Kamis, 29 Januari 2015

Rumah di Jalan Kapuas



Ingatan saya tentang rumah ini lamat-lamat.

Diseruduk bebek. Ayam dengan leher terpotong, menggelepar. Pohon kedondong berukuran raksasa, dengan ratusan buah yang menjuntai. Sebuah mobil tua yang ditumbuhi semak belukar, teronggok di pojokan. Sendirian. Kesepian. Lalu dari dapur, harum masakan selalu menguar. Meski tak selalu hangat, masakan itu selalu enak.

Saya nyaris tak bisa menahan rententan kenangan saat melihat dua buah rumah di sepetak tanah, di Jalan Kapuas, Lumajang. Itu rumah kakek-nenek dari pihak ayah, yang sudah ditinggalkan belasan tahun lalu.

Rumah ini bukan sekedar rumah. Ia adalah tapak kenangan yang panjang. Sudah ada sejak ayah baru lahir, hingga akhirnya harus ditinggalkan karena Mbah Co tertipu oleh partner bisnis.

Ada dua rumah di lahan ini. Satu rumah panjang yang digunakan sebagai rumah induk, satu lagi rumah yang selalu dikontrakkan. 

Saya lupa ada berapa kamar di rumah induk. Sebentar, coba saya ingat-ingat dulu. Kalau tak salah empat kamar, dengan tiga tempat tidur tambahan: di samping ruang tamu, dekat perpustakaan, dan di depan televisi.

Ruangan yang paling menyenangkan waktu saya masih kecil tentu adalah perpustakaan. Mbah Co mantan guru Bahasa Inggris. Koleksi bukunya banyak. Mulai novel, hingga pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anaknya suka membaca apa saja. Mulai buku sejarah, roman, hingga komik.


Mbah Co-Ayah-Mbah Ti-Om Asang-Om Momon-Om Subur


Saya coba mengingat apa saja komik yang saya baca dengan mata berbinar. Ini komik lama. Bentuknya persegi panjang. Mbah Co dengan rajin selalu membundel kumpulan komik ini agar tak tercecer. Yang paling melekat di ingatan adalah komik Barbarossa, Si Janggut Merah terbitan Indira.

Setelahnya, saya ingat betul komik Storm dan Trigan. Dari dua komik yang digambar oleh seniman yang sama, Storm yang paling lebih berkesan. Grafisnya yang menampilkan mahluk luar angkasa yang kejam dan bermuka buruk, kota futuristik, gadis seksi berpakaian minim, hingga tokoh jagoan berbadan kekar dan liat, begitu melekat di benak saya waktu kecil.

Edisi Storm yang paling saya ingat adalah edisi dengan sampul muka Storm yang menggendong teman perempuannya, dengan mata dibalut kain. Apa sebab? Soalnya ia berjalan melewati gurun, yang saking panasnya, bisa membuat mata buta. Wuih, terdengar sangat apokaliptik dan keren sekali ya?

Saya suka membaca komik-komik itu di beranda depan rumah. Asri. Banyak pohon. Ada bougenvile dan beberapa tanaman rambat lain. Lalu ada papan dart yang dijadikan sarana terapi bagi Mbah Co yang terkena stroke.

Di kamar mandi, Mbah Co memelihara sepasang ikan mas. Katanya buat makan jentik nyamuk. Mbah Ti pandai memasak. Menu andalannya adalah ayam bakar. Bumbunya resep turun temurun. Diwariskan ke menantunya, mamak saya.

Sampai sekarang, sepertinya belum ada bumbu ayam bakar seenak warisan Mbah Ti ini.

Tempat kesukaan Mbah Ti adalah di bawah pohon anggur, di depan pintu samping rumah induk. Biasanya ia duduk di sana sembari membakar ayam.

Mbah Co dan Mbah Ti tidak tinggal berdua saja. Ada adik Mbah Ti yang lantas jadi salah satu orang yang paling berkesan di hidup saya: Mbah Dam.

***


Yang pegang gitar itu om Momon. Di depannya, melambaikan tangan, itu Om Ammar.
Di belakang yang sedang makan itu Om Subur.
Di depannya, dia lah Mbah Adam. 

Namanya Adam. Saya tak pernah menanyakan nama lengkapnya. Namun beberapa orang keponakannya memanggilnya Johnny Adam.

Sewaktu kecil, saya menganggapnya sebagai orang tua yang aneh. Ia tak ceriwis. Lebih suka bicara seperlunya. Ia kerap mendesis, "aaahhhh", dengan mimik muka yang lucu. Namun kalau sedang bercerita, ia macam Gabriel Garcia Marquez yang mendongengkan dongeng-dongeng dari antah berantah.

Ajaib. Mencengangkan. Nyaris sukar dipercaya. Beberapa kisah daur ulang yang ia ceritakan pun bertambah tingkat keajaibannya. Saya ceritakan kapan-kapan saja.

Mbah Dam punya pekerjaan yang menuntut komitmen, daya tahan tinggi, dan kecepatan tangan yang tak terperi: tukang jagal ayam. Namanya sudah masyhur seantero Lumajang. Wajar, Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama puluhan tahun. Pisau jagal sudah seperti tangan kanannya sendiri. 

Saya selalu penasaran melihat caranya menyembelih ayam. Pernah saya melihatnya sekali. Ia mengambil satu ayam dengan santai. Lalu menoleh ke saya yang mengintip dari belakang.

"Jangan dekat-dekat, nanti kamu kecipratan darah ayam," ujarnya setiap saya mendekat padanya karena penasaran caranya menggorok leher ayam.

Beberapa detik kemudian, Mbah Dam membetot leher ayam dengan dingin, lalu sreetttt. Dengan kecepatan nyaris tak terkejar oleh mata, pisau melayang. Tahu-tahu ayam naas tadi sudah menggelepar dengan leher tersayat. Darah muncrat dengan liar.

Gore!

Tapi belakangan saya tahu kalau ia adalah adik kandung Mbah Ti. Sejak saat itu, saya tak lagi memandangnya dengan aneh. Ia sedarah dengan saya. Apalagi Mbah Dam punya beberapa sifat dan perilaku yang saya sukai.

Yang pertama, ia tak pernah menikah sampai akhir hayat. Ini sedikit aneh, tapi sekaligus keren, bagi saya yang mengenalnya sedari kecil. Ia tahan kesepian. Misalkan butuh pelampiasan biologis, ia masih punya tangan kanan yang bisa bergerak secepat peluru itu. Sayang, saya dulu belum punya keinginan untuk berdiskusi soal esek-esek dengannya. Pasti seru kalau itu terjadi.

Menjelang akhir hidupnya, ia --yang tinggal di rumah ayah dan mamak-- meminta menikah. Perempuan yang ingin ia nikahi adalah Yus, asisten rumah tangga di rumah saya. Yus janda beranak satu. Mamak tak keberatan dengan ide Mbah Adam. Tapi Yus sepertinya agak bingung menyikapinya. Akhirnya, mereka tak jadi menikah.

Kedua, Mbah Adam jago sekali main dam-daman, catur Jawa. Saya tak pernah menang melawannya. Bahkan saya yakin, kalau dam-daman dijadikan cabang olahraga seperti catur, hanya beberapa orang saja yang bisa menandinginya.

Gerakannya taktis. Lincah. Ia seperti bisa menerka ke mana saya akan menggerakkan bidak. Kala menyerang, wah seperti air bah. Nyaris tak bisa dibendung.

"Mbah Dam kok jago maen dam-daman? Ojo-ojo jenenge Mbah Dam iki polae jago maen dam-daman?"

Tapi ia tak menjawab. Hanya menggumam pelan. "Hmmmmm."

Dengan ketenangan setingkat pertapa dan perhitungan matang laiknya Gary Kasparov, ia mengambil bidaknya. Lalu, sret, sret, sret, sret, empat bidak saya dimakannya dalam satu gerakan.

Bajingan.

"Aaahhhhh," ia mengeluarkan desahan yang menggelikan melihat saya bermuka heran melihat biduk-biduk saya disantap dengan mudah. 

Ketiga, Mbah Dam suka sekali membagi permen. Cara memberinya unik: dilempar ke pangkuan. Ia selalu punya sekantong persediaan permen beraneka ragam. Mulai rasa susu, strawberry, hingga yang pedas. Karena itu, Mbah Dam selalu jadi favorit para keponakan dan cucunya. Ia juga punya sifat sama dengan Mbah Ti: tak pernah marah. Senakal apapun keponakan dan cucunya.


Mbah Adam dan Ryo, Ryan, Edo, cucu Mbah Adam dari Tante Arie

Keempat, Mbah Dam jago meramal angka toto gelap, alias togel. Saya tak sedang membual. Entah dari mana ia mendapatkan bakatnya itu. Kalau sedang menghitung angka togel, ia serupa dengan Raymond, pria autis yang bisa menghitung kartu dalam film Rain Man.

Ia pernah menghitungkan angka togel untuk beberapa handai taulan. Dan dengan bangga, mereka bilang menang. Hasilnya dibelikan televisi maupun perabotan rumah tangga lain. Mbah Dam dapat persenan lumayan.

Kemahirannya ini ditaklimatkan pada keponakan tersayangnya, sekaligus anak bungsu Mbah Co: Om Ammar. Ini sekaligus ironis, karena bakat yang menghidupi ini hanya bertahan pada Om Ammar saja, tidak kepada keponakan atau cucunya yang lain.

Suatu malam, saat sedang menginap di kamar Om Ammar, yang dipenuhi dengan poster Skid Row dan The Outsider, saya menyaksikan Om Ammar dengan khusyuk menjejer deretan angka. Lalu ia mencorat-coretnya. Saya tak paham ia sedang apa.

"Opo iku om?"

"Koen wis tahu ndelok film The Outsider? Wah iku apik, bla bla bla."

Om Ammar selalu mengalihkan pembicaraan setiap saya bertanya apa yang ia lakukan. Di kasur sebelah, Mbah Dam bertelanjang dada, mengipaskan lembaran karton yang menguarkan aroma asap hasil panggangan ayam. Ia tampak seperti guru yang sedang menanti muridnya belajar.

Kudus sekali.

***




Di samping rumah induk, ada satu rumah yang khusus disewakan. Saya tak ingat siapa saja pengontraknya. Saya beberapa kali difoto di sana. Bareng ayah, lain kali digendong Mbah Co.

Beranda depan rumah kontrakan ini adalah tempat saya mengadu kemampuan dam-daman melawan GM Adam. Dan saya selalu kalah, telak.

"Di sana itu Ikranegara pernah numpang tidur," kata Om Asang, anak kedua Mbah Co.

Dulu sewaktu SMP saya tak tahu siapa itu Ikranegara. Belakangan saya tahu beliau adalah pemain teater kelas Paus, pun aktor terkenal. Saya belum pernah bertemu dengannya. Kalau kapan-kapan kesempatan itu datang, saya ingin bertanya benarkah ia pernah menumpang di rumah Mbah Co.

Rumah yang disewakan ini pula yang masih tegak berdiri, masih tampak terawat. Bersih. Gedung di sampingnya kontras: sudah tinggal puing.

***

Mbah Co punya kebiasaan buruk: terlalu gampang percaya dengan orang.

Levelnya sudah tak tertolong. Bayangkan, ia dengan mudah meminjamkan sertifikat rumah ke seorang sahabatnya. Iya, sertifikat rumah Lumajang itu. Si sahabat brengsek ini lantas menjaminkan sertifikat tanah dan rumah ini ke bank untuk pinjaman. Seperti bisa ditebak, ia tak pernah membayar cicilannya.

Rumah Mbah Co akhirnya harus dilelang karena Mbah Co tak bisa membayar hutang bank. Sebelum dilelang, bank menawarkan terlebih dulu pada Mbah Co untuk menebus rumah itu.

"Waktu itu tahun 1987, rumah dan tanah itu harganya 6 juta. Itu banyak banget. Mamak dan ayah baru nikah, tak punya uang. Ya mana bisa nebus," kata Mamak suatu ketika.

Seorang pengusaha akhirnya membeli tanah itu. Ia berjanji akan memberikan pesangon sebesar Rp 10 juta sewaktu Mbah Co meninggalkan rumah. Tapi hingga pindah, dan meninggal, pesangon itu tak pernah datang.

Mbah Co dan Mbah Ti terusir dari rumah yang ditinggalinya sejak tahun 50-an.

Selanjutnya Mbah Co dan Mbah Ti dikontrakan rumah di Jember. Mbah Adam tak mau ikut. Ia masih berkarir sebagai tukang jagal ayam di beberapa kenalannya. Sesekali ia datang ke Jember menengok Mbah Co dan Mbah Ti.

Saya lupa tahun berapa, akhirnya Mbah Co dan Mbah Ti mau pindah ke rumah ayah dan mamak. Akhirnya, Mbah Adam pun mau menyusul tinggal di rumah. Rumah kami semakin ramai dan menyenangkan tiap harinya.

Mengingat masa itu, saya sedikit menyesal. Kala itu, saya sedang remaja yang sedang gemar bermain di luar rumah. Saya merasa kurang menghabiskan waktu dengan Mbah Co, Mbah Ti, atau Mbah Dam.

Saya merasa hubungan kami sudah tak seakrab sewaktu saya masih kecil dan takjub dengan segala cerita ajaib Mbah Co atau Mbah Adam, dan nyaman dengan kasih sayang Mbah Ti.

Tapi di satu sisi, saya merasa beruntung karena tiadanya jarak antara saya dan kakek nenek itu. Kami bertemu setiap hari, makan masakan yang sama tiap hari, kadang kala berseteru gara-gara hal kecil tiap hari.

Satu hal yang paling saya ingat dari masa tinggal Mbah Co, Mbah Ti, dan Mbah Adam di rumah ayah dan mamak, adalah betapa besar keinginan belajar Mbah Co. Ia masih rajin membaca atau mengisi teka-teki silang di harian Kompas atau Jawa Pos.

Senjatanya adalah buku-buku tebal. Mulai Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris terbitan Oxford, hingga Ensiklopedia lengkap.

Ia berkali-kali menang. Hadiahnya mulai Rp 150 ribu hingga yang lumayan besar di edisi ulang tahun. Kalau menang, saya dikasih persenan. Ini karena saya yang rutin mengirimkan kartu pos.

Kebiasaan Mbah Co untuk mengisi teka teki silang juga menurun pada ayah. Saat ayah juga terkena stroke, ia semakin rajin membuka kamus atau ensiklopedi untuk mendapat jawaban. Bedanya dengan Mbah Co, ayah selalu meminta tolong saya atau Orin untuk menuliskan jawaban di selembar kartu pos.

Mbah Co juga semakin rajin belajar bahasa. Suatu hari datang seorang bapak, dengan dandanan rapi, mencari Mbah Co. Mamak sempat pikir ia adalah sales. Ternyata bapak itu adalah guru Bahasa Arab yang dihubungi Mbah Co.

Hari itu, saya melihat Mbah Co belajar Bahasa Arab dengan tekun. Sang guru menulis di sabak, Mbah Co menyalin di buku. Tangan kanannya menulis dengan perlahan, sesekali berkedut. Stroke yang ia derita tak pernah benar-benar sembuh.

***


Atas, Kiri-kanan: Om Momon-Ayah-Om Subur-Om Asang
Bawah: Om Ammar
Di depan kandang ayam di belakang rumah.

Beberapa hari lalu saya dan Rani pulang ke Lumajang. Pakde saya meninggal dunia. Beliau sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Bahkan menjadi wali saat saya menikah tahun lalu.

Saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Mbah Co dan Mbah Ti. Jalan Kapuas nyaris tak ada yang berubah. Gapura yang kokoh. Cat yang sudah mengelupas. Plang Jl. Kapuas sudah jadi plang modern yang berwarna hijau. Dulu warnanya kuning, dengan warna huruf hitam.

Saya tercekat melihat lahan kosong yang terhampar itu. Ada pagar seng yang menutupi bagian depan lahan ini. Rumah induk sudah tinggal puing, dengan lumut memamah tembok. Beranda depan tempat saya membaca buku dengan takzim juga sudah jadi sarang nyamuk.




Di sebelahnya, rumah kontrakan masih berdiri dengan gagah. Bersih. Tak ada yang berubah. Tidak pula atap. Tak pula tiang. Atau pun lantai tempat saya dengan petentang petenteng mengatur batu sebagai pion catur, lalu tersungkur kalah oleh Mbah Adam yang tampak nggelendam-nggelendem tapi jago sekali.

Bedanya dengan dulu: sekarang tak ada lagi tanda kehidupan di rumah ini.

Saya merentangkan leher. Melongok ke bagian belakang rumah. Pohon kedondong raksasa yang dipasangi tali dan kayu untuk ayunan itu sepertinya masih berdiri.

Tempat Mbah Adam menjagal ayam pasti sudah dirambati perdu dan belukar. Di dekat sana pula, akhirnya saya terciprat darah ayam, dan muncul benjolan berwarna putih. Di sana pula saya pernah nangis karena diseruduk bebek peliharaan Mbah Co, lalu ditenangkan oleh Mbah Ti.

Aduh, perempuan anggun itu...

Saya mendegut ludah. Ini kedatangan saya pertama kali ke rumah ini setelah belasan tahun Mbah Co dan Mbah Ti terusir. Pantas Om Momon, anak ketiga Mbah Co dan Mbah Ti, tak pernah mau melihat rumah ini lagi, selamanya. Pahitnya bakal mencekik.

Saya meminta tolong Rani memotretkan rumah dan lahan yang dulu pernah dihuni oleh sepasang suami istri, lima orang anak lelaki badung, dan satu lelaki tua sonder istri yang lihai menghitung angka togel dan mengatur bidak catur Jawa.

"Buat apa?"

"Aku mau nulis tentang rumah ini." []

3 komentar:

  1. Selalu suka dengan tulisan tentang keluarga. Sepertinya masa kecil mas Nuran 'kaya' sekali. Nice writing, Mas. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, makasih Mbak Yenni :) Masa kecil saya lumayan menyenangkan, makanya banyak yang bisa saya ingat. Hehehe.

      Hapus