Indra Lesmana feat Maurice Brown Foto: Andrey Gromico |
26 Februari 2014. Hujan baru saja berhenti. Peter Gontha sedang sumringah sore itu. Dengan baju batik berwarna putih gading, ia dengan gagah berdiri di atas podium. Sang impresario media itu ingin menyampaikan satu dua patah kalimat menyambut pagelaran ke sepuluh Java Jazz Festival, festival musik yang ia inisiasi pada tahun 2005.
"Pada tahun ini, untuk pertama
kalinya kami berganti sponsor," kata Gontha menyampaikan hal pahit dengan
tersenyum.
Java Jazz Festival merupakan salah satu
ajang yang terkena imbas dari Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Salah satu pasalnya adalah melarang
produk rokok menjadi sponsor untuk semua acara. Acara-acara musik menjadi salah
satu yang terkena dampak paling besar dari aturan ini.
"40% kebutuhan dana
penyelenggaraan acara tersebut (Java Jazz), didapat dari industri rokok,
selebihnya ditutup oleh industri lain," kata Dewi Gontha, Direktur Utama
PT Java Festival Production, penyelenggara Java Jazz, dalam sebuah diskusi di
Rolling Stone Cafe, satu tahun silam.
Industri rokok memang sudah menjadi
sponsor utama sejak pagelaran Java Jazz pertama pada tahun 2005. Pihak Java
Production selaku event organizer
Java Jazz, tentu kelimpungan mencari sponsor pengganti yang mau menjadi sponsor
utama dalam pagelaran kelas dunia itu. Karena hal itu tidak mudah, tentu saja.
"Pada tahun ini kita banyak
mengalami kendala, karena sponsor-sponsor yang besar sudah tidak diperkenankan
lagi menjadi sponsor. Tapi pada saat terakhir kami dibantu oleh grup M dan satu
advertising agency yang sangat
besar," kata Peter sembari tersenyum tanpa menyebutkan nama perusahaan
yang membantu Java Jazz itu.
Lalu pada menit-menit terakhir, sebuah
produk shampo dari perusahaan besar dunia, mengajukan diri jadi sponsor.
Tercapai kesepakatan, hingga nama produk shampo itu menjadi title sponsor Java Jazz.
Di atas podium itu, Peter sempat
menerawang. Ia mengingat kembali masa-masa awal ia menggelar Java Jazz pada
tahun 2005. Saat itu, pria berkepala plontos ini, geram sekaligus sedih karena
Indonesia dikenai travel warning dari
banyak negara. Penyebabnya karena ada bom di Kedutaan Besar Australia pada 9
September 2004. Ledakan ini menewaskan 5 orang dan ratusan korban luka. Hal itu
masih ditambah dengan akumulasi ketakutan karena rangkaian bom banyak menimpa
Indonesia sejak tahun 2000. Sejak itu, citra Indonesia tercoreng di mata dunia.
Indonesia dianggap sebagai negara teroris. Dunia pariwisata mendapat pukulan
yang sangat telak.
"Saat itu, okupansi hotel itu cuma
2-3% saja. Jadi itu merupakan hal yang sangat menyedihkan," kata Peter.
Akhirnya Peter memiliki ide untuk
menggelar Java Jazz Festival dengan motto yang sangat menggugah: bringing the world to Indonesia. "Kita
katakan, not what the country can do for
us, but what we can do for the country."
Peter bukan tanpa sebab menggelar
festival jazz. Pendiri Rajawali Citra Televisi Indonesia ini memang dikenal
sebagai penggila jazz. Ayah Peter adalah Willem Gontha, pemain trumpet yang
mendirikan band jazz yang juga beranggotakan Bubi Chen dan Jack Lesmana. Big band ini menjadi band perusahaan
minyak terkemuka di Surabaya. Saat sang ayah dan kawan-kawannya menjalani tur,
Peter seringkali ikut serta dalam rombongan. Menaiki kereta, singgah dari satu
kota ke kota lain.
Karena besar dalam lingkungan yang mencintai
jazz, Peter pun turut jatuh cinta dengan musik yang identik dengan kebebasan
berekspresi ini. Peter juga punya Kafe Jams, kafe yang sering dijadikan tempat
bermain para musisi jazz internasional, seperti Lee Ritenour, Chick Corea, dan
George Duke.
Peter sebenarnya sudah mulai membuat
festival jazz bernama Jak Jazz pada tahun 1987. Ia membuat Jak Jazz karena
terkesan dengan pengalaman menonton North Sea Jazz, sebuah festival jazz di
Belanda. Jak Jazz ini berlangsung rutin hingga berhenti di tahun 1997 karena
Indonesia terhantam krisis moneter.
Tapi cinta Peter pada musik jazz tak lantas berhenti. Pada tahun 2005, dengan panji PT Java Festival Production, akhirnya
Peter pun menggelar Java Jazz untuk pertama kalinya. Peter tak sendirian dalam mengerjakan
even kelas dunia ini. Ia banyak dibantu oleh Dewi Gontha Sulisto, putrinya yang
kala itu menjabat sebagai production and
marketing director. Sekarang, Dewi sudah menjabat sebagai direktur utama PT
Java Festival Production.
"Terus terang saja, saya mohon
dengan hormat, bukan saya (yang mengerjakan Java Jazz). Wartawan selalu
mengutip saya, padahal saya sudah tidak ngapa-ngapain
lagi. Tahun lalu saya sudah menyampaikan mundur (dari Java Festival
Production)," kata Peter sembari melirik ke Dewi, sang anak yang sore itu
juga hadir di konfrensi pers. Dewi tersenyum.
Pagelaran perdana Java Jazz mengundang the king of soul, James Brown, sebagai
penampil utama. Orang-orang terhenyak, sang legenda itu mau datang dan tampil
di festival jazz debutan, yang diadakan di negara yang kala itu dihantam isu
terorisme dan flu burung.
"James Brown has really made Java Jazz. Begitu banyak artis datang karena James
Brown. Mereka lupa bahwa James Brown adalah preman. Berani dia," kata
Peter dalam sebuah wawancara eksklusif dengan majalah Rolling Stone Indonesia.
Setelah kedatangan James Brown, keran kedatangan musisi luar negeri pun
terbuka. Banyak musisi terkenal luar negeri mau tampil. Mulai dari Santana,
Brian McKnight, Sergio Mendes, Ron King Big Band, Chaka Kan, The Manhattan
Transfer, Tony Braxton, Sondre Lerche, John Scofield, Stevie Wonder, Jamie
Cullum, hingga India Arie.
Dulu, agak susah membayangkan Java Jazz
bisa menjadi festival jazz terbesar di dunia dengan jejeran line up yang megah. Karena para orang
asing sempat takut datang ke Indonesia karena citranya yang menyeramkan. “Banyak
yang takut: nyamuk, demam berdarah, dengue
fever, flu burung, tsunami, gempa, terorisme,” kata Peter dalam
wawancaranya dengan Rolling Stone Indonesia.
Tapi sekarang Java Jazz sekarang sudah
menjadi festival yang berskala gigantis. Pada tahun 2010 misalnya. Java Jazz
menampilkan lebih dari 1500 musisi asing dan Indonesia. Mereka bermain di 21
panggung, selama 3 hari penyelenggaraan. Tahun itu, Java Jazz dikunjungi oleh
105.000 penonton, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini membuat Java Jazz
menjadi festival jazz terbesar di dunia dalam hal jumlah musisi dan jumlah
panggung.
"Dan tentunya tahun ini banyak pengunjung
yang banyak dan bintang jazz dan artis terkenal yang bisa hadir, mengharumkan
nama Indonesia," kata Marie Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif pada jumpa pers Java Jazz 2014.
Saat ini memang industri musik
dimasukkan dalam agenda ekonomi kreatif. Pasalnya jelas, industri musik menghasilkan
perputaran uang yang sangat besar. Industri musik dalam bentuk pariwisata,
seperti konser dan festival musik, juga memberikan pemasukan yang besar bagi
negara. Marie pernah mengatakan bahwa terjadi peningkatan wisman sebanyak 30
persen jika ada konser ataupun festival musik di Indonesia. Jumlah wisman ini
kebanyakan datang dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan
Hongkong.
"Sebagai salah satu industri
kreatif di Indonesia, (industri musik) sumbangannya 5,2 trilyun di 2013," tutur
Marie.
"Tadi saya bertanya pada Dewi,
ekspektasi penonton tahun ini 120.000, lima persennya dari luar negeri. 20
persen penonton dari luar Jakarta," sambung Marie sembari sumringah.
***
Agus Setiawan Basuni duduk di ruang
kerjanya yang penuh buku, tumpukan kertas, dan cakram padat. Ia dengan takzim menghadap
komputer jinjingnya. “Saya lagi ngurus persiapan ke Korea nih,” katanya sembari
tersenyum dan memandangi lembar kertas yang ada di tangannya dan mengetikkan
sesuatu.
Agus pada tahun 2000 mendirikan Wartajazz,
sebuah komunitas yang ia sebut sebagai "ekosistem untuk musik jazz di
Indonesia." Pengalamannya di dunia jazz Indonesia sangat panjang. Ia
pernah mengadakan Bali Jazz Festival, Ramadhan Jazz Festival, hingga
menginisiasi Ngayogjazz Festival di Yogyakarta bersama Djaduk Ferianto dan
Komunitas Jazz Yogyakarta. Pria kelahiran 22 Agustus 1975 ini juga pernah
meliput berbagai festival jazz di seluruh dunia. Mulai dari Montreux Jazz
Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, hingga Chicago
Blues Festival.
Wartajazz juga rutin menjadi media
partner Java Jazz, dan Agus tak pernah sekalipun absen meliputnya selama 10
tahun penyelengaraan. Dalam pandangan Agus, Java Jazz hadir di saat yang tepat.
"Sepuluh tahun lalu, kita sudah
mulai mendekati situasi dimana sebagian masyarakat kita, terutama yang di
perkotaan, adalah masyarakat yang terdidik. Dalam artian, mereka bisa dapat
informasi sendiri tanpa harus tergantung pada media massa konvensional,"
kata Agus.
Menurutnya, generasi melek media yang
haus informasi, ditambah dengan anak-anak muda yang melek musik, adalah
kombinasi yang jumlahnya relatif cukup banyak. Mereka adalah faktor yang
membuat Java Jazz menjadi berkembang.
"Selain itu, juga ada kerinduan
terhadap even berskala besar, Java Jazz waktu itu ada 12 panggung,"
lanjutnya.
Java Jazz termasuk festival yang
berkembang dengan cepat dan pesat. Menurut Agus, hal itu bisa terjadi karena
Java Jazz pandai menyisipkan gimmick
di setiap penyelenggaraannya. "Dalam hal ini, selalu ada bintang,"
sembari menyebutkan nama James Brown yang hadir pada tahun 2005, "regardless dia jazz atau bukan, saya
mesti lihat sebelum meninggal, itu analoginya."
Java Jazz bukan satu dua kali saja dikritik karena menampilkan bintang tamu di luar pakem musik jazz. Tahun ini kontroversi besar merebak seiring diundangnya Agnez Mo (dulu dikenal dengan nama Agnes Monica), dan girlband JKT48. Kritiknya adalah: dimana letak jazz-nya mereka? Hal ini sebenarnya bukan hal baru. Tiap festival, apapun jenis musiknya, pasti menghadirkan bintang tamu yang keluar pakem.
Montreux Jazz Festival, misalnya. Salah satu festival jazz terbesar dan terpopuler di dunia ini pada tahun 2013 mengundang band rock Black Rebel Motorcycle Club, juga band punk rock Green Day, hingga Brian May dan Deep Purple. Apakah mereka musisi jazz? Tentu bukan.
Yang patut diingat: festival musik adalah sebuah industri. Dan industri harus menghasilkan laba untuk bisa terus berputar. Dalam industri festival musik macam Java Jazz, mengundang hanya musisi jazz saja tentu bukan keputusan bijak. Pasti ada beberapa pertimbangan. Dari obrolan singkat dengan Eq Puradiredja yang menjabat sebagai Program and Artist Relation Java Jazz, ada beberapa pertimbangan untuk mengundang bintang tamu.
"Ada jazz name, legend name, popular name, dan lain sebagainya," katanya dalam konfrensi pers Java Jazz 2014. Agnez Mo dan JKT48 adalah nama yang mewakili popular name.
Java Jazz bukan satu dua kali saja dikritik karena menampilkan bintang tamu di luar pakem musik jazz. Tahun ini kontroversi besar merebak seiring diundangnya Agnez Mo (dulu dikenal dengan nama Agnes Monica), dan girlband JKT48. Kritiknya adalah: dimana letak jazz-nya mereka? Hal ini sebenarnya bukan hal baru. Tiap festival, apapun jenis musiknya, pasti menghadirkan bintang tamu yang keluar pakem.
Montreux Jazz Festival, misalnya. Salah satu festival jazz terbesar dan terpopuler di dunia ini pada tahun 2013 mengundang band rock Black Rebel Motorcycle Club, juga band punk rock Green Day, hingga Brian May dan Deep Purple. Apakah mereka musisi jazz? Tentu bukan.
Yang patut diingat: festival musik adalah sebuah industri. Dan industri harus menghasilkan laba untuk bisa terus berputar. Dalam industri festival musik macam Java Jazz, mengundang hanya musisi jazz saja tentu bukan keputusan bijak. Pasti ada beberapa pertimbangan. Dari obrolan singkat dengan Eq Puradiredja yang menjabat sebagai Program and Artist Relation Java Jazz, ada beberapa pertimbangan untuk mengundang bintang tamu.
"Ada jazz name, legend name, popular name, dan lain sebagainya," katanya dalam konfrensi pers Java Jazz 2014. Agnez Mo dan JKT48 adalah nama yang mewakili popular name.
Memang sudah sejak lama, ada dikotomi mengenai jazz. Agus menekankan bahwa kebanyakan
orang heran kenapa musik jazz bisa berkembang. Padahal sebenarnya tak usah
heran kalau jazz bisa berkembang di Indonesia. Sejak dulu, menurut Agus, media
sudah terlanjur menyebarkan stigma bahwa musik jazz adalah musik kelas atas,
musik yang susah dimengerti. Sehingga orang-orang berpikiran kalau jazz akan
susah berkembang jadi besar dan jadi musik yang digemari khalayak ramai.
"Padahal, jangan lupa, jazz pernah
jadi musik yang sangat populer. Itu era 30-40an. Semua lantai dansa ya musik swing. Musik pop, dalam artian musik
populer, ya jazz, swing," kata
Agus.
Karena semua kombinasi di atas itulah,
Java Jazz, menurut Agus, bisa berkembang. Meski begitu, Agus tak serta merta terus
memuji. Menurut Agus, "mereka (Java Jazz) lebih banyak menampilkan para
musisi yang 'hits di zamannya'," sembari menuturkan musisi-musisi yang
tenar di era 80-an seperti George Benson tapi masih bermain di Java Jazz.
"Band yang diundang Java Jazz
harusnya juga aktual. Jangan sampai ada pikiran, 'band ini karya terakhirnya
kapan, karya terakhirnya sepuluh tahun lalu'" ujarnya.
"Tapi jangan lupa, penonton mau
membayar itu," sambungnya cepat sembari menyebut penonton yang menunggu
George Benson menyanyikan "Nothing Gonna Change My Love For You";
juga Lee Ritenour memainkan "Captain Finger"; hingga Bob James dengan
lagu "Restoration"; dimana itu lagu-lagu yang hits tiga dekade lalu.
Meski begitu, Agus tetap berbangga
bahwa Java Jazz, jika merujuk pada jumlah penonton, adalah festival jazz
terbesar nomer dua di Asia, setelah Jarasum International Jazz Festival di Korea.
"Namun kalau soal jumlah panggung, Java Jazz nomer satu di Asia,"
kata Agus.
Memperingati satu dekade Java Jazz,
Agus dengan semangat mengatakan kalau Java Jazz tak boleh berhenti. "Jadi
hakikatnya bukan soal sepuluh tahunnya. Tapi bahwa soal jazz itu harus terus
menerus. Jazz itu, seperti musiknya, tak pernah berhenti," katanya sembari
memandang layar monitor komputer jinjingnya.
"Jadi festivalnya tak boleh
berhenti, apapun kendala yang mereka hadapi, harus tetap ada. Entah nanti
misalnya karena kesulitan sponsor, lalu panggungnya dikurangi, ya gak masalah. Tapi harus tetap ada,"
lanjutnya.
Sore semakin tua. Agus membereskan
beberapa barang. Ia ada janji dengan seorang kawan selepas pukul 5 sore.
Sebelum pergi, ia berkata lagi.
"Kata kuncinya cuma dua: konsisten
dan kontinyu. Konsisten untuk kontinyu, dan kontinyu untuk konsisten." []
Post-scriptum: Terima kasih buat mbak Wening Gitomaryo yang memberikan file wawancara eksklusif RSI dengan Peter Gontha. Makasih mb, hhe...
Post-scriptum: Terima kasih buat mbak Wening Gitomaryo yang memberikan file wawancara eksklusif RSI dengan Peter Gontha. Makasih mb, hhe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar