Jumat, 07 Oktober 2011

Banyak Jalan Menuju Roma (6)

Ternyata gelap itu berasal dari tidur. Iya, saya ketiduran. Sesekali bangun, lalu tidur lagi. Begitu seterusnya sampai Roma sudah dekat dan saya siap-siap turun. Perut saya keroncongan karena belum diisi apapun sejak kemarin malam. Rencananya saya akan mencari sarapan sebelum keliling kota Roma.

Beberapa menit kemudian, Roma nampak di depan mata. Saat itu sudah sore, tapi panas masih menyengat. Saya turun di stasiun Roma Termini. Stasiun yang beroperasi sejak tahun 1862 tampak begitu riuh. Sesuai saran dari Viera, saya mencari penitipan tas terlebih dahulu. Ketemu. Setelah menitipkan carrier yang berat minta ampun itu, saya mencari sarapan (atau makan siang?).

Tanpa banyak pikir, saya mencari tempat makan yang paling murah: Mc Donald. Oke, buat kalian yang berkoar anti kapitalisme. Saya tak pernah memikirkan apa-apa bahaya makanan kapitalis itu. Yang saya tahu adalah, McD adalah makanan yang paling murah disini. Dan sudah takdir alam kalau para pejalan dengan budjet cekak selalu berusaha mencari apa yang termurah. Jadi disinilah saya, mengantri, lalu berusaha ngobrol dengan pelayan yang tak bisa bahasa Inggris. Saya memesan paket murah untuk anak kecil, Happy Meal. Karena dengan 4 euro lebih sedikit, saya bisa dapat burger keju, kentang goreng, apel, juga mainan, hehehe. Itu paket lengkap bukan? Murah pula.

Ketika masih di Hamburg beberapa waktu lalu, saya banyak bertanya pada Viera mengenai cara paling asyik (dan tentu murah) untuk keliling Roma. Ia bilang mending keliling Roma menggunakan tour bus. Saya sebenarnya mencoret bis tur itu dari moda transportasi pilihan saya. Apalagi saya harus membayangkan kemana-kemana diantar dan ditentukan oleh pihak tour. Tapi setelah menimbang kondisi badan yang kurang mengenakkan untuk berjalan kaki, juga efisiensi waktu (karena saya hanya punya waktu kurang dari 8 jam di Roma), maka saya memutuskan untuk keliling Roma dengan bis tur.

Akhirnya dengan menenteng sebungkus Happy Meal, saya keluar stasiun Roma Termini. Di luar tak ada bedanya dengan stasiun Gambir atau Senen. Ramai. Banyak orang menawarkan suvenir, juga paket tur. Saya mencari bis tur yang sepertinya milik pemda Roma. Biaya untuk tur keliling Roma sekitar 20 euro.

Oh ya, saya mau cerita. Jadi saya punya waktu hanya kurang dari 8 jam di Roma. Karena saya sampai sekitar jam 3 sore, dan harus pergi dari Roma menuju Milan pada pukul 11 malam. Nanti saya akan beristirahat di kereta. Karena waktu yang singkat itu, maka saya memprioritaskan Colloseum sebagai tujuan utama. Walau sebenarnya saya ingin melihat stadion sepak bola Roma dan Lazio. Sebagai penggemar bola, rasanya saya merugi kalau tak bisa menuju kesana. Tapi ya sudahlah, anggap saja itu hutang yang harus dibayar suatu saat nanti.

Dengan naik bis double deck berwarna merah, saya pun memulai keliling Roma. Saya memilih duduk di atas supaya leluasa melihat Roma. Sesuai perkiraan saya, bis ini penuh dengan turis-turis yang berisik. Saya hanya sesekali memotret sembari melongok-longok.

Roma memang cantik dengan banyak arstitektur klasik. Banyak patung dengan ukiran yang membutuhkan presisi tinggi. Juga gedung-gedung megah yang desainnya sempat booming di Indonesia sebelum desain minimalis datang. Juga banyak pohon jeruk dengan buahnya yang menyembul riang diantara dedaunan yang berwarna kelam. Banyak pula vespa, baik yang lalu-lalang di jalan atau diparkir di pinggir jalan. Maklum, Italia dikenal sebagai produsen vespa terbesar di dunia. Saya jadi ingat Alfien, sobat saya saya begitu menggemari vespa.



 
 



15 menit dari Roma Termini, saya pun sampai di Colloseum. Saya turun dan bis pun melaju lagi. Nanti saya akan kembali ke stasiun dengan naik bis yang sama, di halte yang sama.

Colloseum memang megah seperti banyak kisah dan legenda yang tertutur. Bangunan ini adalah bangunan terbesar yang pernah dibangun di Roma. Gedung yang dibangun sejak tahun 72 Masehi ini terkenal sebagai arena pertarungan para gladiator. Kisah mengenai gladiator ini pernah difilmkan dengan judul yang sama, dibintangi oleh Russel Crowe sebagai Maximus, sang komandan tentara kaisar yang lantas beralih menjadi gladiator.


      

Ketika berdiri di depan bangunan tua ini, saya terdiam sejenak. Memejamkan mata, lalu menghirup nafas panjang. Saya berusaha merasakan getaran magis dari bangunan ini, yang lantas menarik saya ke dalam pusaran waktu. Saya merasa berdiri di tengah ribuan penonton yang berbondong antri masuk ke dalam Colloseum. Berduyun ingin menonton pertarungan hidup mati para gladiator. Saya pun merinding dibuatnya. Roma memang digdaya pada saat itu.

Tapi lantas saya tersenyum simpul ketika sadar kebesaran Roma tidak ada apa-apanya dibanding penduduk Galia rekaan Rene Gosciny dan Albert Uderzo. Asterix dan Obelix dengan mudahnya mengkocar-kacirkan para tentara Romawi yang selalu digambarkan dengan muka bloon dan bertubuh mungil.

Setelah berusaha merasakan kemagisan Colloseum, saya berkeliling lagi. Banyak wisatawan sore itu. Musim panas ini rupanya begitu dinikmati oleh para wisatawan yang sepertinya kurang asupan sinar matahari. Melimpahnya wisatawan ini dimanfaatkan oleh para pelaku pariwisata. Ada orang-orang yang berdandan seperti pasukan Romawi, lengkap dengan pedang dan zirahnya. Mereka menawarkan jasa berfoto bareng. Mereka laris manis. Juga ada pedagang suvenir dan kartu pos. Mereka juga menangguk banyak uang. Saya hanya membeli beberapa magnet kulkas dan kartu pos. Sekedar untuk kenang-kenangan.


 

Setelah berkeliling, saya duduk sebentar. Tiba-tiba kepala pusing, badan kembali meriang. Sialan. Maka setelah mengambil beberapa foto diri, maka saya pun kembali ke halte. Setelah bis datang, saya langsung melompat ke dalamnya. Ketika leyeh-leyeh itulah saya ketiduran lagi.

ROMA termini masih saja ramai. Senja sudah menguning di luar sana. Matahari mulai ingin rebah. Saya antri untuk bertanya mengenai tarif kereta dari Roma menuju Milan. Kereta yang akan saya naiki adalah kereta malam. Biasanya kereta malam mengharuskan penumpang untuk membayar tarif tambahan. Saya melonjak kaget ketika tahu tarif tambahannya sebesar 33 euro. Ini diluar perhitungan saya. Harga segitu sebenarnya cukup untuk makan 4 atau 5 hari. Atau bahkan bisa 7 hari.

Tapi saya tak jadi bayar. Maunya bayar di kereta, siapa tahu harga tiket di kereta ternyata lebih murah. Dasar mental  Indonesia, hehehe.

Jarum jam terus berdetak. Jam 11 pun tiba. Kereta datang. Saya berbicang dengan kondektur. Bla bla bla. Ternyata memang tak bisa menawar. Harga 33 euro itu harga mati. Yah mau gimana lagi. Mau menunggu besok pagi, sayang waktu yang terbuang. Akhirnya dengan berat hati saya naik kereta tidur itu. Setelah membayar, saya diantar ke kompartemen. Ada 4 buah kasur. Dua di kanan, dua di kiri. Kasur tingkat. Ada selimut dan bantal, serta tiap kasur dapat satu botol air soda.

Badan masih sedikit meriang. Tanpa banyak omong saya langsung menaruh tas, merebahkan badan, menarik selimut, lalu tidur. Milan masih jauh. Saya mau menyimpan tenaga buat besok, karena besok saya sudah menuju Paris. Yihaaa!

2 komentar:

  1. ojo ngajak alfin k roma, nuran...
    mengko koncomu kui mlongo ae ndelok ribuan vespa cantik yg berkeliaran...kwkkwww....

    BalasHapus
  2. engko dee gak gelem mulih yo ra? :D

    BalasHapus