak kedua setelah sektor pertanian. Berdasarkan penghitungan dari
National Film and Video Censors Board Nigeria, industri film ini menghasilkan
perputaran uang sebesar $200 juta hingga $300 juta tiap tahun.
Teco
Benson, seorang produser dan sutradara asal Nigeria menyambut hal ini dengan
gembira. "Ini adalah alat pemasaran baru Afrika!" tukasnya girang
sembari menyebutkan bahwa Nollywood adalah industri adidaya nun digdaya dalam
jagat film dunia.
Babad
perfilman di Nigeria sebenarnya bukanlah cerita baru. Terhitung sudah sejak
dekade 60-an, industri film Nigeria mulai menggeliat. Beberapa sineas awal
seperti Ola Balogun sudah mulai memproduksi film yang lantas beredar lokal. Ola
seringkali dianggap sebagai sineas gelombang awal Nollywood. Hingga akhirnya
industri film Nigeria benar-benar meledak saat Living in Bondage muncul.
Sebenarnya
agak sedikit mengejutkan bahwa industri film Nigeria, negara yang dikenal
sebagai penghasil minyak, bisa berkembang sedemikian besar. Namun tentu ada
faktor pemicu berkembangnya industri ini. Salah satu faktor utama adalah, para
sineas Nigeria lebih memilih memakai kamera video biasa (dan sekarang memakai
kamera digital) ketimbang memakai kamera 35mm yang umum dipakai untuk membuat
film. Ini membuat ongkos produksi jauh lebih murah, sehingga film bisa
diproduksi dengan mudah. Walaupun hasilnya seringkali dianggap sebagai kualitas
gambar kelas kambing.
Faktor
kedua adalah adanya layanan televisi berbayar MultiChoice, yang menyediakan
empat saluran film, diputar selama 24 jam, yang khusus memutar film-film
Afrika, kebanyakan adalah produksi Nigeria. Dua dari empat saluran ini memutar
film dalam dua bahasa utama Nigeria, Yoruba dan Hausa.
Sedangkan
di kawasan Afrika Tengah, para pedagang
keping film bajakan hanya menjual film Nollywood dalam rak film Afrika. Film
Nollywood juga dialihbahasakan ke bahasa dan dialek lokal, yang membuat
penyebarannya makin masif. Di Kamerun dan Gabon, bahasa Nigeria dialihbahasakan
ke bahasa Perancis, bahasa utama di dua negara itu. Di Kongo, bahasa Nigeria
disulihsuara ke dialek Lingala.
"Nollywood
jauh meninggalkan Hollywood," kata Barnabas Eset, yang sejak tahun 2000
menyewakan film Nollywood dan Hollywood di Gambia.
Faktor-faktor
itu yang membuat Nollywood bisa berjaya di benua Afrika. "Orang Afrika
lebih banyak menyaksikan film (produksi) Nollywood ketimbang Hollywood,"
cetus sutradara dan produser film lokal, Zeb Ejiro.
Meski
demikian, suara sumbang toh tetap terdengar. Terutama berkaitan dengan kualitas
film. Situs berita Independent menyebut film Nollywood sebagai film microwave,
yakni film dengan masa pembuatan yang singkat, berkisar tiga hingga empat
minggu. Ditambah dengan jalan cerita yang nyaris seragam dan seakan
menggambarkan kondisi aktual Nigeria: korupsi, penipuan, peredaran narkotika,
perdagangan manusia, cinta segitiga, juga dunia sihir, dan hampir semua
berakhir bahagia. Dengan kata lain: Nollywood besar kuantitas, namun nihil
dalam pencapaian kualitas.
Tapi
Obi Emelonye berusaha mengubah citra negatif macam itu.
Obi,
sutradara kelahiran Nigeria berumur 47 tahun, seringkali dianggap sebagai wajah
baru Nollywood. Pada tahun 2011, sutradara yang juga pengacara ini menulis dan
menyutradarai The Mirror Boy, sebuah film drama fantasi yang berkisah tentang
seorang bocah Afrika-Inggris yang hilang di tengah belantara rimba Afrika. Film
ini berhasil mendapatkan 3 nominasi di African Movie Academy Award, ajang
penghargaan tertinggi untuk film di jazirah Afrika.
Obi
adalah sutradara yang visioner. Ia menerabas semua pakem film Nollywood. Ia
memakai anggaran dana besar, menulis jalan cerita yang tak umum di Nigeria,
memakai artis luar negeri, hingga menghasilkan gambar dengan kualitas jempolan.
Tujuannya jelas: menarget penonton global.
Tapi
jalan menuju ke sana memang tak mudah. Masalah klasik macam birokrasi berbelit
selalu menghadang.
"Tantangan
terbesarnya adalah bernegosiasi dengan para birokrat, itu benar-benar mimpi
buruk," kata Obi dalam wawancara dengan situs berita Business Day.
Pada
tahun 2013, Obi menggarap film Last Flight to Abuja, film thriller yang
diadaptasi dari kisah nyata, berkisah tentang pendaratan darurat pesawat
Flamingo Airways. Dengan biaya sekitar $ 250 ribu --enam kali anggaran normal
film Nigeria-- Film ini mendapatkan pemasukan $ 350 ribu, menjadi film dengan
jumlah pendapatan terbesar di seluruh Afrika Barat pada tahun 2012. Last Flight
bahkan ditayangkan hingga London. Namun besar pendapatan juga berbanding lurus
dengan besaran suapnya.
"Setiap
hari, saya harus memberi uang kepada pihak berwenang agar bisa terus mengambil
gambar," keluh Obi.
Namun
Obi tak bergerak sendirian. Banyak sutradara muda yang ikut turun gelanggang
demi mengubah citra negatif Nollywood. Salah satunya adalah Biyi Bandele.
Biyi
adalah salah satu sutradara muda Nigeria yang juga digadang-gadang bisa
mengubah wajah kelam industri film Nigeria. Ia termasuk sutradara
"sekolahan". Ia pernah mempelajari drama di Universitas Obafemi
Awolowo. Anak dari seorang veteran perang Burma ini juga pernah memenangkan
kompetisi International Student Playscript pada tahun 1989. Setahun kemudian
Biyi pindah ke London.
Pada
tahun 1994, Biyi memenangkan penghargaan Best New Play di Festival London New
Plays lewat naskahnya Two Horsemen. Sejak saat itu, karirnya menanjak. Pada
tahun 2000, Biyi tercatat sebagai penerima beasiswa doktoral Judith E. Wilson
di Universitas Cambridge.
Pada
tahun 2013, Pria kelahiran Kafanchan, daerah di Utara Nigeria, menyutradarai Half of Yellow Sun. Ini adalah
film yang diadaptasi dari novel terkenal berjudul sama karya dari penulis
Chimamanda Ngozi Adichie.
Film
ini dengan gagah memajang Chiwetel Ejiofor (nominator Oscar dan Golden Globe),
dan Thandie Newton yang pernah bermain dalam film semacam The Pursuit of
Happyness dan Mission: Impossible II. Film ini konon menelan biaya hingga $ 8
juta, yang membuatnya dinobatkan sebagai film Nollywood termahal sepanjang
sejarah.
Film
ini sudah diputar perdana dalam ajang Toronto's International Film Festival
2013. Film ini akan serentak diputar di seluruh dunia pada awal April 2014.
Biyi sang sutradara berharap film ini akan mengubah kemudi Nollywood ke arah
yang lebih baik.
"Masa
depan film Nigeria sangat bagus. Ada banyak pembuat film muda di Nigeria.
Beberapa tumbuh dengan tradisi Nollywood, yang lain adalah hasil dari sekolah
film. Dan kita hanya tinggal memadukan bakat macam itu, dan saya tidak sabar
menunggu hasilnya," pungkasnya. []
Aku selalu penasaran sama proses nulis tulisan yang seperti bisa bercerita begini. Apikk tenan...
BalasHapus