Dendam memang misterius. Tak ada yang tahu berapa lama ia akan bertahan. Dendam bisa terhapus dalam waktu harian. Ada pula yang menyumat dendam hingga ujung waktu.
Gustavo Villoldo mungkin adalah orang jenis kedua.
Villoldo lahir dari keluarga berada. Ayahnya mempunyai bisnis dealer mobil yang lumayan besar pada era Fulgencio Batista, presiden Kuba sebelum revolusi. Tapi semua berbalik ketika rezim Batista tumbang, dan Fidel Castro menjadi presiden.
Pada 1 Januari 1959, beberapa hari setelah Castro menggulingkan pemerintahan Batista, Villoldo dan juga ayahnya dipenjara selama 10 hari dengan tuduhan menggelapkan pajak dari hasil penjualan mobil impor. Sehari setelahnya, Che Guevara, orang kepercayaan Castro, menyita semua kekayaan perusahaan milik ayah Villoldo dengan tuduhan menggelapkan pajak dan berkonspirasi dengan Batista. Trah keluarga Villoldo runtuh, mereka menjadi fakir dalam sekejap.
"Pada 16 Februari 1959, ayahku bunuh diri, menenggak beberapa obat tidur dan meninggalkan surat wasiat. Ia menuduh si barbudos (pria berjenggot, alias Che) yang telah menghancurkan hidupnya. Itu akan terus aku kenang" ujarnya dalam sebuah wawancara.
29 hari setelah ayahnya tewas, ia melarikan diri dari Kuba menuju Miami dan bergabung dengan para tahanan politik Kuba lainnya.
Villoldo yang mantan tentara pada kesatuan pra-Castro, bergabung dengan tentara Amerika dengan pangkat Letnan Dua. Tugasnya adalah melatih taktik gerilya dan juga taktik penyergapan pasukan pemberontak. kepada para tentara Amerika. Ia bahkan sempat turut serta dalam gelombang invasi Amerika Serikat ke Kuba untuk menggulingkan Castro, yang lantas dikenal dengan nama Invasi Teluk Babi.
Pada 1964 ia bekerja untuk CIA. "Bekerja 'dengan' bukan 'untuk'" sanggahnya. Gajinya di CIA memang kecil. Konon hanya $100/ bulan. Untuk dapat menambal kebutuhan hidup, ia menyambi kerja. Termasuk pernah menjadi seorang wartawan di sebuah surat kabar Miami.
Ketika bergabung di CIA, ia seringkali menangani beberapa kasus separatis, seperti di Guatemala, Kongo, Bolivia, hingga Ekuador. Pria ini juga secara khusus menyimpan "dendam" kepada Castro dan Che.
"Aku selalu berusaha melawan sistem yang menghancurkan negaraku. Melawan para orang-orang yang bersekutu dengan Castro. Aku sebenarnya tidak membenci Che secara personal. Walau begitu, aku akan selalu mengingat bahwa Che dan Castro adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kematian ayahku" tuturnya.
Dendam atas kematian ayahnya membuat Villoldo bertekad memburu Che.
***
Awal tahun 1965, CIA mendengar kabar bahwa Che berencana melakukan revolusi di Dominika. Villoldo lantas pergi ke pedalaman rimba Dominika, menuju sarang pemberontak untuk mencari jejak Che. Tapi pejuang revolusi yang identik dengan topi baret dan jenggot lebat itu tak ditemukan.
Setahun kemudian, kembali ada kabar bahwa Che berada di Kongo. Villoldo kembali memburunya, memimpin satu kelompok yang terdiri dari para agen CIA berkebangsaan Kuba-Amerika. Sesampai di Kongo, mereka hanya menemukan angin. Che selangkah lebih cepat, melanglang ke Tanzania untuk membantu pasukan pemberontak disana.
Villoldo kesal dan geram atas hilangnya Che. Namun dendam kesumatnya selalu berhasil meneguhkan niatnya untuk menangkap Che, walaupun beberapa kali Che mengkadalinya. Ia selalu ingat bahwa perintah CIA hanya untuk menemukan lokasi Che, itu saja. Bukan untuk menangkap Che.
"Tapi tujuanku tetap menangkapnya, hidup atau mati."
Lantas tersuar kabar: Che berada di Boliva!
Dengan semangat penuh, Villoldo melangkah menuju Bolivia yang saat itu dipimpin oleh pemerintah militer pimpinan Rene Barrientos. Che sedang berusaha membantu pasukan separatis Ñancahuazú untuk menggulingkan Barrientos yang dianggap dictator. Barrientos kebakaran jenggot. Ia menawarkan sayembara berhadiah ribuan dollar bagi siapapun yang berhasil menangkap Che, hidup atau mati.
Villoldo masuk ke Bolivia dengan menggunakan identitas samaran sebagai Kapten Eduardo Gonzales, seorang tentara Bolivia. Ia bahkan menggunakan pakaian dan atribut militer Bolivia. Saking meyakinkannya, bahkan para tentara Bolivia yang bekerja dengannya, tak menyadari kalau kapten Eduardo Gonzales adalah seorang agen CIA yang sedang menyamar.
Che sudah nyaris berada setahun di Bolivia. Ia bergerilya, keluar masuk hutan dan selalu berpindah tempat. Itu menyulitkan pemerintah Bolivia dalam menangkap Che. Salah satu tugas utama Villoldo adalah melacak tempat persembunyian Che di belantara Bolivia. Ia mendapatkan info itu dari Regis Debray, seorang penulis ‘kiri’ asal Perancis yang saat itu baru saja menuliskan sebuah buku tentang taktik gerilya Castro. Debray ditangkap beberapa saat setelah mengunjungi Che di pedalaman hutan Bolivia. Karena itu, ketika akhirnya Che tertangkap, deras syakwasangka bahwa Debray telah mengkhianati Che. Debray menyangkal tuduhan itu. Tapi menurut pengakuan Villoldo, Debray menceritakan semuanya. Dari sana, Villoldo bergerak mencari tempat persembunyian Che.
***
Sebelumnya, tak banyak orang yang mengenal Mayor Ralph "Pappy" Shelton selain para koleganya di pasukan elit Amerika: Baret Hijau. Tapi publik lantas mengenalnya setelah ia menjadi komandan regu Baret Hijau yang melatih pasukan Bolivia guna menangkap Che Guevara.
Ralph "Pappy" Shelton |
Shelton yang berasal dari keluarga miskin mengawali karir sebagai tentara pada tahun 1948. Pria yang besar di pinggiran Mississippi dan Tennessee ini sempat bergabung sebagai sersan pada Perang Korea. Atas jasanya pada perang itu, mantan petani ini dianugrahi medali Silver Star.
Pada tahun 1953, ia memutuskan pensiun dari ketentaraan. Tapi tak lama kemudian ia kembali dalam dunia militer sebagai instruktur. Pria kelahiran tahun 1930 ini melatih pasukan angkatan darat dan juga angkatan udara. Lalu pada 1961, karena kemampuannya, mantan sersan yang juga pernah tinggal di Detroit ini masuk dalam unit Baret Hijau, tergabung dalam unit bernama MTT, akronim dari Mobile Training Teams, Brimob-nya Amerika. Tugasnya adalah melatih pasukan negara lain untuk menghadapi pemberontakan. Ia kerap bekerja dengan CIA. Pada tahun 1962, Shelton terjun ke Laos untuk memerangi pemberontak. Setelah tugasnya purna, ia lalu bertugas di Panama dan Dominika yang sedang panas karena percobaan makar.
Karena pengalamannya dalam mengatasi perlawanan pasukan pemberontak, pria berhidung mancung ini ditugaskan untuk menangkap Che pada tahun 1967. Tak hanya itu, ia juga ditugaskan untuk melatih pasukan Bolivia perihal taktik gerilya dan juga kemampuan penanganan kelompok separatis. Shelton tak sendirian dalam mendidik tentara Bolivia. Ia bersama 16 tentara lain (termasuk Eduardo Gonzales, alias Villoldo sang agen CIA) melatih sekitar 400 tentara Bolivia.
Layaknya dream team dalam film action ala Hollywood, maka tim pasukan elit gabungan Baret Hijau dan CIA pun melatih pasukan Bolivia untuk menangkap Che. Yang diajarkan beragam. Mulai cara merekrut penduduk lokal untuk jadi agen intelejen, mengajarkan telik sandi, kegiatan spionase, hingga kemampuan dasar seperti menembak, pertarungan tangan kosong, hingga cara bergerak hening ketika pergerakan malam hari.
Sekitar beberapa minggu setelah pelatihan oleh Baret Hijau dan CIA, para tentara Bolivia diarahkan menuju hutan untuk mencari para pemberontak. Terutama Che Guevara.
Saat itu akhir bulan September 1967. Bolivia sedang membara...
***
Entah apa yang ada di pikiran seorang Ernesto "Che" Guevara. Di mata orang kebanyakan, hidupnya sudah purna. Ia bergelar dokter. Masa mudanya penuh warna: keliling Amerika Selatan menggunakan motor tua, hingga bergabung dengan pasukan gerilya pimpinan Fidel Castro untuk menggulingkan pemerintah diktator Batista. Ketika revolusi Castro berhasil, Che diangkat menjadi presiden Bank Kuba. Lalu karirnya menanjak, jadi Menteri Industri.
Apalagi yang ia cari?
Beberapa orang menuding Che sebagai orang bodoh yang tak mengenal rasa bersyukur. Ia sudah menduduki posisi puncak, hasil dari segala kesah masa muda yang ia lewati dengan baik. Bukannya bersyukur dan berusaha mengerjakan tugas di balik meja, pria yang awalnya berprofesi sebagai dokter ini malah kembali menggelorakan api revolusi ala Kuba di berbagai tempat. Mulai Algeria, Kongo, sampai di pemberhentian terakhirnya: Bolivia.
Tak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya. Che, kemungkinan besar, adalah manusia pilihan. Manusia yang sadar bahwa hidup sejati bukanlah berada di balik meja, melainkan ada di luar sana. Tempat dimana banyak terjadi apa yang ia sebut sebagai ketidakadilan, kemiskinan, dominasi imperialisme, dan kebusukan Amerika Serikat. Ia berjuang melawan itu semua.
Che tak menyesal harus menyabung nyawa untuk itu semua. Ia berharap mati dalam hutan, bukan di atas ranjang. Keinginannya itu terkabul...
***
30 September 1967. Tentara Bolivia makin merangsek deras ke dalam rimba belantar untuk memburu gerombolan tentara separatis. Che dan pasukannya terdesak di sebuah canyon di sebuah tempat bernama Valle Serrano. Dalam gerilyanya, Che sudah kehilangan banyak orang. Hanya ada beberapa belas orang yang tersisa. Che pun sedang tidak berada dalam kondisi prima. Hidup dalam hutan membuat beberapa penyakit berkunjung. Termasuk sang penyakit lama: asma. Kelak, Debray, penulis asal Perancis yang pernah hidup beberapa saat bersama pasukan Che untuk keperluan riset bukunya, menceritakan bahwa pasukan Che sudah habis "dimangsa" oleh hutan. Mereka menderita malnutrisi, kekurangan air, ketiadaan sepatu, dan hanya mempunyai enam selimut bagi 22 anggotanya.
Tanggal 7 Oktober, Che masih sempat menuliskan catatan pendek dalam buku hariannya. Pria berkebangsaan Argentina itu menuliskan bahwa ia dan pasukannya sempat bertemu dengan seorang perempuan tua yang menggembalakan kambing. Mereka bertanya apakah ada tentara di sekitar sana. Sayang, sang wanita tua itu tak tahu apa-apa. Che sempat memberikan 50 peso sebagai uang "tutup mulut" tentang keberadaan mereka.
"Aku berharap perempuan tua itu melakukannya (tutup mulut)" tulis Che dalam buku harian yang kelak dirilis dengan judul The Che Guevara Diary dalam laporan mingguan CIA.
Mungkin semua kehebatan tentara elit Amerika yang banyak digambarkan dalam film-film Hollywood itu memang benar adanya. Hanya dalam waktu 13 hari sejak pasukan didikan Baret Hijau dan CIA itu masuk ke hutan, Che sudah tertangkap. Walau begitu, tetap saja ini bukan pertempuran yang adil.
Dalam laporan berjudul The Final Days of Major Ernesto Che Guevara yang dirilis oleh CIA, dituliskan dengan jelas bahwa ada 1.300 tentara Bolivia didikan Baret Hijau arahan CIA yang diutus untuk menangkap Che. Sedang pasukan Che? 17 orang saja!
Tanggal 8 Oktober, akhirnya pertempuran mendekati garis akhir. Padang pertempuran terakhir Che bertempat di Quebrada del Yuro. Saat itu, Che sudah tertembak beberapa kali di bagian betis dan kaki. Bahkan untuk berjalan saja ia kesusahan. Tampuk komando diambil alih oleh Simon Cuba Sarabia yang akrab dipanggil Willy, seorang pekerja tambang di Bolivia yang juga dikenal sebagai aktivis dari Partai Komunis Bolivia.
Desing peluru tak berhenti membelah udara. Willy menyeret Che yang sudah tak bisa berdiri, menariknya mundur dari medan baku tembak. Salah satu tembakan dari pasukan Bolivia sempat mengenai topi baret kebanggaan Che dan menjatuhkannya ke tanah. Karena dirasa mustahil untuk kabur, Willy mendudukkan Che agar mereka bisa balas menembak.
Dengan duduk, Che berusaha membalas tembakan dengan satu tangan. Saat itu, tangan kiri Che sudah tertembus peluru. Akhirnya, sebuah peluru menembus lengan kanan Che. Membuat senjata Che terlepas. Tentara Bolivia merangsek dan menodongkan senjata kepada Che.
"Jangan tembak! Aku Che Guevara, dan aku lebih berharga ditangkap hidup-hidup ketimbang mati!" teriak Che. Pasukan Bolivia urung menembaknya. Mereka mengikat Che, Willy, dan segelintir sisa pasukan Ñancahuazú yang juga sudah sekarat. Che akhirnya resmi ditangkap pada tanggal 8 Oktober 1967, kira-kira pada pukul 3.30 sore...
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar