Kamis, 04 Oktober 2012

Antara Iwan dan Kopi Itu

Preambule: Dua orang penulis favorit saya, Puthut EA dan Arys Aditya pernah menggagas ide untuk membuat situs yang berkaitan dengan kopi, terutama kopi nusantara. Situs itu akhirnya mengudara beberapa waktu lalu dengan alamat www.minumkopi.com. Saya mendapat kehormatan karena bisa menulis disana. Inilah tulisan pertama saya tentang kopi --walau sebenarnya lebih banyak menyentil Iwan Fals sih, hehehe. Oh ya, situs ini dengan senang hati akan menerima kontribusi berupa tulisan atau foto. Jadi kalau kamu punya tulisan atau foto tentang kopi, jangan segan untuk mengirim ke alamat editor@minumkopi.com

                                                                                   ***

Saat itu malam baru saja dimulai. Adzan Isya baru saja berkumandang di Probolinggo. Sementara gerimis tinggal rinai. Dua orang pengamen masuk dalam bis tujuan Jember. Saya mengamati mereka dari bangku belakang yang penuh sesak. Seperti laiknya pengamen yang baik, mereka begitu komunikatif dan seduktif. Menyapa selamat malam pada penumpang. Permisi numpang ngamen. Semoga yang memberi uang masuk surga, dan yang tidak memberi dibuka pintu hatinya.

Lalu lagu pertama dimainkan, "Ujung Aspal Pondok Gede" dari Iwan Fals. Saya tak heran kalau lagu Iwan dinyanyikan begitu banyak pengamen. Walau ada banyak lagu-lagu pop baru yang menyerbu, lagu Iwan seperti tak pernah lekang di kalangan pengamen.

Iwan memang menjadi dewa bagi banyak kelas proletar. Lirik-lirik lagunya yang kritis tapi mudah dipahami membuat Iwan diperlakukan selayaknya pahlawan.

Duo pengamen itu bersuara cukup merdu. Mereka begitu menjiwai, tipikal cara menyanyi lagu yang dari hati. Lagu "Ujung Aspal Pondok Gede" berkisah mengenai kenangan akan kampung halaman. Rumah sederhana yang begitu menerbitkan rindu. Lalu segala kenangan akan kampung halaman akan dihancurkan, dibuldozer hingga rata dengan tanah. Lantas di tanah itu akan didirikan pabrik demi memuaskan nafsu konsumsi masyarakat kota.

Lagu ini terdapat pada album Sore Tugu Pancoran (1985). Saat itu Iwan masih belia, baru berumur 24 tahun (Iwan lahir tahun 1961). Iwan muda memang kritis. Dalam setiap lagunya, nyaris pada setiap lagunya ia berkisah tentang kehidupan masyarakat bawah.

Jalanan macet. Hujan kembali turun. Saya melihat ke luar jendela bis. Entah kenapa saya jadi teringat Iwan muda yang lagunya sering diputar almarhum ayah di komputer. Ayah memang bukan penggemar Iwan. Ia lebih condong menyukai God Bless. Tapi ketika komputer bekas Pentium I yang dibelinya hanya memiliki beberapa folder lagu Indonesia, dan yang layak didengar hanya Iwan Fals, maka tak ada pilihan lagi. Iwan lah yang setiap sore berdendang menemani ayah saya bermain solitaire hingga adzan maghrib menjelang.

Iwan muda jelas sangat berbeda dengan Iwan sekarang. Iwan muda berapi-api. Tampak liar dengan rambut gondrong dan kumis lebat. Kata-katanya tajam bagai pedang, membuat gentar kaum-kaum yang ia semprot. Ketika bergabung dengan Kantata Takwa, kekuatannya jadi berlipat. Dengan W.S Rendra, Sawung Jabo, Inisisri, juga Setiawan Djodi, mereka lah supergrup terhebat yang pernah dimiliki Indonesia hingga saat ini. Kerjasama mereka menghasilkan banyak lagu legendaris, termasuk "Bongkar" yang galib dijadikan mars ketika para aktivis mahasiswa turun ke jalan menentang tiran.

Iwan yang sekarang? Saya tak bisa mengatakan ia menjadi lembek. Hanya menjadi lebih bijak dan dewasa. Ia memangkas rambut gondrong beserta kumis dan cambangnya. Ia tak lagi berapi-api. Kalau dulu lagunya identik sebagai lagu protes, sekarang lebih ke lagu perenungan diri. Ketika dulu pada Iwan kita melihat api, sekarang Iwan tampak sebagai beringin yang rindah: teduh dan meneduhkan.

Hujan makin menderas. Pengamen terus berdendang. Kali ini lagu kedua, "Kereta Tiba Pukul Berapa". Lagu balada ini begitu kocak. Menceritakan seseorang yang terburu-buru ke stasiun untuk menjemput teman. Saking terburunya, ia melanggar rambu lalu lintas dan ditilang. Sesampai di stasiun, kereta yang ditunggu ternyata terlambat. "Dua jam mungkin biasa" nyanyi Iwan dengan lirih yang komikal.

Saya pun demikian, menanti-nanti kapan saya sampai Jember.

                                                                               ***

Selain keteduhan ala beringin itu, ada satu hal lagi yang berubah pada Iwan: kompromi. Dulu ia tak pernah mau tampil dalam iklan komersil. Sekarang? Ia pernah tampil untuk iklan sepeda motor. Yang terbaru, ia tampil untuk iklan kopi Top Coffee keluaran Wings Food. Iklan itu ditayangkan begitu masif.

Saya maklum. Top Coffee adalah merk baru dalam dunia kopi sachet di Indonesia. Saingannya berat. Pasar Indonesia sudah mengenal beberapa merk kopi kemasan.Mulai dari kopi tubruk hingga kopi dengan berbagai rasa. Karena itu, medan pertempuran untuk merebut pasar kopi sangatlah berat. Apalagi manusia modern cenderung membeli merk ketimbang produk.

"Manusia modern tidak lagi membeli barang, tapi mereka membeli merk" ujar Bondan Winarno dalam artikel berjudul Citra Itu Mahal yang termaktub dalam buku Seratus Kiat: Jurus Sukses Kaum Bisnis.

Bondan benar. Produsen kopi yang meng-endorse Iwan tentu paham hal ini. Sebagai pemain baru dalam dunia kopi,  mereka harus punya ujung tombak untuk menaikkan nama mereka dalam persaingan kopi. Bintang iklan tak boleh semenjana, bukan artis kapiran atau penyanyi dangdut murahan. Harus yang jadi ikon. Akhirnya Iwan yang dipilih. Ada dua lagi bintang sinetron yang jadi duta Top Coffee, tapi saya tak akan membahas mereka karena mereka tidak penting.

Iwan merupakan pilihan yang sangat tepat. Siapa sih orang Indonesia yang tidak mengenal Iwan? Rasa-rasanya bagai mencari jarum dalam jerami ketika bilang ada orang yang tak kenal Iwan.

Pangsa pasar utama yang dituju jelas: penggemar Iwan. Bukan tak ada alasan kenapa kalimat awal iklan Top Coffee berbunyi "Orang Indonesia..." Orang Indonesia bisa dimaknakan sebagai penduduk Indonesia. Tapi bisa juga diartikan sebagai basis fans Iwan yang bernaung pada komunitas bernama OI (Orang Indonesia).

Ketika melihat Iwan menjadi bintang iklan kopi, saya mendadak berpikir nakal: bagaimanakah rasa kopi yang mengandalkan perpaduan kopi robusta dan arabika itu? Apakah sebegitu tidak enaknya hingga harus menyewa Iwan sebagai bintang iklan?  Tidak cukupkah dua bintang iklan pendukung itu saja?Lagipula selama ini saya lebih mengenal Wings sebagai produsen sabun cuci. Wajar dong kalau saya meragukan rasa kopinya?Pun, karena bukan penggemar berat kopi, saya heran begitu mengetahui ada kopi mix seperti itu. Saya penasaran dengan keberadaan kopi campuran itu.

Rasa penasaran saya terlunaskan ketika bertemu dengan Zainul, kawan semasa SMA yang sudah 4 tahun ini bekerja sebagai bartender di berbagai kafe di Bali. Menurut penuturannya, kopi campuran robusta dan arabika itu disebut dengan kopi liberica. Pada dasarnya, liberica cenderung lebih netral karena rasa masam ala arabika jadi berkurang. Lebih cocok dengan lambung orang Indonesia. Mungkin itu yang dijadikan celah untuk memasarkan produknya.

Tapi pada dasarnya, perpaduan antara kopi robusta dan arabika bukanlah hal baru di dunia perkopian. Kalau anda melanglang ke daerah Brebes, sempatkanlah mencari kopi khasnya. Disebut dengan Kopi Nggliyeng, kopi ini juga merupakan perpaduan antara robusta dan arabika. Selain itu, pada beberapa forum jual beli kopi online, ada beberapa yang menawarkan kopi mix robusta dan arabika.

Dengan semua iklan yang begitu masif di televisi maupun media lain, entah kenapa sejauh ini, saya rasa, pemasaran Top Coffee tidak begitu lancar. Indikasinya jelas: susah saya temukan di Burjo. Bagi saya yang berdomisili di Yogya, burjo adalah indikator merk f&b (food and beverages) apa yang laris di pasaran. Merk yang tak tersedia di burjo bukanlah produk laris.

Merk kopi yang sering saya temukan adalah Nescafe (sudah pasti, karena merk ini adalah market leader pasar kopi di Indonesia), Torabika, Kapal Api, dan juga Good Day yang bermain dengan market kopi rasa. Merk baru yang menjulang di burjo malahan Luwak White Coffee, yang promosinya tidak semasif  Top Coffee. Dan yang jelas tak perlu membayar mahal untuk bintang iklan sekelas Iwan...
 
                                                                             ***

Entah apa yang salah dengan Top Coffee hingga --sepengamatan amatir saya-- belum bisa melakukan penetrasi berarti ke pasar kopi Indonesia. Bukan wewenang ilmiah saya untuk menganalisa apa yang salah dengan strategi marketing Top Coffee. Lagipula saya terus memikirkan Iwan.
 
Saya tak tahu apa yang membuat Iwan mau menjadi bintang iklan. Adagium "yang abadi hanyalah perubahan" memang benar adanya. Iwan sudah berubah. Dari penampilan, lirik lagu, hingga pendapatnya mengenai iklan komersil.

Yang paling menyedihkan tentu nasib lagu "Bongkar". Dari semula menjadi lagu yang sangat politis dan garang, berakhir menjadi slogan iklan kopi. Saya jadi ingat Jim Morrison yang marah besar ketika lagu terlaris mereka "Light My Fire" akan dijadikan lagu iklan sebuah mobil. Padahal lagu itu 'hanya' berkisah mengenai pengalaman memakai drugs. "Bongkar", pada dasarnya, memiliki 'derajat' yang lebih tinggi ketimbang lagu "Light My Fire". Tapi sejarah kelak akan membuktikan, "Bongkar" bernasib lebih buruk.

Yang juga membuat saya tercenung adalah kedua pengamen yang sedang menghitung receh hasil saweran penumpang bis yang lebih menghargai pengamen yang menyanyikan lagu Iwan ketimbang lagu tidak jelas dari band-band baru. Apakah pengamen ini minum Top Coffee? Apakah mereka tak gusar karena Iwan jadi bintang iklan? Apakah mereka tak kecewa karena "Bongkar" berakhir menjadi slogan iklan kopi?

Saya tak tahu karena tak sempat menanyakan pada mereka. Mereka lompat dari bis bahkan sebelum saya berniat untuk  menanyakan kegelisahan saya.

Hujan sudah reda. Tapi malam semakin dingin. Saya jadi merindukan minum kopi hangat. Lalu muncul kembali lagi pertanyaan: apakah kedua pengamen itu minum Top Coffee?

Entahlah...

6 komentar:

  1. Tulisan yang jreng jreng jreng. Pas sekali membacanya sambil sesekali nyruput kopi buatan Prit, yang bubuknya ndeplok dewe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pancen yo opo yo opo, sik enakan kopi gaweane bojo yo mas :) Monggo diseruput sik :)

      Hapus
  2. saya ingat sabtu lalu sehabis nonton film dokumenter bob marley, seorang senior berujar "untung marley mati muda ya, kalo ngga nasibnya kaya iwan fals sekarang"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti benar kata seorang filsuf Yunani, yang kelak dikutip Gie, "berbahagialah mereka yang mati muda" :)

      Hapus
  3. Hallo Nuran...
    Tulisan ini membuat saya agak kemringet,hahahah...

    Kita tidak bisa membuat sebuah kesimpulan yang sepihak tanpa kita mengetahui alasan yang jelas kenapa beliau menerima iklan komersil, mulai dari sepeda motor sampai kopi.

    Kalau saya ditanya, apakah saya kecewa dengan keadaan beliau yang seperti itu?

    InsyaAllah tidak, karena IsyaAllah seorang sosok Iwan Fals tentu punya pertimbangan khusus untuk menerima iklan komersil. Dan itu bukan untuk kepentingan beliau sendiri. Karena kebanyakan dana yang didapat itu untuk kepentingan sosial. Karena ada sesuatu yang seringkali tak pernah beliau ungkapkan di depan publik.

    Saya lebih kecewa ketika beliau tak lagi berkarya dan menutup diri, setelah Galang meninggal. Itu sangat menyakitkan, hidup tertutup dan tanpa karya. Entah berapa tahun lamanya kontemplasi yang beliau lakukan hingga akhirnya muncul lagi sampai saat ini.

    Ah, Nuran..
    terlalu panjang komentar ini...
    Anggap saja ini adalah sebuah protes dari penggemar Iwan Fals..

    Ayo Ngopi... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, makasih komentar panjangnya mbak, senang bisa berdiskusi lagi :)

      Seorang kawan pecinta U2 --terutama Bono-- pernah kecewa berat dengan U2. Gara-garanya Bono lebih sering mengurus kegiatan sosialnya dan melupakan dunia yang membesarkannya: musik. Kawan itu kecewa bukan karena Bono aktif dalam kegiatan sosial, melainkan karena terlalu sibuk dengan kegiatan sosial sehingga lupa berkarya.

      Mungkin itu sama saja dengan Iwan. Saya memang bukan fans berat Iwan, tapi saya begitu menghormatinya, sama seperti saya menghormati Slank. Tapi ketika Iwan --dan juga Slank-- sibuk membintangi iklan dan melupakan dunia musik, saat itulah kritik harus dilayangkan. Aku juga sama sekali tak keberatan Iwan membintangi iklan, tapi ya itu tadi, kekecewaan muncul karena Iwan lupa berkarya. Atau karya yang bagus. Seingatku, dia pernah bikin album baru setaun atau dua tahun lalu.

      Ya semoga saja dalam waktu dekat ini Iwan bisa mengeluarkan album baru lagi, album yang berisi musik-musik yang membuat ratusan ribu orang menggemarinya :)

      Markingop, mari kita ngopi Mbak :)

      Hapus