Senin, 13 Januari 2014

Ayah Yang Kehilangan Anak Perempuannya

Hubungan ayah dan anak perempuan itu hubungan yang rumit. Tak kalah dengan kerumitan hubungan ayah dan anak lelakinya. Kalimat 'men from Mars, women from Venus' yang seringkali melambangkan kondisi centang perenang, rupanya tak hanya terjadi di hubungan romantis lelaki dan perempuan. Tapi juga antara ayah dan anak perempuannya.

***

Sampai sekarang saya belum pernah jadi ayah. Apalagi jadi ayah bagi anak perempuan. Tapi beberapa kali saya menyaksikan kejadian bagaimana rumitnya hubungan antara ayah dan anak perempuannya. Selain beberapa kejadian di dunia nyata, pengalaman menyaksikan hubungan ayah dan anak perempuannya saya dapat di beberapa film. 

Salah satunya saat saya menonton film besutan Ang Lee, Eat Drink Man Woman (1994). Ini sebenarnya film tentang makanan. Namun drama dalam film ini juga menjadi daya tarik kuat, selain teknik-teknik memasak makanan Cina yang diperlihatkan dengan sangat baik.

Kisah film ini berpusat pada hubungan Mr. Chu, seorang kepala koki yang disegani, dengan tiga orang anak perempuannya: Jia-Jen, Jia-Chien, dan Jia-Ning.

Mr. Chu yang sudah lama menjadi duda adalah tipikal ayah yang keras dan sedikit otoriter. Salah satu bentuk kuasanya adalah melarang anak perempuannya untuk hidup mandiri dan keluar dari rumah. Karena sikapnya yang keras dan mau menang sendiri itu, para anak perempuannya sudah merasa tak betah di rumah. Mereka ingin keluar.

Setiap hari Minggu, Mr. Chu, sang koki yang sudah mulai menua dan kehilangan indera perasanya itu, selalu memasak besar buat tiga anak gadisnya. Malam harinya, ada ritual makan malam bersama. Namun jangan membayangkan suasana yang hangat dan meriah. Hanya ada kekakuan dan keheningan di atas meja makan.

Kisah selanjutnya berlari kencang menuju arah yang sudah bisa ditebak: anak-anaknya mulai meninggalkan rumah dengan alasan yang beraneka ragam. Meski hingga 2/3 isi film bisa ditebak, namun ending film ini begitu mengejutkan. Dilengkapi dengan kisah pingsannya seorang janda cerewet yang naksir Mr. Chu, yang membuat saya tersenyum tiada henti.

Gara-gara menonton film berjudul asli Yin Shi Nan Nu ini, saya jadi berpikir beberapa hal. 

Anak gadis, sama seperti anak lelaki, saat sayap sudah mulai bisa mengembang dan mengepak, akan pergi dari rumah. Mereka akan meninggalkan sang ayah yang mungkin akan menua dalam kesepian. 

Namun entah kenapa, dalam beberapa kejadian yang saya lihat sendiri, perginya anak perempuan dari keluarga --entah itu untuk hidup mandiri, atau dibawa sang suami-- lebih sentimentil ketimbang kepergian anak lelaki.

Begitu pula Mr. Chu yang sebenarnya begitu ketakutan dan dirundung melankolia ditinggal anak perempuannya. Namun sebagai lelaki berkepala batu, ia enggan menunjukkan kerisauan macam itu. Gantinya, ia bersikap keras dan seakan ingin anak-anaknya agar keluar dari rumah sehingga ia bisa hidup dengan tenang.

Sang kawan karibnya, Wen, berulang kali menasihati Chu agar tak perlu ketakutan berlebihan saat sang anak perempuan pergi dari rumah. Itu semacam kepastian yang tak akan bisa dihindari.

"Jangan terlalu khawatir dan marah. Para anak gadis tentu akan keluar dari rumah pada saatnya. Itu pasti akan terjadi."

Si tua Chu sebenarnya sadar betul akan hal itu. Sebagai koki, ia lantas mengibaratkan mengasuh anak perempuan sebagai memasak.

"Membesarkan anak perempuan itu seperti memasak makanan. Kamu akan kehilangan selera saat pekerjaan itu selesai." Chu mengatakan itu dengan raut muka yang tertekuk. Sorot matanya memancarkan satu hal.

Kesepian yang akan menjelang.

***

Saat ayah saya meninggal, selain mamak, yang paling kelihatan terpukul adalah dua orang adik perempuan saya. Mereka menangis. Orin, anak ketiga di keluarga kami, bahkan sempat pingsan. 

Orin dan Shasa, si bungsu, adalah daddy's little girl. Anak gadis kesayangan ayah. Tak perduli seberapa banyak deret umurmu, seberapa mandiri kamu, seberapa tangguh kamu, bagi seorang ayah, anak perempuan akan selalu jadi anak perempuan kecil kesayangannya. Yang patut dilindungi. Yang wajib dijaga.

Kehilangan ayah tentu sangat menyakitkan bagi Orin dan Shasa. Namun saya belum pernah --dan tak akan pernah bisa-- menanyakan kepada ayah: bagaimana perasaannya jika suatu saat Orin dan Shasa pergi dari keluarga karena diboyong oleh suami mereka.

Mungkin ayah akan bangga. Bisa membesarkan anak-anak perempuannya hingga mereka menikah. Tapi  di satu sisi, jelas ayah akan sedih. Tak ada ayah yang tak sedih ditinggal anak perempuannya. Saya sih yakin begitu. 

Melihat anak perempuannya tumbuh dewasa bisa jadi hal yang sedikit mengkhawatirkan bagi semua ayah manapun. Anak perempuannya akan mengalami masa puber. Jatuh cinta. Dan tinggallah sang ayah menghitung mundur: anaknya akan dipinang orang dan pergi dari rumah.

***

Hubungan ayah dan anak perempuan adalah hubungan yang rumit. 

Namun hubungan rumit macam itu juga mengajarkan tentang kerelaan yang luar biasa. Seorang ayah tentu harus rela berpisah dengan anak perempuannya --yang sudah ia rawat dengan kasih sayang berpuluh tahun-- saat ia menikah kelak. Seorang ayah tentu harus berbesar hati saat anak perempuannya dipinang, dan menemukan tempat bersandar baru: lelaki baru yang akan menggantikan tugasnya untuk menjaga sang anak perempuan kesayangan.

Saat saya melihat sorot mata kesepian dari pak tua Chu, saya jadi memikirkan sesuatu. Ini tentu iseng, dan mungkin sedikit kurang ajar. Tapi bisa jadi, para ayah yang meninggal sebelum menyaksikan anak perempuannya menikah adalah ayah yang berbahagia. 

Mereka tak perlu menyaksikan sang anak yang dirawat berpuluh tahun melambaikan tangan isyarat perpisahan. Mereka tak perlu merasakan kesepian yang datang merambat perlahan. 

Bisa jadi, ayah saya mungkin berbahagia sebab tak perlu menyaksikan Orin dan Shasa pergi dari rumah membentuk keluarga baru. Tak perlu ada kesepian itu.

Mungkin saja.[]

post-scriptum: Tulisan ini saya buat sudah sekitar sebulan lalu. Tapi baru sekarang bisa saya selesaikan. Awalnya tulisan ini saya tulis dengan angle anak perempuan yang kehilangan sang ayah. Namun lantas saya ubah sudut pandangnya. Sekedar untuk memberikan pemahaman yang sedikit berbeda. Tulisan pendek ini saya dedikasikan untuk Elya, adik perempuan saya di Tegalboto, yang dirundung duka karena ayahnya meninggal beberapa waktu lalu. Juga untuk Artitik Dyah Ikhsanti, senior saya di Tegalboto, yang juga sudah ditinggalkan sang ayah. Tentu juga buat dua adik perempuan saya: Orin dan Shasa. 

4 komentar:

  1. mas, yg tepat menurut saya adalah hubungan dan kehilangan anak dan ayahnya, tak peduli lelaki dan perempuan, sama rumitnya, percayalah :)

    BalasHapus
  2. Hubungan ayah dan anak perempuannya adalah hubungan yang sederhana mas :) Masa-masa dari bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa akan berbeda. Pun ketika anak perempuan meninggalkan rumah orang tuanya, ia masih bisa datang dengan izin suami.

    BalasHapus
  3. sy rasa yg dituliskan mas penulis itu SANGAT BENAR, terlebih yang hubungan ayah-puterinya baik2 sj, cukp dalam & dekat..
    mgkin ad bbrp hal yg membuat hal itu tdk terjadi :
    1. hubungan keluarga yg dicederai KDRT, membuat anak menjauh..d lingk byk yg bgini, biasany krn tekanan ekonomi
    2. hubungan ortu-anak yg diwarnai feodalisme, khususny yg msh keturunan ningrat (ada jarak antara ortu dgn anak)..di lingk sy msh ad yg bgini, makan aj gk boleh bareng semeja, ortu dulu baru anak kmd pembantu

    BalasHapus