Jumat, 27 Agustus 2010

Antara Ramadhan, Lukisan Kenangan, dan Opera Bulan


Salah satu hal yang paling menyenangkan dari bulan ramadhan adalah ngabuburit alias menghabiskan waktu sembari menunggu adzan maghrib. Dulu saya biasa menghabiskan waktu di sore hari dengan bermain gitar di depan rumah, sembari menonton anak-anak kecil yang ceria bermain petasan.

Selagi khusyuk menunggu matahari tenggelam, mendengarkan musik juga merupakan kegiatan yang menyenangkan. Dalam hemat saya, genre yang pas untuk menghabiskan sore sembari melihat langit yang mulai memerah adalah musik pop yang renyah. Mendengarkan musik pop renyah sembari menanti adzan rasanya sungguh menyenangkan, sepertinya lebih menyenangkan ketimbang memukuli dagu Aburizal Bakrie berkali-kali.

Ketika beberapa waktu lalu saya menulis tentang perkembangan scene musik di Surabaya, saya berkenalan dengan banyak band keren. Setelah Silampukau yang tak pernah berhenti memukau saya dengan lagu folk mereka, kali ini saya bertemu dengan Greats, sebuah band pop yang beranggotakan Kharis Junandharu (vokal, gitar akustik, klarinet), Andrianto Rinaldy (Gitar), Antonius N. P. (Bass), Gede Riski Pramana (Drum / Perkusi)

Sebenarnya ada saling keterikatan yang kuat antara Silampukau dan Greats . Kharis Junandharu adalah vokalis Greats yang kemudian membentuk Silampukau. Walaupun karakter musik mereka berbeda -- Greats cenderung lebih pop ketimbang Silampukau yang kental nuansa folk-nya -- tapi tak bisa dipungkiri bahwa karakter vokal Kharis berhasil memberikan warna yang khas di dua band itu.

Pemilihan nama Greats bukan dengan alasan klasik macam “kami ingin band kami menjadi band yang Greats.” Greats sendiri adalah pembacaan iseng para personilnya terhadap tangga nada 6-1-2-3-4-7-5 (la-do-re-mi-fa-si-sol). Lantas angka itu dijadikan huruf G-R-E-A-T-S, sebuah kegiatan yang sering dilakukan oleh banyak orang pada plat nomer kendaraan bermotor mereka.

Belakangan ini saya getol mendengarkan lagu-lagu yang ada di EP Greats. Menurut saya, hampir seluruh lagu di EP ini sangat bernyawa dan membuat semangat. Kecuali satu lagu, Krontjong Pencarian. Krontjong Pencarian, entah kenapa, saya merasa temponya terlalu lambat. Untuk ukuran sebuah lagu pop yang menyenangkan, sepertinya lagu ini terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Kalau dalam sepakbola, lagu ini ibarat tim Jerman yang lambat panas. Baru di tengah lagu, suara Kharis yang sebelumnya pelan dan seperti tak bersemangat, langsung menukik tinggi. Begitu juga permainan bass dan drum yang sebelumnya lemas, jadi bersemangat dan memainkan tempo yang lebih cepat. Baru setelah itu lagu ini asyik untuk di dengarkan sore-sore.

Walaupun saya kurang begitu suka Krontjong Pencarian, tapi saya suka semua lagu di album ini. Dalam setiap lagunya, Greats sangat pandai bermain kata dalam liriknya. Kalimah yang tertulis begitu puitis, romantis, namun nir-melankolis. Yang bikin saya menyukai band yang dipengaruhi oleh The Dubliners – band folk dari Irlandia-- ini adalah, dalam setiap lagu di album ini, hampir tak ada repetisi kalimat, bahkan untuk bagian reff.

Simak saja lagu berjudul Ode Tentang Kecantikan. Dalam lagu ini, Greats seperti meluapkan semua kesenangan dalam bermain kata-kata. Semua kata yang dipilih seperti ditulis dengan seksama.

Malam ini kusaksikan gemintang berguguran di kerling indah matamu.
Lalu aku, ku tersesat begitu menyedihkan tanpa arah tujuan.
O paras bulan badai, O lautan landai, sihir aku sesukamu
tapi katakan,
nama....mu

Malam ini telah terkabar, langit hangus terbakar di senyummu yang bersinar.
Juga aku, juga aku,
luluh lantak duniaku berceceran wajahku.
O paras mimpi purba, tepian surga cepatlah isi duniaku dan
katakan nama...mu


Di lagu ini pula, saya menjumpai kalimat-kalimat puitis klasik yang sekarang makin jarang digunakan dalam lirik lagu. Seperti "Gemintang berguguran di kerling indah matamu", atau "Langit hangus terbakar di senyummu yang bersinar". Saya menyukai permainan personifikasi yang dilakukan oleh Greats.

Kalimat puisi klasik itu juga saya temukan di lagu berjudul Lukisan Kenangan. Di lagu ini, banyak bertebaran kalimat-kalimat puitis yang biasa dipakai oleh para lelaki 80-an untuk merayu calon kekasihnya.

merdu hujan di senyummu
bintang-bintang di wajahmu
silir angin di lambaianmu

mengurungku selamanya

syahdu bulan di matamu
sunyi jurang di nafasmu
keajaiban di impianmu
mengurungku selamanya


Selainan permainan kata-kata, saya juga menyukai pemilihan chord yang tidak biasa. Pemilihan nada yang dilakukan oleh Greats itu ibarat anak kecil yang sedang mencari mainan, mencari-cari mainan apa yang cocok untuk dimainkan.

Oh ya, saya tak tahu ada apa antara Greats dan bulan. Tapi saya banyak menjumpai ada penyebutan kata bulan di setiap lagunya. Termasuk di lagu berjudul Opera Bulan. Selain dalam Opera Bulan, saya menemukan kata bulan di lagu Lukisan Kenangan dan Ode Tentang Kecantikan. Dalam Opera Bulan, lagu pop yang bernafaskan country ini, Greats seperti mengajak kita untuk selalu tersenyum. Entah oleh musiknya yang memang ceria, atau bisa juga karena liriknya yang seakan menghimbau kita agar tak bersedih dan menghargai kebahagiaan sederhana.

di bawah bulan malam ini di taman depan rumahmu yang sepi,
gadis
tidakkah bahagia ini terasa manis
lihatlah rumput, pohon, dan bunga yang hanyut anggun di satu warna
seperti warna kita di hati saat ini
halaman ini berganti rasa bulan tersenyum culas
memaksa kita
selami kenangan di sungai cahaya
tapi mengapa berkaca-kaca?
apa kenangan membuatmu duka, manis?

dalam bahagia di larang menangis

ku nyaris tak percaya
masih ada duka
dalam bahagia yang begini berbunga

Jangan lupa mendengarkan lagu jagoan dalam EP, Gubeng Rendezvous. Lagu ini juga masuk ke dalam album kompilasi Day to Embrace, sebuah album kompilasi dari band-band indiepop Indonesia. Di album ini juga ada single dari The Trees and the Wild, Dear Nancy, hingga Olive Tree. Kalau anda mendengar lagu ini, maka anda akan tahu kenapa Gubeng Rendezvous pantas dimasukkan di album Day to Embrace.

Mendengarkan lagu ini, saya seperti dituntun untuk duduk di bangku tunggu stasiun Gubeng yang berwarna hijau itu. Saya dengan hati membuncah ingin menjemput kekasih yang datang dari luar kota. Dengan latar belakang langit yang berwarna merah, saya pun dengan riang menemui kekasih yang riang melambai di jendela.

Suatu senja di stasiun kota di remang mentari yang tua
Ditengah deru kereta dia datang tiba-tiba.
tersenyum dia dibalik jendela melambai-lambai bercahaya
dan seluruh suara senja meredup seketika.

Sampai akhirnya sang kekasih harus pulang kembali ke kotanya. Saya bergandengan tangan dengannya menuju stasiun. Dan langit masih berhias semburat merah mentari yang masih saja tua. Di depan saya, Greats bermain di stage kecil yang terletak di belakang peron. Lantas terdengar suara peluit berbunyi. Dan kereta pun perlahan bergerak meninggalkan stasiun Gubeng. Iya, membawa kekasih saya pulang.

Perlahan,diam-diam, kereta bergerak, rindu pun muram...
kau kan menemukanku hancur di ujung lagu. Lenyap di rimba raya masa lalu
Hei, berhenti kereta! Berhenti disini saja. Bukan di Jogjakarta, Bandung, atau Jakarta
Kekasih menanti di Surabaya

Saya termenung mengawasi kereta yang perlahan pergi. Sedang Greats sudah selesai bermain dan mengemasi peralatannya. Lalu petugas stasiun pun meniup peluit dengan keras. Dan saya tersadar bahwa saya sekarang sedang ada di depan rumah. Bahwa sekarang sudah adzan maghrib dan sudah saatnya saya berbuka.

Ah, betapa indah ngabuburit bersama Greats…




1 komentar: