Dhani kembali mengoceh pedas. Kali ini melalui tulisan "Setelah Pelancong Tak Ada Lagi." Kali ini bahasannya makin melebar tak tentu arah. Dan tokoh yang ia kutip pun semakin gawat. Dari Roland Barthes hingga Michel Foucault. Ngeri.
Sama seperti esainya yang pertama, Dhani masih tidak mempunyai patron yang jelas tentang apa yang akan ia bahas. Ia, seperti yang saya tulis di paragraf pertama, suka sekali berjalan terlalu melebar. Untuk menjelaskan tentang pelancong saja ia harus membawa-bawa Aceh, DOM, hingga Tibet. Nah, karena melebar itu, mungkin bahasan saya juga mungkin sedikit melebar juga.
Bagi Dhani, saya kurang mendapatkan intisari tulisan pertamanya. Maafkan saya yang sedikit bebal ini, monsieur. Lantas Dhani mengulang tiga bahasan --yang semaksudnya disampaikan pada tulisan pertamanya. Namun ia menekankan pada bahasan ketiga, yakni riset.
Dhani menuliskan, "... yang ketiga adalah pentingnya riset bagi seorang travel writer." Ia menekankan bahwa penting bagi seorang travel writer untuk melakukan riset sebelum menulis. Dari sini saja jelas Dhani melakukan kebebalan lagi. Atau mungkin Dhani yang kurang riset? Sepertinya begitu.
Dhani haris tahu bahwa riset memang penting, tapi harus sesuai kebutuhan tulisan. Sekarang ambil contoh begini. Ada seorang penulis perjalanan akan menulis tentang Aceh untuk sebuah majalah wisata, apakah ia perlu mencari riset tentang sejarah Gerakan Aceh Merdeka secara detail? Atau riset tentang perlawanan Aceh terhadap penjajah? Saya pikir tidak perlu. Ia cukup melakukan riset tentang detail-detail kecil yang diperlukan. Ini dalam konteks travel writing lho ya.
Dan seperti yang sudah saya bahas dalam tulisan pertama, travel writing tak harus mendetail hingga mirip seperti, katakanlah, jurnalisme investigasi.
Mari bicara contoh. Bondan Winarno menuliskan "Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi" dengan riset yang teramat dalam. Ia melakukan perjalanan ke banyak negara. Dari Indonesia, Filipina, hingga ke Kanada. Bukunya itu bisa saja dimasukkan ke dalam genre travel writing, karena Bondan melakukan perjalanan. Tapi buku itu dianggap sebagai karya jurnalisme investigatif. Tentu karena investigasinya yang detail dan rumit, analisa yang tajam, dan --ini yang penting-- tidak menceritakan perjalanan Bondan.
Mungkin, sekali lagi, itu yang membedakan antara penulis perjalanan dengan jurnalis investigasi. Saya merasa Dhani berharap terlalu besar kepada penulis perjalanan. Dhani menuliskan "...Artikel semacam Ganja di Pulau Weh misalnya perlu dilihat pada lokus yang lebih luas." Lokus lebih luas yang bagaimana?
Apakah Dhani berharap penulis perjalanan membedah jaringan investigasi ganja? Atau membongkar peredaran ganja? Dari sini Dhani kembali melakukan kesalahan fatal. Dhani sebagai orang yang melek media tentu tahu, riset itu tak mudah. Butuh waktu yang lama. Apalagi jika itu adalah riset lapangan. Bondan membutuhkan waktu lebih dari 6 minggu untuk melakukan investigasi. Sekali lagi saya tegaskan, penulis perjalanan itu adalah turis. Mereka punya masa tinggal yang terbatas. Dengan masa tinggal yang terbatas, mengharapkan riset yang mendalam itu rasanya terlalu muluk.
Dhani kembali melebar pada sub-bagian Masyarakat dan Pelancong.
Ia menuliskan "... Marco Polo dan Columbus? Seriously? Dua pioner traveler dalam melahirkan peradaban berdarah bernama kolonialisme?" Kenapa saya bilang Dhani melebar? Karena bahasan awal adalah tentang traveling, bukan tentang kolonialisme. Saya yakin, baik Marcopolo atau Colombus menuliskan catatan perjalanannya tanpa berpikir tentang efek ke depan. Mereka menulis karena ingin mengabadikan perjalanan. Perihal mereka kelak melahirkan apa yang disebut kolonialisme, itu adalah hal yang berbeda lagi.
Dhani kembali tidak konsisten dalam bait selanjutnya. Kalau tadinya ia melebar, sekarang ia menyempitkan pikiran. Terlalu sempit malahan, hingga rawan melahirkan kesesatan berpikir.
Dhani bilang traveling berjasa melahirkan kolonialisme berdarah. Itu adalah bentuk kesempitan pola pikir. Kalau begitu, saya boleh dong bilang agama juga melahirkan peradaban penuh darah. Sejarah mencatat, orang yang mati gara-gara perang agama jumlahnya lebih banyak ketimbang orang yang mati karena kolonialisme Spanyol. Sejak era perang salib hingga era twitter, perang dan pembunuhan atas nama agama masih berlangsung. Tapi apa lantas kita berhak menyalahkan tuhan, agama beserta nabi dan rasulnya atas darah yang tertumpah? Tentu tidak.
Pola pikir yang terlalu mentah dan terbakar amarah seperti Dhani ini justru berandil membunuh banyak impian penulis-penulis perjalanan baru. Mereka yang ingin belajar, lalu dihempaskan oleh pola pikir Dhani yang sedikit sesat: penulis perjalanan itu melahirkan kolonialisme. Para penulis baru itu bisa gentar, lalu meletakkan pena. Mereka tentu tak ingin dituding sebagai penyebab kolonialisme, eksploitasi, atau segala hal yang berbau buruk akibat perjalanan dan penulisan perjalanan.
Yang kemudian ironis, Dhani seperti termakan omongannya sendiri. Ia jelas kembali kurang riset. Dalam kalimat, "...Pernyataan bahwa 'Orang lokal senang pelancong datang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi', adalah logika sesat khas kolonialis," ia menunjukkan itu. Berapa banyak kasus ala kolonialisme yang Dhani tahu?
Saya pernah menyaksikan sendiri, sebuah desa di lereng Merapi yang maju akibat menerapkan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Dulunya desa itu termasuk desa tertinggal. Perlahan desa itu ditata. Penyuluhan dan pendidikan diberikan. Rumah penduduk diperbaiki atas hasil swakarsa masyarakat. Hasilnya? Desa itu sekarang maju. Penduduk desa mendapat penghasilan tambahan dari hasil menyewakan kamar, memasakkan makanan lokal, hingga menjadi pemandu. Desa itu bahkan kerap menjadi langganan pemenang dalam lomba desa wisata nasional.
Dampak buruk? Jelas ada. Seperti yang sudah saya tulis di tulisan pertama, pariwisata itu punya dua sisi. Mustahil rasanya menghilangkan dampak negatif. Untuk itulah diperlukan kerja sama dari para pemangku kepentingan. Pemerintah, penduduk lokal, juga wisatawan. Tanpa kerjasama yang baik, industri pariwisata tidak akan berjalan dengan baik.
Saya sebenarnya sedikit lelah membaca tulisan Dhani. Ia tidak konsisten dalam membahas topik awal. Atau saya yang tidak paham apa yang ia tulis? Entahlah. Seperti misalnya, ia menulis dengan berbusa-busa tentang tolok ukur kemakmuran di suku Anak Dalam dan Mentawai. Padahal bahasan awalnya adalah traveling dan menjadi pelancong yang bertanggung jawab. Dhani malahan dengan semena-mena menembakkan justifikasi "Siapa anda merasa berhak melabeli bahwa dengan pariwisata dan masuknya uang masyarakat ini akan lebih makmur?"
Tak pernah ada yang ngoceh kalau pariwisata adalah satu-satunya jalan memberikan kemakmuran. Tapi tak ada yang berani membantah kalau pariwisata memang memberikan kemakmuran bagi banyak orang. Dhani mau membantah tentang hal ini? Silahkan. Tapi saya rasa ia sudah cukup cerdas untuk bisa mencari tahu berapa uang yang dihasilkan dari pariwisata.Tentu ini bisa menimbulkan perdebatan baru: uang itu masuk ke mana? Dan semakin lama kita berputar di labirin ini, bertukar wacana, dan tidak berbuat apa-apa.
Dhani pun tak lelah untuk berputar-putar. Ia kembali melebar tentang komodifikasi di daerah Sumba. Saya tak akan membahas. Akan terlalu panjang dan melebar jika akan dibahas.
Ah Sudahlah...
Tapi Dhani menuliskan sedikit kebenaran yang bagus. Bahwa travel writer bisa berperan sebagai voluntary community services. Jauh sebelum Dhani menuliskan kritik tentang travel writer, sudah ada banyak penulis perjalanan yang melakukan itu kok. Mungkin Dhani saja yang kurang riset. Hihihi.
Saya tak punya maksud khusus menuliskan tulisan ini. Hanya bersenang-senang menanggapi Dhani. Memindahkan perdebatan yang dulu di ruang nyata, menuju ke dunia maya. Saya sama sekali tidak tersentil oleh tulisan Dhani. Apalagi tersinggung. Sama sekali tidak. Saya malah senang melihat Dhani jika menulis pedas. Saya bisa menggojlokinya seperti ini. Hihihi.
Oh ya, ada satu hal yang saya juga setuju. Bagian dimana Dhani menuliskan, "...Ketika melancong adalah sebuah keseharian dan bukan lagi proses untuk mencari jati diri maka yang tersisa dari manusia adalah kedegilan." Itu yang saya katakan ke Dhani melalui sms, sebelum Dhani menuliskan artikel "Setelah Pelancong Tak Ada Lagi." Bahwa kuantitas perjalanan tak menjamin kualitas seseorang.
Banyak orang bilang, seseorang akan semakin dewasa dan rendah hati ketika sering melakukan perjalanan. Saya tidak setuju. Itu menekankan kuantitas, ketimbang kualitas.
Bagi saya, kualitas perjalanan adalah yang penting. Bagaimana seseorang bisa belajar banyak dari perjalanannya. Sebanyak apapun kamu melakukan perjalanan, jika kamu tidak belajar sesuatu darinya, then you'll get nothing.
Tabik. []
Saya suka kalimat terakhir... Yang penting bukan seberapa jauh dan banyak tempat yang kamu kunjungi. Tapi seberapa dalam kamu mengenalnya dan belajar darinya.
BalasHapusAlbert Camus beud kamu ya Fok. :)
BalasHapusSukak karo tulisan iki: "Sebanyak apapun kamu melakukan perjalanan, jika kamu tidak belajar sesuatu darinya, then you'll get nothing."
BalasHapus