Rabu, 14 Mei 2014

Awal Baru Bagi Sebuah Cinta yang Biasa

Lelaki berkacamata itu menaruh sejenak ransel berat yang membebat punggungnya sedari tadi. Di depan, ombak lautan berdebur menampar-nampar dermaga kayu.

"Sik, nulis kartu pos gawe Winda sik," ujar Ayos, lelaki berkacamata yang sudah membagi sekitar 10 hari waktunya bersama saya.

Kami sedang berada di Pulau Moyo, pulau kecil yang terletak di atas pulau Sumbawa. Kami sudah tinggal di pulau ini semenjak tiga hari lalu. Tinggal di pulau ini memang semacam tetirah yang menyenangkan, setelah kami dipanggang debu jalanan antara Lombok-Sumbawa dan tak sempat mandi. Kebo, motor Astrea Grand 96 yang kami tunggangi, sudah dititipkan di kantor polisi pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat.

Di ujung masa tinggal, kami menanti kapal yang akan datang dan membawa kami serta beberapa orang lainnya kembali ke pulau Sumbawa. Di dermaga kayu kecil dengan kayu yang sudah tampak lapuk itu lah, Ayos dan saya mengeluarkan kartu pos yang belum sempat kami tulisi.

Kartu pos itu kami beli di Lombok beberapa hari silam. Kami berencana mengirimkan kartu itu untuk orang-orang terkasih kami.

Ayos mengirimkan kartu pos itu untuk Winda, pacarnya yang selalu sabar menghadapi Ayos yang seringkali pergi tanpa pamit.

Ia, seingat saya, menuliskan larik dari lagu "Free Bird" milik Lynyrd Skynyrd dan "Soldier of Fortune" milik Deep Purple.

Sayang, karena tabiat Ayos yang pelupa, kartu pos itu tak sempat dikirimkan. Bahkan sempat diduga hilang entah kemana, sebelum akhirnya saya temukan di sebuah buku yang kami bawa. Beberapa bulan setelah kami kembali ke pulau Jawa.


Perjalanan menuju Flores itu yang membuat saya sedikit banyak memahami Ayos. Bagaimana sifatnya. Bagaimana perilakunya. Kami memang teman sedari sekolah dasar. Namun kami tak pernah benar-benar dekat. Sampai perjalanan menuju timur itu, yang boleh dibilang sedikit banyak mengubah hidup kami berdua.

Ayos adalah orang yang cuek. Terutama dalam romansa lelaki perempuan. Seingat saya Ayos tak pernah berpacaran.

Sebelum malam itu, tahun 2008, atau 2007, ah saya pelupa sekali, ia mengabari saya. Kami sedang duduk di bangku kayu panjang di warung Cak Ipul, di pinggir ruas Jalan Jawa.

Malam itu, dengan wajah serius, wajah dan mimik yang jarang saya temui selama berkawan dengan Ayos, ia menceritakan kalau sudah punya pacar.

Namanya Winda Savitri. Saya sebenarnya lupa detail cerita Ayos pada saya malam itu. Hanya lamat-lamat yang saya ingat. Seperti binar mata Ayos yang sepertinya sangat berbahagia.

Rupanya Winda adalah pacar pertama Ayos. Walau tidak sebaliknya. Winda pernah punya pacar sebelum Ayos. Memang Winda yang punya senyum menyenangkan ini mudah untuk dijatuhi hati lelaki manapun. Ia ramah. Pintar. Ayu. Dan sabar. Walau kata beberapa orang kawan, ia tegas. Itu bagus. Ketegasan memang diperlukan untuk mengatur bocah bengal macam Ayos.

Benar saja, Ayos tampak betah berkasih-kasihan dengan Winda. Saya tak tahu apa Winda betah dengan Ayos, mengingat Ayos seringkali abai --atau tak paham-- tentang bagaimana memperlakukan kekasih sebagaimana mestinya. Hihihi. Untunglah Winda selalu sabar menghadapi ketengilan Ayos yang kadang melampaui batas.

Namun Ayos tak sekali dua kali bersikap manis. Saya ingat, di masa senjakala petualangan kami itu, di masjid Labuan Bajo tempat kami menginap, Ayos mengajak menyudahi perjalanan kami. Uang kami memang sudah menipis.

"Aku yo kangen ambek Winda," katanya pelan. 

Saya tersenyum kecil. Menatap bola mata yang terlindung oleh kacamata tebal milik Ayos. Saya tahu ia tak berbohong.

Dulu juga Ayos pernah memberikan saya beberapa puisi yang ia buat untuk Winda. Ada dua puisi yang membekas bagi saya. Yang pertama, saya lupa judulnya, Ayos tulis saat menghadiri Java Jazz, kalau tak salah. Yang kedua, saya juga lupa judulnya, ia tulis saat wakuncar ke rumah Winda dan disuguhi segelas sirup Marjan rasa Cocopandan.

Saya sendiri percaya, ada cinta yang biasa. 
Cinta yang bisa diraih oleh siapaapun. 
Cinta yang cuman butuh dipan kecil untuk bercerita. 
Cinta yang cuman butuh sepeda motor butut. 
Cinta yang cuman butuh kelokan jalan sepi. 
Cinta yang hinggap di sweater gelap. 
Cinta yang menclok di celana pendek coklat khaki. 
Cinta yang terikat bersama gelungan kecil rambut. 
Cinta yang mengkristal di antara desingan CPU. 
Cinta yang terjadi di kabel-kabel elektronik. 
Cinta yang hanyut dalam rasa nasi uduk. 
Cinta yang legit seperti sirup Marjan merah manis. 
Cinta yang cuman butuh sebuah pengakuan tulus. 
Cinta yang cuman butuh kepercayaan.

Yang saya suka dari pasangan ini adalah bagaimana mereka tak pernah saling mengekang. Mereka saling membebaskan. Ayos seringkali traveling sampai lupa waktu. Begitu pula Winda, yang tak jarang traveling tanpa Ayos. Namun mereka macam diikat tali bernama rasa percaya.

Tali itu rupanya teramat kuat. Sehingga walau mereka berjauhan, tali itu sama sekali tak kendor, apalagi renggang untuk kemudian putus.

Tentu dibalik itu semua, ada kisah-kisah penuh tangis nan sendu yang saya tak tahu. Namun usaha untuk terus menguatkan tali itu, sangat sangat layak diberi tepuk tangan sembari berdiri, diiringi lagu megah "We Are the Champion" dan ditaburi oleh confetti yang berjatuhan dari udara.





Surabaya tampak menyenangkan pagi itu. Masjid Al Akbar riuh oleh banyak sekali keluarga yang datang berekreasi. Ada balita-balita yang lari di pelataran masjid. Orang tuanya membaca buku. Di luar masjid, para pedagang baju muslim, kerudung, buku agama, dengan senyum menjajakan dagangannya. Penjual makanan juga banyak ditemui.

Saya datang terlalu cepat. Saya memang tak mendapatkan undangan pernikahan Ayos dan Winda. Undangan itu dititipkan ke seorang kawan, dan hingga hari pernikahan undangan itu tak jua saya terima. Hihihi.

Jam delapan pagi, kata Ayos. Saya datang jam delapan lebih sedikit. Ternyata ada dua acara akad nikah di hari yang sama.

Saat saya datang, saya melihat acara akad yang ramai. Seorang pria berbaju serba putih duduk dengan tenang dan khidmat, mendengarkan ceramah dari orang Kantor Urusan Agama. Saya sedikit berlari tergopoh. Saya kira itu Ayos. Ternyata bukan. Pantas, kok dia tampak kurus.

Ternyata Ayos dan keluarga sedang menanti di luar masjid. 

Ayos, dengan dandanan rambut yang klimis dan dibelah pinggir tampak dandy dengan setelan jas berwarna gelap, kemeja berwarna biru muda, dan dasi berwarna biru tua. Ia mengenakan kalungan melati di lehernya. 

Amboi!

Saya sempat mengirimkan foto Ayos dengan pakaian nyetil itu ke Putri, kawan baik kami berdua. 

"RambuteAyos kudu ngono ya?" tanyanya sembari terbahak.

Saya ikut tertawa. "Old skul," kata saya.

Winda tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna putih. Ia mengenakan hiasan kepala, duh saya tak tahu namanya, berwarna keemasan. Sepertinya berat. Tapi itu tak menghalanginya tersenyum terus-terusan.

Menjelang pukul setengah 10, akad itu diucapkan juga. Dengan lancar. Saya tersenyum lega. Semua orang yang hadir di sana pun ikut lega. Ayos resmi menjadi suami dari Winda. Namun, dasar bocah sableng, ia kadang lupa kalau sudah punya istri.

Seperti misalnya saat ia berjalan santai, lenggang kangkung sendirian, meninggalkan Winda.

"Woyyy, dituntun bojone, ojo lali lek wis nduwe bojo!" kata seorang perempuan setengah baya pada Ayos.

"Oh iyo, aku lali," kata Ayos sembari menggamit tangan Winda.

Oh, pancene arek jancuk.

Dari belakang saya melihat Ayos dan Winda berjalan dengan tenang dan dikerubungi oleh sanak saudara, handai taulan. Mendadak, saya teringat oleh janji saya dan Ayos dulu.

Kami berencana jalan-jalan menggunakan motor lagi. Entah kapan. Bisa satu tahun lagi. Bisa lima tahun lagi. Bisa saja saat kami sudah mencapai kepala empat dan sudah menjadi pelanggan tetap rematik dan encok. Kami belum tahu kapan. Semoga janji itu masih bisa kami laksanakan.

Mungkin menyenangkan ya, berjalan-jalan dan melihat dunia saat masing-masing dari kami sudah menjadi suami, atau malah jadi bapak. Menyaksikan dunia tak sesederhana dan tak senaif pikiran kami sewaktu bujang dulu. 

Rani dan Winda, bolehkah kami, dua lelaki paruh baya berperut tambun ini, suatu saat pergi berjalan berdua lagi. Menyusuri kembali jalan sembari berlaku seperti bujang, hihihi.

Ayo, Yos! []

post-scriptum: Ayos pernah menuliskan satu postingan khusus untuk Winda, judulnya Sebuah Cinta Yang Biasa. Bisa dibaca di sini.

5 komentar:

  1. aku berdoa semoga kalian bisa traveling berdua lagi, dan bikin ebook lagi. biar bisa aku baca bersama pagi kalau nanti dia sudah mengerti :D

    BalasHapus
  2. Huehehehe. Makasih lho mbak Ajeng :3 Salam kecup buat Pagi ya, pasti dia jadi pejalan tangguh kayak bapak ibunya :)

    BalasHapus
  3. Selalu suka tulisanmu yang kau tulis untuk kawan - kawan baikmu mas. Semoga kalau kau nanti jalan berdua dengan mas Ayos, romantisme antara dua bapak tambun bisa kubaca lagi.

    BalasHapus
  4. mbak winda tu teman kosku..orangnya emang baikkk bget...selamat ya mbak win :)

    BalasHapus