Rabu, 11 Agustus 2010

Selamat Jalan Sikin

Sikin adalah sahabat kakek dan nenek dari pihak ayah saya. Umurnya kalau tidak salah 4 atau 5 tahun diatas nenek saya, lebih tua 2 tahun daripada kakek saya. Orangnya botak plontos. Dia suka memakai celana bahan dan jaket parasit hitam dengan simbol angkatan udara Amerika. Dia suka kemana-mana dengan sepeda.Sepedanya berwarna kuning dengan sadel berwarna hitam. Sikin juga suka memamerkan jam tangannya yang bergambar Micky Mouse. Katanya sih, itu hadiah dari anak perempuannya. Sikin kalau ngomong kadang suka gak jelas. Kadang pula omongannya suka gak nyambung, tak sering. Sayangnya gara-gara omongan yang kadang ngelantur itu, orang menganggapnya gila.

Kakek saya selalu tidak suka kalau orang menganggap Sikin gila. Menurut kakek saya, Sikin tidak gila, ia hanya stress. Buktinya, Sikin kadang suka menemani kakek saya bernyanyi lagu-lagunya Nat King Cole. Ketika bernyanyi itu pula, mereka sering bercengkrama. Kalau orang gila, mana bisa diajak ngobrol?

Kalian mungkin tidak percaya. Sikin adalah mantan mahasiswa UGM. Pada jaman itu, orang Jember yang bisa masuk UGM bisa dihitung pakai jari. Sayang, Sikin tidak berhasil lulus. Ia memilih untuk keluar karena satu alasan. Satu alasan itu pula yang menjadi alasan kenapa Sikin menjadi stress dan menjadi orang yang sedikit aneh. Dan karena perubahan mendadak itulah, orang-orang disekitarnya menganggap dia gila. Padahal tidak.

Setelah stress, Sikin luntang lantung. Dia punya satu rumah besar di bilangan Gajah Mada. Di gang sebelah Apotik Bima. Karena stress, Sikin ditipu oleh saudara sepupunya. Rumahnya dibalik nama, dan ditempati oleh sang saudara bejat itu. Sikin hanya diberi satu ruangan kecil di sebelah mantan rumahnya itu. Saya pernah masuk ke "rumah" itu. "Rumah" itu hanya berupa satu buah kamar berukuran 5 x 3. Didalamnya ada kasur, lemari baju, lemari es malfungsi yang dijadikan tempat penyimpanan buku, rak sepatu tua, kaca, berbagai majalah dan buku bekas, hingga sepeda tercintanya. Semua dijadikan satu di ruangan sempit itu. Di dindingnya tertempel beberapa gambar perempuan telanjang. Dia sepertinya benar-benar contoh ideal seorang bohemian :)

Sikin sering datang ke rumah saya. Ia selalu pergi dengan sepeda tuanya itu. Jarak antara rumahnya di pusat kota dengan rumah saya yang ada di pinggir kota sekitar 10 km. Jadi pulang pergi ia bersepeda sejauh 20 km. Sikin sukanya mencari kakek dan nenek saya. Sekedar bercengkrama. Mengenang masa lalu sepertinya. Saya tak akan pernah lupa betapa bahagianya wajah kakek dan nenek saya ketika ngobrol dengan Sikin. Semoga kalian berdua bahagia disana :) Saya juga tak lupa wajah bahagia Sikin ketika ia mengobrol dengan orang yang tidak menganggapnya sebagai orang gila.

Suatu hari, ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP, Sikin datang kerumah saya. Ia membawa satu bungkusan besar di punggungnya. Ternyata ketika dibuka, isinya ada 3 benda. 1 buah gitar berwarna hitam pekat. 1 buah biola berwarna coklat lengkap dengan penggeseknya. Dan 1 buah keris lengkap dengan sarungnya.

3 buah benda itu adalah buatannya sendiri. Ia baru saja selesai membuatnya dan langsung dibawa kerumah saya. Yap, dia menjual 3 benda hand made itu. Ayah saya pun membelinya. Ibu saya yang geleng-geleng kepala karena Ayah saya dianggap menghamburkan uang. Saya senang bukan kepalang karena mendapat gitar pertama saya. Walaupun senarnya tidak stem.

Sebelum Slash dan Izzy Stradlin menginspirasi saya untuk menjadi gitaris, saya terlebih dahulu mengagumi Sikin ketika ia memainkan gitarnya. Saya tak tahu lagu apa yang dimainkan kala itu, tapi Sikin menarikan jemarinya dengan gemulai diatas fret kasar itu. Ia bernyanyi dengan ceria walaupun tak hafal liriknya. Gitar pertama saya itu akhirnya wafat di usianya yang ke 3 bulan. Ketika stangnya terhantam pintu kamar, patahlah ia. Gitar itu ternyata rapuh bukan main.

Biola dan keris? Di keluarga saya tak ada yang bisa bermain biola, dan tak ada yang menjadi dukun. Jadi biola (yang saya yakin biola itu tidak stem dan sama rapuhnya dengan gitar itu) dan keris tidak pernah digunakan.

Ketika kakek dan nenek saya dipanggil oleh yang mahakuasa, Sikin sedih. Nenek saya meninggal terlebih dahulu. Saya ingat Sikin menginap dirumah saya, mengaji sampai dini hari disamping saya. Paginya ketika nenek saya dikubur, Sikin ikut mengangkat keranda jenazah nenek saya. Begitupula ketika kakek saya pergi menemui Ray Charles di alam baka. Sikin juga mengaji laaammmaaaa, dan ikut menggotong keranda jenazah.

Setelah meninggalnya kakek saya, Sikin jarang kerumah. Hanya sesekali saja. Lalu pulangnya minta uang ke ayah saya. "Untuk makan sama beli rokok, hehehe" katanya sambil tertawa. Kalau ia datang, pasti dia membawa dua plastik kembang kuburan. Ia selalu membersihkan kuburan kakek dan nenek saya --komplek pemakamannya hanya berjarak sekitar 1 km dari rumah saya. Setelah membersihkan kuburan, ia menaburkan bunga itu. Satu plastik untuk kuburan kakek saya, satu lagi untuk kuburan nenek saya. Setelah berdoa, ia biasanya pulang kerumahnya di tengah kota.

***

Tadi sore, salah satu adik ayah saya datang kerumah. Om Ammar namanya. Ia datang untuk silaturahmi sebelum puasa. Ia membawa serta istri dan anaknya. Kami pun ngobrol ngalor ngidul, mulai rencana perjalanan untuk pergi ke Lombok setelah lebaran, hingga ngobrol soal musik. Entah bagaimana, tiba-tiba Om saya mengatakan sesuatu yang membuat saya terkejut.

"Kamu tahu gak Sikin meninggal?" tanya Om saya.

Dhuar! Saya kaget bukan kepalang. Akhirnya Om Ammar menceritakan tentang Sikin yang 3 bulan sebelum meninggal, dia tertabrak motor. Jadi dia tidak meninggal karena tertabrak motor. Sikin meninggal memang karena usianya yang sudah sepuh.

Saking kagetnya, saya tak sempat bertanya gimana meninggalnya, apa ia meninggal dengan senyum? Meninggal dimana? Lalu bagaimana pemakamannya? Terus, barang-barang Sikin bagaimana? Koleksi kaset tape, majalah dan buku bekas, serta puluhan gambar perempuan telanjangnya bagaimana? Diwariskan ke siapa? Lalu bagaimana dengan sepeda kuningnya? Saya lupa bertanya itu semua.Otak saya seketika blank.

Entah saya harus ngomong apa. Yang pasti, semoga berbahagia di alam sana Kakek Sikin. Pasti kamu senang bertemu dengan kakek dan nenek saya. Sampaikan salam dari cucu lelaki mereka ini.

Selamat beristirahat Sikin. So long and goodbye...



Jember, 11 Agustus 2010
Sembari menunggu sahur perdana




*Nanti saya akan mencari foto Sikin untuk saya unggah di tulisan ini. Sementara cukup tulisannya saja*





Tidak ada komentar:

Posting Komentar