Jumat, 06 September 2013

Horor Manusia Modern

Mungkin salah satu horor paling mengerikan bagi manusia modern adalah kehilangan data.

Beberapa minggu lalu, Ayos bercerita kalau ia kehilangan laptop beserta hardisk eksternal. Saat itu ia sedang naik bis dan tidur lelap. Satu penggarong dengan tenang merobek tas dan menjarah isinya. Saat bangun di kota tujuan, Ayos langsung lemas saat mengangkat tas dan terasa kalau tas itu jadi ringan.

"Kabeh dataku nang kono cuk," kata Ayos sembari tersenyum pahit.

Untung bagi Ayos, beberapa data penting sempat ia duplikasi di CD. Tapi tentu tak semua data bisa diselamatkan. Dan bayangkan betapa repotnya menyimpan dan mengamankan data yang harus diduplikasi dalam aneka ria bentuk.

"Aku dadi koyok manusia tanpa data," ujar pria berkacamata itu.

Orang yang hidup di era MS-DOS sering berkata kalau zaman sekarang enak. Orang zaman MS-DOS hanya bisa menyimpan data di disket yang cuma berkuota beberapa kilobyte. Zaman sekarang media penyimpanan ada banyak, pun kuotanya besar, hingga satuan tera. Tapi apa iya hidup jadi lebih enak?

Nyatanya tidak. Semakin banyak satuan data yang kita punya, semakin besar ketakutan yang mengiringinya. Pertanyaan semacam "bagaimana kalau data ini hilang?" jadi momok. Bayangkan kalau data kita yang terabyte itu tiba-tiba hilang. Bayangan menakutkan itu mungkin bisa diusir barang sejenak, yakni dengan menduplikasi di banyak tempat. Tapi itu jelas merepotkan. Apalagi harga hardisk eksternal masih mahal. Di bakar di CD? Lantas berapa keping CD yang dibutuhkan? Belum lagi resiko CD tergores dan tak bisa dibaca di komputer. Alamakjang, repot!

Kita memang sudah masuk dalam dunia dimana, seperti pernah diucapkan Tim O'Reilly, data lebih penting ketimbang software.

Saya juga tak luput dari horor modern itu. Saat sedang di jalan dan malam sudah semakin menua, tidur saya tak lagi bisa nyenyak seperti dulu saat berjalan kemana-mana tanpa membawa laptop. Benda kecil itu menyimpan data-data penting bagi saya. Mulai dari koleksi lagu favorit, foto-foto, film biru pilihan, data kuliah, hingga data kerjaan. Saya tak bisa bayangkan kalau laptop saya itu hilang. Apalagi sejak mendengar kabar Ayos kehilangan laptop, tas selalu saya peluk menjelang tidur. Ya meski tetap tidur saya tak bisa pulas juga.

Beberapa jam lalu, Raymond, teman satu kontrakan saya juga mengeluhkan hal yang sama: tak bisa apa-apa tanpa data. Laptopnya sedang rusak dan diservis. Seluruh data-data untuk skripsi ada di sana, dan sialnya ia belum sempat mengkopi data penting itu.

"Dadine yo skripsiku gurung tak garap maneh sampe saiki," katanya sembari menyetir motor membelah jalan Kaliurang usai menjemput saya di stasiun.

Saya cuma bisa tersenyum kecut, membayangkan kalau itu terjadi pada saya.  Alamat tesis yang molor bisa jadi lebih molor lagi.

Kawan karib saya yang lain, Putri, juga pernah mengalami hal yang sama. Saat meninggalkan kosan selama beberapa hari, kamarnya kebanjiran dan laptopnya pun kena air. Sempat hidup selama beberapa menit, laptop itu akhirnya wafat dengan terhormat, meninggalkan Putri yang tersedu karena banyak datanya (terutama foto) yang tak bisa diselamatkan. Ngeri.

Tapi setelah saya pikir-pikir, kehilangan data itu memang selalu jadi cerita menakutkan sejak dulu. Saat zaman data masih disimpan dalam bentuk fisik, umur adalah musuh. Semakin tua data, semakin rentan pula rusaknya. Rayap ataupun suhu yang lembab juga jadi musuh nomer wahid. Sekarang, di zaman digital, kehilangan data juga masih menghantui, hanya dalam bentuk yang berbeda. Bagi banyak orang, kehilangan data sama saja dengan kehilangan separuh nyawa.

Tak heran, bung Scott Fitzgerald pernah bersabda, "To write it, it took three months; to conceive it three minutes; to collect the data in it all my life." Duh! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar