Minggu, 01 Juli 2012

Sate Klathak Pak Bari: Don't Need Montreal Steak Seasoning


Para ahli daging pasti tahu, ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membumbui daging untuk cara masak dibakar atau dipanggang. 

Cara yang pertama adalah rubs. Cara ini adalah membumbui daging dengan gabungan rempah dan bumbu lain yang dibalurkan di permukaan daging. Cara ini akan menghasilkan permukaan daging yang crust, alias garing, tapi lembut di dalam.

Cara kedua adalah marinades, atau marinasi. Teknik membumbui ini memakai cairan bercitarasa asam sebagai bahan dasarnya. Mulai dari perasan jeruk lemon, cuka, atau wine. Nah, cairan asam ini nanti akan dicampur dengan berbagai rempah untuk memperkaya rasa. Biasanya, kalau daging dipotong dalam ukuran yang kecil, daging akan direndam dalam cairan ini dalam waktu tertentu. Untuk daging ukuran besar, agar bumbu bisa meresap ke dalam, biasanya cairan ini akan disuntikkan.

Teknik terakhir adalah cara paling sederhana, yakni brines. Caranya cukup membalurkan garam ke daging. Biasanya daging akan didiamkan selama semalam. Teknik brines ini ternyata selain berguna untuk mengempukkan daging, berguna juga untuk mengawetkan tekstur moist alias kelembapan pada daging. Jadi ketika dibakar, daging masih tetap lembut di bagian dalam, dan garing di bagian luar.

Teknik yang dikenal di dunia kuliner barat itu ternyata juga dikenal di khazanah kuliner Indonesia. Itu terbukti dari masakan Indonesian barbeque, sate. Mari sejenak menembus malam menuju daerah Bantul, lalu berhenti di Pasar Pleret, Bantul.

Disana ada sate unik bernama sate klathak. Ada banyak penjual sate klathak di daerah Bantul. Tapi yang sering dijadikan jujugan adalah sate pak Bari. Sudah banyak hikayat yang menceritakan keunikan sate ini. Mulai dari tempat berjualannya yang berada di dalam pasar, para pelanggannya yang kebanyakan adalah artis, tusuk sate yang berasal dari jeruji sepeda, hingga cara pembumbuan yang unik.

Iya, Pak Bari, terlepas tahu istilah brines atau tidak, menerapkan pembumbuan sederhana pada daging kambing yang dijadikan sate. Daging hanya dilumuri garam saja, tidak dengan bumbu lain. Hasilnya? Rasa dagingnya keluar total karena peran bumbu yang sederhana dan tak menindas rasa alami daging. Ini seperti mengiyakan petuah chef Sandra Lee, you don't need Montreal steak seasoning on everything. Ya, terkadang hanya butuh bumbu sederhana untuk membuat masakan yang sedap.

Satu porsi sate pak Bari ini hanya berisi dua tusuk sate kambing, dengan potongan yang besar. Sate dibakar  dengan tingkat kematangan well done, alias matang sempurna. Tapi karena kesaktian brines itu tadi, daging bagian dalam masih tetap lembut. 



Malam itu saya dan seorang kerabat memesan tiga porsi untuk kami santap berdua. Sate ditemani dengan semangkuk gulai berwarna kuning kecoklatan, dengan rasa yang light dan gurih, tidak manis seperti makanan Jogja pada umumnya. Bagi yang rada kaget dengan rasa daging yang telanjang itu, jangan khawatir, disediakan kecap manis dan merica sebagai bumbu tambahan. Seporsi sate klathak ini dibanderol Rp.12.000, belum dengan nasi. 

Oh ya, pasangan yang paling pas dari sate klathak tentu teh gula batu. Bayangkan teh yang nasgitel, panas legit tur kentel. Hmmm. Seperti pasangan Jim Morrison dan Pamela Courson. Atau Sid Vicious dan Nancy? Ini kenapa saya jadi ngelantur? Sepertinya terpengaruh twitwar dengan si Fakhri tadi. 

Sial kau Jak! []

2 komentar:

  1. oke ilmu nulis masakannya dikeluarin ._.

    BalasHapus
  2. mas ini sebenernya koki atau mantan tukang sate...?? penjelasannya ini kok bisa detail dan sempurna gini.... :D

    BalasHapus