Selasa, 19 Juni 2012

Nasi Campur Demangan


Beberapa hari lalu saya mengalami dilema terbesar yang bisa dialami para pecinta makanan enak: bibir sariawan tapi di saat bersamaan rindu masakan pedas.

Dua biji sariawan di bibir kiri atas begitu besar, menganga. Mengakibatkan rasa perih yang menjadi ketika ia tersentuh benda , entah itu makanan atau bibir orang lain (ups!). Tapi saya begitu rindu masakan pedas yang jarang saya temukan di Jogja. 

Buddha dulu pernah berkata: keinginan adalah sumber penderitaan. Maka hindarilah keinginan demi kebahagiaan. Tapi demi menuntaskan rindu pada masakan pedas, saya rela menahan perih karena sariawan. Mengendarai motor menuju daerah Demangan untuk makan seporsi nasi campur Demangan.

Warung nasi campur ini buka selepas jam 8 malam. Saat toko di deretan Demangan sudah mulai tutup. Warung nasi ini sederhana, bahkan tidak menempati bangunan permanen. Tipikal warung buka-pasang, tutup-bongkar. Tempat makannya pun hanya jejeran kursi plastik. Atau kalau yang mau lesehan, disediakan tikar yang baru bisa digelar ketika showroom motor di sebelah warung ini tutup.

Saya datang ketika malam belum terlalu larut. Warung sepertinya baru saja buka. Terlihat dari tumpukan makanan yang masih belum banyak berkurang. Biasanya, selepas jam 10 malam, tumpukan lauk macam ayam goreng, telur ceplok, tempe, atau bakwan jagung, ini sudah jauh berkurang.

Saya memesan nasi campur lengkap. Si bapak yang saya belum tahu namanya, dengan cekatan mengambil nasi dengan porsi sedang, lalu menyendokkan teri pedas, sayur labu, kering tempe, oseng-oseng kacang panjang dan jagung muda, serta lodeh. Sederhana bukan? Setelah itu, pembeli disilahkan memilih lauk tambahan sendiri. Saya memilih telur dadar dan seiris tempe silet, alias tempe yang diiris tipis macam silet. 



Suapan pertama meluncur pelan melalui bibir. Nyuut! Saya meringis. Bibir yang sariawan berontak. Rasa pedas dan sariawan itu berhantam dengan hebat. Saya redakan dengan berkumur menggunakan teh hangat. Lalu beberapa detik kemudian, rasa perih itu berangsur reda. Langung suapan kedua meluncur, kali ini lancar tanpa ada rasa perih. Tampaknya perih sariawan telah dihajar telak oleh rasa pedas nun lezat nasi campur ini.

Rasa pedas nasi campur ini berasal dari oseng teri yang dimasak dengan cabai. Kuahnya yang pedas begitu dominan dari rasa keseluruhan nasi campur ini. Seorang teman mengaku hanya kuat makan nasi campur ini beberapa suap saja. Terlalu pedas katanya. Tapi sebenarnya, bagi yang suka makanan pedas, nasi campur Demangan ini rasanya menyenangkan. Pedasnya ringan nun lembut, tak sampai membuat perut kepanasan. Hanya sekedar menerbitkan keringat yang menyegarkan. Apalagi kalau ditambah dengan minum teh hangat. Rasa nasi campur ini begitu gurih. Bahkan, kalaupun disantap tanpa menggunakan lauk tambahan, nasi campur ini tetap terasa begitu nikmat. 

Tanpa menghiraukan sisa-sisa perih sariawan, saya menandaskan seporsi nasi campur pedas yang warungnya terletak di depan toko tekstil Prima ini. Bulir keringat bermunculan. Makan di pinggir jalan memungkinkan angin menerpa kita. Sensasi ketika berkeringat lalu merasakan angin itu begitu menyegarkan. 

Selepas membiarkan makanan turun, saya membayar. Cukup 7500 saja untuk seporsi nasi campur lengkap plus telur dadar dan tempe silet, ditambah dengan segelas teh hangat.  Ketika beranjak pulang, sariawan kembali berulah. Perih sekali. 

Ah sial, seharusnya saya menuruti anjuran Buddha saja...

6 komentar:

  1. bener sampeyan mas, pedes-e cuma di mulut kok, di perut endak. 'seorang teman cuma kuat beberapa suap' ki aku udu yo? haha :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iku awakmu dul, hahaha :)) Menurut pengakuanmu, awakmu cuma kuat beberapa suap doang kan, trus wetengmu panas :D

      Hapus
  2. baca saja sudah bikin ngiler :|

    BalasHapus
  3. wah kayaknya kalau lihat menu dan diceritain gini.. saya juga tidak akan nurut sama budha nih kalau gini heheheheh

    BalasHapus
  4. Ah, tulisan yang gak menarik. Kembalikan Nuran sebagai penulis musik!

    BalasHapus