Rabu, 22 Januari 2014

Antara Bowie, Heroes, dan Tembok Berlin

Kalau heavy metal mengenal triumviraat Led Zeppelin, Black Sabbath, dan Deep Purple; glam rock juga punya trinitas agung: T-Rex, The New York Dolls, dan David Bowie.

Ketiga nama itu, menurut saya, adalah peletak dasar, cetak biru para glam rocker era berikutnya. KISS bahkan berhutang banyak pada Bowie dan T-Rex. Para gerombolan hair metal seperti Motley Crue, bahkan Guns n Roses juga sangat dipengaruhi oleh The New York Dolls.

Tapi sekarang saya tidak akan membahas T-Rex atau The New York Dolls. Saya ingin ngobrol soal David Bowie, sang biduan yang punya alter ego bernama Ziggy Stardust itu.

Saya sebenarnya tidak terlalu intens menyimak Bowie. Iya, saya bersalah. Tapi saya tetap punya beberapa album sang legenda ini di laptop saya. 

Dari The Man Who Sold the World (1970), Hunky Dory (1971), The Rise and Fall of Ziggy Stardust (1972), hingga Aladdin Sane (1973), dan yang terakhir baru saya unduh beberapa minggu lalu: Heroes (1977).

Saya hanya sesekali saja mendengarkan album-album itu. Pasalnya, beberapa lagu pria yang bernama asli David Robert Jones ini terlalu "kalem" dan terkesan lambat. Cenderung membosankan malahan. Telinga saya terlalu dimanjakan oleh sound dan tempo hair metal yang fast pace, yang membuat adrenaline terpompa. Sedangkan Bowie, capo di tutti capi dari klan glam rock itu, kadang terlalu lambat. Tapi saya tak heran. Bowie, konon, sangat terpengaruh oleh art rock.

Tapi tak bisa dipungkiri, banyak sekali lagu Bowie yang asyik didengarkan. Lagu kesukaan saya tentu adalah "Ziggy Stardust" dan "Rebel Rebel". Iya, selera saya pasaran sekali. Oh ya, sampai kelupaan mencantumkan "The Man Who Sold the World" dari album ketiga berjudul sama. Iya, itu lagu yang dikover oleh Nirvana, band yang dikomandoi oleh lelaki yang konon benci lelaki bermake-up. What an irony, huh? Hihihi.

Tapi selain ketiga lagu itu, saya sangat suka "Heroes" dari album berjudul sama.


"Heroes" pula yang belakangan jadi high rotation saya. Entah kenapa, lagu ini bisa menghadirkan nuansa yang penggah. Memang susah menggambarkan nuansa lagu ini secara utuh via kata-kata. Tapi jika ingin pengandaian, coba tonton film "The Perks of Being a Wallflower". Di film itu, lagu "Heroes" menjadi lagu puncak, lagu pamungkas --dijuluki sebagai the tunnel song-- yang dihadirkan dengan sangat menggugah. Lengkap dengan Emma Watson yang berdiri di bak pick up sembari merentangkan tangan dan menentang angin malam. Epik.

Kalau mendengar lagu ini, rasa-rasanya ingin sekali naik motor, pergi ke dataran tinggi. Lalu minum kopi --tidak rocker sekali saya ini-- sembari menatap kerlip lampu kota di kejauhan. 

Lagu ini nuansanya sedikit berbeda dengan lagu-lagu Bowie di album sebelum-sebelumnya. Sound gitarnya aneh. Lengkap dengan bebunyian yang aneh nan eksektrik. Setelah saya googling, saya baru tahu kalau album Heroes memang salah satu pencapaian artistik terbaik Bowie.

Heroes direkam di studio Hansa Tonstudio, Berlin Barat. Waktu album ini direkam, dunia sedang dicekam oleh perang dingin. Jerman masih terbagi menjadi dua: timur dan barat. Studio tempat merekam album ini pun hanya berjarak 500 meter dari tembok Berlin. Konon, saat sedang melakukan proses perekaman, para Volkspolizei, polisi keamanan di Jerman Timur, seringkali mengintai Bowie dan kawan-kawan dengan binokuler canggih mereka.

Album yang juga merupakan kolaborasi Bowie dengan Brian Eno (mereka berkolaborasi menggarap tiga album di Berlin, album-album itu dikenal sebagai Berlin Trilogy) juga punya cerita unik. Gitaris utama Bowie di album ini adalah Robert Fripp, gitaris band prog rock King Crimson. Saat Fripp diajak menggarap Heroes, ia sedikit sangsi. Pasalnya, gitaris berkebangsaan Inggris ini sudah berhenti bermain gitar selama tiga tahun.

"...tapi kalau kalian mau mengambil resiko, ya ayo saja," papar Fripp kala itu. 

Bowie dan Eno pun mengambil resiko itu. 

Nicholas Pegg, penulis buku The Complete David Bowie, menceritakan kalau Fripp dengan gagah bisa menyelesaikan bagiannya dalam album ini hanya dalam satu hari. Fripp sebagai gitaris utama juga diberi keleluasaan dalam mengurusi perkara teknis gitar dan sound yang ia inginkan. 

Hasilnya adalah sound yang unik, dengan layer gitar berlapis, yang cantik berkombinasi dengan bebunyian synth mengawang ala Eno. Saya sih kurang pandai kalau disuruh mendeskripsikan jenis musik macam itu. Sila unduh saja albumnya, tersebar bebas di dunia maya, dan dengar sendiri.

Album ini berhasil mendapatkan penghargaan Album of the Year dari majalah Melody Maker dan NME. Para kritikus ramai-ramai menasbihkan Heroes adalah pencapaian terbaik Bowie. Saya sih setuju-setuju saja. Karena seperti yang saya bilang tadi, saya bukan pengamat takzim David Bowie. 

Kembali lagi ke lagu "Heroes". Ini adalah lagu romantis yang asyik sekali. Bowie terinspirasi oleh kisah dua sejoli dari Jerman Timur dan Jerman Barat. Cinta yang terisolasi oleh batas negara dan batas ideologi. 

I can remember 
Standing, by the wall 
And the guns shot above our heads
And we kissed, as though nothing could fall
Oh we can beat them, for ever and ever
Then we could be Heroes, 
just for one day

Semalam, beberapa orang kawan sedang ingin minum botol gepeng. Saya menemani mereka mengobrol perkara remeh temeh, sembari makan kacang, dan memutar lagu ini hingga adzan subuh mengumandang.

Puitik.

1 komentar:

  1. Lagu ini memang gurih, yg versi Peter Gabriel pun tak kalah gurihnya :)

    BalasHapus