Seperti pohon... Di pokok kita masih satu, lantas kita berpisah di cabang. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ada yang terus ke atas, ada yang ke depan, ada yang ke belakang.
Atau bilapun masih satu di cabang, kita nanti akan berpisah juga di ranting. Ke atas, ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang...
Saat kita kecil dulu, kita masih satu, masih anak kecil. Lantas sedikit demi sedikit waktu kita bikin kita beda. Waktunya makin banyak, beda kita tambah banyak.
Itulah kita
(Bubin Lantang, Anak-anak Mama Alin, dalam buku terakhir berjudul Jejak-jejak)
***
Put, inget gak ini dimana? |
Rasa-rasanya baru kemarin saya mengenal Dwi Putri Ratnasari. Kami satu sekolah di taman kanak-kanak. Dimana kami para bocah lelaki, adalah monster yang seperti baru lepas dari kurungan. Lari kesana kesini, teriak ini itu. Sedang Putri, layaknya bocah perempuan, sibuk bermain boneka di pojokan dengan kawan-kawan sekaumnya.
Tak banyak yang saya ingat tentang Putri di TK. Hanya ada satu fragmen: gadis berpipi penuh, dengan poni diatas alis, dan pita berwarna cerah anggun bertengger di kepala bagian kiri. Itu saja yang bisa saya ingat, lain tidak.
Lalu kami masuk SD yang sama. Saya jelas lupa kalau Putri adalah kawan TK saya. Atau lebih tepatnya, ingatan saya tergerus oleh kartun-kartun dan komik yang mulai menyita rongga-rongga ingatan. Sehingga tak ada lagi sisa ingatan untuk Putri, kawan saya semasa TK dulu.
Di SD pun, kami tak banyak bercakap. Kalau tak mau dibilang tidak pernah sama sekali. SD kami sudah mengenal pembagian kelas. Satu angkatan ada 4 kelas, dengan tiap kelas berisi sekitar 40 anak. Jelas jumlah yang cukup banyak untuk bisa lupa akan Putri. Apalagi saya terlalu sibuk menaruh perhatian saya kepada perempuan-perempuan cinta monyet saya: Indari, Resti, dan siapa lagi ya?
Kami bertemu lagi ketika sudah kuliah.
Ada banyak yang berubah. Putri sudah berkerudung, tapi pipinya masih sama: bulat dan penuh. Ia juga masih suka tertawa terkikik. Kalau sedang melakukan itu, matanya yang sipit jadi bertambah sipit. Kelak saya tahu kalau sipitnya Putri adalah karena ia ada garis keturunan Tionghoa. Walau warna kulitnya jelas mengingkari.
Entah apa yang bikin kami akrab. Kami yang sedari TK jarang sekali bertegur sapa, mendadak akrab. Menjalin komunikasi melalui dunia virtual. Friendster, YM, blog. Melalui jejaring itu pula, saya kembali ditemukan dengan Ayos, kawan semasa SD juga. Ia kuliah di Surabaya, satu kota dengan Putri.
Maka hidup berjalan sebagaimana mestinya. Kami sering nongkrong bareng, ngobrol ngalor ngidul, menemukan banyak kesamaan dan kesenangan.
Saya dan Ayos selalu menganggap Putri sebagai adik perempuan kami. Songong memang, karena sepertinya Putri tak akan sudi punya kakak-kakak nista macam kami. Tapi selayaknya kakak, saya dan Ayos selalu protektif kepada Putri.
"Mana cowok yang kamu taksir, kenalin ke kita. Nanti kita bikin fit and proper test" ujar kami songong.
Putri memang tak pernah punya sejarah romansa dengan pria. Setidaknya, saya tak pernah tahu. Yang saya tahu, dulu sekali ia pernah menjadi pemuja rahasia seorang mas-alim-yang-tinggal-di-depan-kosannya. Tapi sama seperti banyak pemuja rahasia lainnya, perasaan mereka cukup jadi rahasia antara mereka dan tuhan. Mas itu akhirnya pergi entah kemana.
***
Saya, Ayos, dan Putri suka sekali traveling. Meski begitu, hanya sesekali kami traveling bareng. Salah satunya terjadi tahun 2010, kami pergi ke Madura dan Pulau Sapudi dengan naik motor. Perjalanan singkat itu sangat berkesan. Dari situ saya sedikit banyak paham karakter Putri.
Sebagai gadis bungsu, ia biasa dituruti segala kemauannya. Kalau tak dituruti, ia akan merajuk, memasang muka masam. Kalau begitu, saya dan Ayos akan menjahilinya. Meski begitu, ia bukanlah perempuan manja. Sebaliknya ia tangguh. Setidaknya saya sudah membuktikan ketika kami naik kapal kayu menuju Pulau Sapudi. Ombak sedang ganas. Saya mabuk laut, ia tidak. Saya muntah, ia hanya merapal doa. Saya tidur karena lemas, ia makin keras merapal doa karena perahu semakin doyong terkena ombak. Setidaknya, Putri bukan orang yang gampang mabuk laut.
Dalam perjalanan itu pula, saya melihat Putri sebagai perempuan yang gampang membawa diri. Ia mudah sekali akrab dengan orang baru. Di rumah Pak Harto --penduduk lokal yang memberi kami tumpangan menginap-- Putri tanpa canggung bermain dengan Pak Harto. Eh maksud saya, dengan anak-anak Pak Harto. Saya melihat sifat itu sebagai bawaan, bakat lahir, given. Karena itu pula, ia mendapat banyak kemudahan ketika traveling.
***
Meski saya dan Putri dekat, tapi pernah satu kali hubungan kami memburuk. Bahkan dalam tahap yang kronis. Ihwalnya adalah saat saya berusaha mendekati seorang sahabat Putri. Putri sudah berusaha melarang saya.
Saya paham kalau Putri adalah orang yang protektif terhadap sahabatnya. Ia tak ingin saya --yang dalam pikiran Putri adalah pria begajulan dan punya hubungan dengan banyak perempuan-- mendekati sahabatnya. Padahal, saya juga sahabatnya bukan? Tapi mana bisa Cupid dilawan. Akhirnya saya jadian dengan sahabat Putri itu. Putri marah. Kami sempat bersitegang melalui sms. Kondisi kami saat itu layaknya tali yang ditarik sama kuat kedua ujungnya. Tegang.
Akhirnya kondisi marah itu mencapai puncaknya: diam. Tak ada yang lebih mengerikan dari bentuk kemarahan selain diam. Putri diam dan enggan menyapa saya. Saya pun tak enak menyapanya. Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya kami --entah bagaimana caranya-- kembali berbaikan. Beberapa kali saya dan --sekarang mantan-- pacar itu keluar bareng Putri dan Ayos.
Dari situ saya mengambil kesimpulan: Putri adalah orang yang sangat protektif. Mungkin dalam beberapa sisi, ia terkesan posesif. Tapi itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa sayang. Agar orang yang ia sayang tidak terluka --dalam hal ini, sang sahabat perempuannya. Tapi ketika ia tahu orang yang ia sayang akan baik-baik saja, Putri akan merelakannya.
***
Saya ingat, awal-awal kuliah Putri adalah mahasiwa KP alias kuliah pulang. Sehabis kuliah, ia pulang. Rajin sekali belajar. IPK tak kurang dari 3. Lulus tepat waktu. Kerjaan dengan gaji besar menanti. Alih-alih bekerja di bidang Farmasi yang ia tekuni, Putri malah mengambil jalan sunyi: penulis perjalanan. Tapi kesunyian itu hanya ada di masa lampau. Sekarang semua orang sudah menasbihkan diri sebagai penulis perjalanan, tak peduli tulisan beberapa dari mereka buruk sekali. Biarlah.
Saya selalu suka tulisan Putri. Gaya bertuturnya renyah. Bahkan ketika belum banyak membaca referensi penulis perjalanan "serius," gaya menulis Putri sangatlah kocak. Saya dan juga Ayos seringkali terbahak ketika membaca tulisannya. Di blog Hifatlobrain milik Ayos, Putri berproses dan menjelma sebagai penulis perjalanan yang ciamik.
Berkat menjadi penulis perjalanan pula, Putri sudah melanglang ke pelosok Indonesia. Ke Kalimantan, bermain jeram dengan suku Dayak? Sudah. Ke Sumba melihat Pasola? Sudah. Ke Ternate menyaksikan sejarah rempah? Sudah. Hanya menuju KUA yang ia belum.
Iya, Putri lama sekali tak punya pacar. Saya dan Ayos --yang mengaku sebagai kakak laki-lakinya-- sempat khawatir kalau-kalau Putri tidak laku. Apalagi ia tipikal perempuan pemalu yang tak akan berani mengungkapkan rasa terlebih dahulu. Boooo.
Putri memang jarang sekali bercerita mengenai kisah romansanya. Ia tahu kalau saya dan Ayos akan menggojlokinya tiada ampun kalau sampai tahu kisah kasihnya.
Tapi suatu siang itu, Putri mengirimi saya sms dengan nada nelangsa. Apa itu, sidang pembaca tak perlu tahu. Cukup saya dan Putri saja yang tahu. Kami bertukar cerita banyak sekali via pesan pendek.
Hingga suatu sore, di halaman depan Radio Buku Yogyakarta, di angkringan buku, kami bertukar kisah. Panjang dan lama sekali kami berbicara. Kami seakan melampiaskan rasa rindu berkisah yang sempat terhalang dengan amarah kami dulu.
Dari situ, saya tahu Putri sudah menambatkan hati. Pria yang sial itu, eh maksud saya: sangat beruntung, adalah Dian Prasetyo. Pria asli Semarang. Kurus, berkacamata, dan tinggi menjulang. Agak menyedihkan melihat Putri terbenam di bawah Pras jika mereka berdiri bersisian. Tapi tak apalah, perbaikan keturunan.
Pras alumnus Fakultas Kehutanan UGM. Sekarang bekerja sebagai Jagawana di TN Waingapu, Sumba. Putri berkisah dengan mata berbinar. Ia sepertinya benar-benar jatuh cinta. Saya lega. Dari obrolan menjelang matahari terbenam itu, entah bagaimana, saya merasa Putri akan menikah dengan Pras.
Dan firasat saya benar...
***
Bubin Lantang menuliskan Jejak-jejak yang merupaan kisah terakhir serial Anak-anak Mama Alin dengan penuh melankolia. Maka di halaman depan, tepat setelah kover, ia menuliskan kalimat yang saya kutip di atas.
Saya, Ayos, Putri dulu satu pohon. Dari SD hingga kuliah. Kami traveling bareng, ngopi bareng, makan bareng, hingga tidur bareng. Kami satu.
Tapi, selayaknya analogi pohon ala Bubin, kami tumbuh menjadi dahan dan ranting. Kami melanting ke arah kami masing-masing. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ke belakang, ke depan. Ke delapan mata angin kami berpencar.
Selayaknya manusia, kelak ada jalan yang harus kami tempuh sendirian. Jalan itu sekarang terhampar di depan Putri. Ia akan menikah. Lalu menjalani hidupnya sendiri, berpisah dengan saya dan Ayos. Dan kelak kami juga akan menyusulnya. Menikah, punya anak, dan sekali lagi, menempuh jalan masing-masing.
Saya sedih sekali tak bisa datang ke pernikahan Putri karena pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Untunglah saya sempat bertemu Putri beberapa hari sebelum saya melakoni kerjaan ini. Kami mengobrol panjang di gerbong kereta menuju Surabaya. Sedikit mengenang masa-masa bodoh dulu. Hahahihi.
Dari sini, kita akan menempuh masing-masih hidup kita Put. Sampai jumpa di cabang yang lain. Aku turut berbahagia. Meski tak bisa langsung datang, tapi doa selalu terpanjat. Selamat menempuh hidup baru ya.
Ah, kalimat penutup saya ini standar dan jelek sekali...
Mataram, 09 Februari 2013
21.20 WITA
Indah :)
BalasHapusJenenge Putri, guduk Indah :p
Hapuskok saya terharu baca ini ya? entah kenapa.. haha..
BalasHapusWah kok aku malah belum nulis ya... nulis juga ah! harusnya putri juga nulis!
BalasHapuskeren
BalasHapusdan salam kenal mas,
saya jg fansnya bubin lantanG
dan G n R :)