Kamis, 22 Januari 2015

Cerita dari Carita

Ceritanya awal pekan ini, kantor saya mengadakan outing ke Pantai Carita. Iya, awal pekan. Bukan akhir pekan seperti lazimnya orang berwisata. Orang-orang kantor kami memang semacam alien, jadinya suka menghindari keramaian. Kami berangkat hari Minggu malam, dan menginap di Carita hingga Selasa. Di wisma tempat kami menginap, suasana sepi. Banyak pohon kelapa menjulang tinggi. Pohon-pohon besar yang usianya saya taksir puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, juga berdiri dengan gagah. 

Suasana makin terasa sepi karena ini hari kerja. Sama sekali tak ada tamu lain selain dari kantor saya. Sayang, musim hujan tak kenal orang plesiran. Hari Senin pagi, dimana kami seharusnya bermain tarik tambang, hujan turun dengan deras. Akhirnya kami lebih memilih meringkuk dalam selimut. Hari Selasa, kami merencanakan main futsal siang hari sebelum pulang. Ndilalah hujan juga. 

Laut juga sedang tidak bersahabat. Ombaknya besar. Para penjaja jasa banana boat tak tampak sama sekali. Padahal beberapa dari kami merencanakan naik kapal untuk melihat Krakatau, gunung legendaris yang pernah meletus pada 1883 dan menewaskan lebih dari 36 ribu orang. Tapi ya terpaksa batal karena cuaca sedang tak bersahabat.

Ah, sebenarnya bukan suasana outing dan wisma tinggal kami yang akan saya ceritakan. Melainkan... musik.

Sewaktu kami berangkat, suasanya syahdu. Malam hari, Jakarta memang tampak indah. Semisal macet tak dihitung, lampu kota Jakarta memang tampak romantis. Saya sudah merapatkan jaket dan bersiap untuk tidur.

Hingga... 

"Musik dong! Karaoke!"

Saya tak tahu siapa yang teriak dari bangku belakang. Tapi teriakan itu membuat supir senang. Ia seakan mendapat persetujuan untuk membongkar tumpukan CD dan langsung memasang CD karaoke. Saya menduga ini bakal jadi Dangdut Koplo Nite, atau Dangdut Erotic Nite. Benar saja. Ia memasang CD karaoke Cita Citata, dengan volume hampir maksimal.

Dan dari perempuan semok itu lah saya tahu istilah gegana: gelisah, galau, merana. Kampret bener istilahnya. Semula saya pikir Cita akan menemani hingga kami tiba di Carita. Saya sih lumayan menikmati lagu-lagunya. Tak buruk-buruk amat. Pun, ia cukup enak dilihat.

Namun saya salah. Supir rupanya cepat bosan. Setelah beberapa kali lagu "Sakitnya tuh di Sini" mengalun, ia menggantinya dengan CD karaoke lain. Sialnya, itu Betharia Fukking Sonatha! Mendadak Cita tampak seperti persilangan Aretha Franklin dan Debbie Harry jika dibandingkan dengan Betharia.

Fakk! Saya pikir semua CD Betharia ikut dimusnahkan kala Harmoko melarang musik cengeng di zaman Orde Baru. Ternyata sisa-sisa artefak zaman kegelapan itu masih ada dan bersiap menguasai jagat bis malam lagi. Ini berbahaya, bung!

Dan melantunlah lagu-lagu Betharia, yang bintang video klipnya adalah Willy Dozan, suaminya sendiri. Sekarang sih mereka sudah cerai karena konon Willy melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Cuk, dadine malah nggosip.

Tapi ada yang patut diapresiasi dari Betharia. Ia luar biasa visioner. Lagu Betharia nuansanya memang doom, apokaliptik, nan depresif. Sudah ada jauh sebelum emo eksis. Sepertinya ia juga sadar kalau di masa depan, akan semakin banyak orang yang merasa gegana. Nubuatnya benar. Buktinya lagu-lagunya masih eksis hingga sekarang.

Kedahsyatannya hanya bisa ditandingi oleh Nafa Urbach belaka. Belakangan, seorang teman merekomendasikan nama Nia Daniati untuk masuk dalam Trio Penghancur Gendang Telinga ini. Saya sih belum pernah dengar lagunya. Tapi melihat ia pernah menghabiskan belasan tahun masa hidupnya menjadi istri Farhat Abbas, saya pikir ia cukup layak.

Untung perjalanan ke Carita cuma 3,5 jam saja. Jadi siksaan Betharia tak terlampau lama.

Pulangnya, saya dihadapkan dalam kondisi yang sama. Cita Citata kembali hadir dan goyang di monitor televisi di samping pak supir. 

Namun entah kenapa, sang kenek tiba-tiba menghentikan Cita, lalu memasukkan sebuah CD lain. Dari awalannya, saya seperti tahu ini video apa. Lalu muncul logo Geffen Records, saya jadi semakin yakin ini video apa.

Guns N Roses, Welcome to the Videos. Saya bersorak girang. Langsung membangunkan Mico yang sedang tidur-tidur ayam. Ia memang suka Guns N Roses. Sering bernyanyi dengan gaya Axl Rose.

Aduh kumpulan video ini. CD dengan logo Guns N Roses di sampul depannya ini merupakan pintu gerbang saya mengenal kesakralan Guns N Roses. Saya masih berseragam putih biru waktu itu. Masih ingusan. Tapi setelah mendengar dan melihat video Guns N Roses, saya yakin, hidup saya tak akan pernah sama lagi. Ya ya ya, klise memang. 

CD itu saya dapatkan dari kak Rani, sepupu saya. Mungkin ia sudah lupa pernah memberi saya CD itu. Tapi saya tak lupa. Setiap hari saya memutarnya sepulang sekolah. Terus diulang-ulang hingga saya hafal luar kepala urutan lagunya.

Pertama, "Welcome to the Jungle". Kedua, "Sweet Child O' Mine", ketiga itu "Paradise City". Lalu disusul dengan "Patience", "Don't Cry", "Live and Let Die", "November Rain", bla bla bla, hingga akhirnya ditutup dengan "Since I Don't Have You".

Saya cetak lirik lagu mereka, yang saya cari sewaktu  berselancar di warung internet. Berselingan dengan mencari gambar artis-artis telanjang --yang belakangan saya tahu itu editan. Saya nyanyikan hingga saya hafal benar setiap paragraf, coda, reff.

Dan kemarin saat melihat lagi video Guns N Roses, saya jadi yakin. Ada beberapa band yang akan selalu dicintai, dan membuat kita berhenti di umur belasan tahun setiap mendengar mereka.

Guns N Roses adalah salah satunya. []

1 komentar:

  1. Guns n' Roses mungkin satu2nya musik di playlist & hidup saya yang ngalahin2 bang Rhoma , perpaduan yg aneh memang

    dan seriusan bener2 belum pernah denger Gelas2 Kaca-nya mba Nia Daniaty? walah anda kurang gaul bung haha

    BalasHapus