Guns N Roses Era Baru! sumber: |
Hari Minggu pagi pukul 10, saya sudah berada di hotel Mulia. Ajakan Mister untuk berburu tanda tangan Axl Rose terlalu berharga untuk dilewatkan. Ketika saya sampai, Mister sudah siap sedia dengan dua tas berisikan piringan hitam dan buku untuk ditandatangani. Yang bikin saya terperangah, Mister sudah berdiri di tangga sejak jam 8 pagi.
"Gue dapat kabar kalau Axl bakal turun lewat lobi bawah, bukan lobi utama" bisik Mister.
Pagi itu, semua personil serta kru GNR sudah meninggalkan Hotel Mulia untuk bersiap manggung. Di hotel hanya tersisa 2 orang: Axl dan manajer pribadinya. Mister dengan setia menunggu Axl keluar.
"Itu bodyguardnya Axl, gue pernah ketemu dia. Dia juga yang ngawal Slash waktu datang ke Indonesia" kata Mister sembari menunjuk pria lokal berbadan tegap, tinggi sekitar 170 cm, berkumis baplang, lengkap dengan kacamata hitam dan handsfree tergantung di telinga sebelah kiri.
Waktu terus berderap. Ada kabar jam 11.30 WIB Axl akan turun. Mister sudah mulai siaga. Tapi ia juga khawatir kalau itu hanya trik agar para penggemar tertipu. Mister tak sendiri dalam berusaha memburu Axl. Ada sekitar 2-3 orang berpakaian Guns N Roses yang duduk menunggu di lobi. Tapi menurut perkiraan Mister, Axl tidak mungkin keluar melalui lobi utama. Menurutnya, Axl terlalu malas berada di kerumunan orang.
"Eh, gue minta tolong boleh gak? Lu tungguin sini bentar ya, gue sarapan dulu" ujar Mister. Ia sedari pagi belum makan apapun.
"Tadi gue sempat ambil orange juice. Tapi baru satu teguk, gue lihat pacarnya DJ Ashba (gitaris GNR) keliatan terburu-buru. Gue pikir Axl sudah mau berangkat. Jadi gue langsung ke lobi" lanjut Mister.
Akhirnya saya gantian berdiri di tangga dengan tatap mata penuh selidik. Kalau-kalau Axl lewat, saya harus memanggil Mister secepatnya. Saya tak ingin harapan Mister hancur berantakan untuk kedua kalinya. Mister sudah pernah satu kali merasa hancur ketika duduk di bangku SMP.
Kala itu dia dengar kabar kalau GNR akan mengadakan konser. Mister memutuskan untuk berangkat menontonnya. Tak main-main, konsernya ada di Amerika Serikat, tanah asal band idolanya itu. Segala persiapan diurus dan lancar. Maka melanglanglah ia ke negeri Paman Sam untuk menonton GNR. Tapi betapa terpukulnya ia ketika ternyata konsernya sudah berlangsung sehari sebelum Mister sampai Amerika. Kurangnya informasi (ingat, jaman itu belum ada internet) memungkinkan missing seperti itu.
"Waktu itu gue masih SMP sih. Jadi gak begitu kecewa juga. Makanya, ini konser pertama GNR yang gue tonton."
Mister menjadi ceria ketika manajer Axl keluar dan berjalan dengan tenang. Mister menghampirinya dan mengajaknya ngobrol.
"Aku sudah ngefans GNR dan pengen ketemu Axl sejak 24 tahun lalu"
"Sabar. Dalam 30 menit lagi kamu akan ketemu Axl" kata sang manajer sembari tersenyum. Harapan segar berhembus.
Tapi wajah Mister sedikit pucat ketika jam sudah menunjukkan jam 12 siang. 1 jam sebelumnya pintu masuk konser sudah dibuka. Mister cemas. Ia jelas ingin berada di barisan paling depan. Sedang Axl, sang superstar, ikon rock n roll terakhir, tak juga menampakkan batang hidungnya. Saya juga cemas sebetulnya. Serupa dengan Mister, ini adalah konser GNR pertama, dan bisa jadi terakhir kali, yang saya tonton. Tak ada jaminan band itu akan datang kembali ke Indonesia. Tapi saya sudah meletakkan kartu di atas meja. Saya memutuskan untuk berani berjudi dengan menemani Mister. Que sera sera!
Saya dan Mister sudah turun ke lorong lobi bawah. Berdiri di depan lift. Kami tidak hanya berdua. Ada 4 orang yang setia menunggu Axl keluar. Mereka membawa beberapa poster Axl Rose. Para bodyguard juga turut berjaga. Tak ketinggalan, beberapa staff hotel siap menyambut Axl keluar. Nafas Mister berkejaran. Tampak kalau ia menahan rasa grogi yang teramat sangat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau ia bisa bertatap muka langsung dengan Axl.
“Mungkin gue bakal nangis. Ini aja gue udah mau nangis. Atau malah pingsan” katanya dengan kepala yang mendongak, menahan air mata agar tak tumpah.
Detik terasa begitu lama bagi Mister. Gundah makin tertakik ketika jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Yang artinya konser akan dimulai setengah jam lagi. Tapi tak mungkin GNR mulai konser tanpa Axl kan? Mister makin tegang. Ia berkali-kali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia sempat mau membayari saya taksi agar saya bisa secepatnya menuju venue. Ia tak ingin saya ketinggalan konser. Tapi saya bersikukuh untuk tetap berada di tempat, menemani Mister. Saya ingin menyaksikan Mister bertemu sang idola.
"Jam 1 Axl gak keluar, kita cabut. Ini sikap. He's an asshole," rutuk Mister yang raut mukanya sudah digelayuti mendung, "tapi itu gak mengubah penilaian gue ke Axl. Dia masih idola gue. He still in my blood" lanjutnya.
Dan garis mati itu pun berdentang. Pukul satu siang akhirnya datang berkunjung. Tapi Mister seperti tak rela pergi. Ia gamang. Saya meyakinkannya untuk tetap menunggu Axl. Penantian selama 24 tahun harus terbayarkan. Toh, sekali lagi, tak mungkin GNR mulai konser tanpa sang big boss.
Tiba-tiba seorang bodyguard menghampiri kami. "Mas, sebentar lagi dia keluar, mohon jangan foto-foto ya. Tolong ya."
Akhirnya! Kami memilih menuruti permintaan sang bodyguard. Saya tak mau Axl berang melihat ada kamera memotretnya. Kalau Axl berang, hanya tuhan yang tahu apa yang akan dia lakukan. Bisa saja ia memutuskan untuk membatalkan konser. Dan kalau itu terjadi, bisa-bisa saya dan Mister dirajam oleh ribuan fans GNR yang sudah menanti.
Dan saat itu tiba juga. Dimulai dari gaduh kordinasi antar sekuriti, the almighty Axl Rose muncul! Kami terkesiap! Ia hanya berjarak sekitar 0,5 meter dari kami. Hanya bodyguard yang memisahkan. Bisa saja kami memeluknya dengan nekat. Tapi tentu kami cukup pintar untuk paham kalau dibanting atau dihajar itu tak enak.
Axl terlihat lebih kurus ketimbang beberapa tahun lalu. Di bawah hidungnya ada segaris tipis kumis yang melintang. Rambut bagian atasnya sudah tampak menipis Mungkin itu sebabnya, nyaris di semua konsernya, ia selalu memakai topi. Ia tampaknya baru selesai mandi, rambutnya masih basah terurai. Tetesan air dari rambutnya membasahi kaos berwarna putihnya. Penampilannya sederhana. Hanya memakai celana blue jeans, kaos putih, dan beberapa kalung yang menggantung di lehernya. Tapi tetap, auranya bisa membuat siapapun tercekat.
Melihat Axl melenggang, Mister tanpa dikomando langsung berteriak kepada Axl, memintanya menandatangani vinyl dan buku yang sudah ia siapkan. Tapi Axl yang terburu-buru hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada kami. Sekali lagi, kami hanya berjarak setengah meter saja! Dan saat kami sudah sadar dari kesiap, Axl sudah masuk ke dalam mobil. Mister gagal meminta tanda tangan Axl, apalagi berfoto.
Axl Rose masih tetap untouchable...
***
Wenz sedang antri membeli bir ketika lagu "Chinese Democracy" dimainkan. Ia masih santai. Baginya, lagu-lagu di album Chinese Democracy (2008) adalah lagu aneh. Karena itu ia merasa tak perlu terburu-buru masuk ke dalam venue. Tapi ketika intro "Welcome to the Jungle" terdengar dari dalam, Wenz panik. Ia dengan histeris menyuruh penjual agar lebih gesit melayani.
“Di sini saya mulai histeris dan berteriak ke mbak-mbak penjaga bir agar cepat melayaninya karena bulu kuduk saya sudah mulai berdiri semua, ha-ha-ha” ujar Wenz sambil tergelak.
Ketika bir sudah ditangan, Wenz pun dengan gegas berlari menuju bibir panggung. Akibatnya, bir di gelasnya tiba-tiba sudah tinggal setengah akibat tertumpah. Untunglah pengorbanan setengah gelas bir itu berbuah manis. Wenz menyaksikan sendiri ketika Axl mengumandangkan pertanyaan legendaris, "You know where you areeee?"
Sedang saya? Saya tanpa malu mengakui, saya menangis tersedan.
GNR, band yang sudah saya idolakan semenjak SMP, tampil langsung di hadapan saya. Meskipun hanya tertinggal Axl sebagai personel asli. Meski tak ada Izzy sang gitaris flamboyan, meski tanpa Slash sang gitaris ikonik, walaupun tak ada pembetot bass Duff, juga tanpa si drummer murah senyum Steven. Sebelum menyaksikan konser, ada waktu-waktu dimana saya melakukan banyak pembandingan antara personel lama dan baru. (Dulu) saya menganggap para personel baru ini tidak akan pernah bisa menggantikan kharisma serta karakter personel lama.
Tapi setelah menonton sendiri live GNR era baru ini, kok rasa-rasanya pembandingan itu jadi sia-sia belaka. Bagi mereka yang benar-benar menggemari GNR, pada akhirnya melakukan pembandingan dan merendahkan para personil baru itu adalah hal yang tanpa guna. Zaman sudah berubah. Musik mereka juga sudah berubah. Axl sebagai otak GNR pun tentu punya alasan kenapa ia memilih para personel yang sekarang. Dan Axl rupanya tak salah.
Di panggung besar itu, Ron "Bumblefoot" Thal; Richard Fortus, DJ Ashba; Chris Pitman, Frank Ferrer; Tommy Stinson, menunjukkan kelasnya sebagai musisi jempolan. Mereka bermain dengan presisi yang mengagumkan serta tempo yang hampir tak pernah sekalipun kedodoran. Mereka --bagi saya-- menghapuskan bayangan para personel lain GNR. Para personil baru itu pun tak berusaha untuk meniru para personel lama. Mereka jadi diri mereka sendiri, bermain dengan cara mereka sendiri.
Sedang Axl, ia mematahkan banyak keraguan dan sinisme para fans GNR "lama". Axl tampil nyaris sempurna sepanjang konser. Ia berlari menjelajahi panggung, suaranya masih menggetarkan, ia mampu menggapai nada-nada tinggi dengan mudah, walau sudah nyaris mustahil melakukan snake dance khasnya dengan mudah dan seksi seperti 20 tahun lalu. Sang vokalis kelahiran Lafayette ini pun tampil dengan mood yang baik. Ia acapkali bercanda dan melempar senyum kepada penonton, sesuatu yang termasuk jarang ia lakukan. Ditambah pula di akhir konser ia sempat berpidato pendek, berterimakasih kepada penonton yang mau hadir walaupun konser ditunda sehari. Tak lupa ia memuji penonton Indonesia adalah penonton yang mengagumkan.
GNR memainkan banyak lagu selama nyaris 3 jam konser. Mulai dari "Live and Let Die", "Patience,” “Mr. Brownstone,” “Rocket Queen,” “Sweet Child O Mine,” “Night Train,” “Paradise City,” “Civil War,” hingga lagu-lagu dari album Chinese Democracy (2008): "Chinese Democracy", "This I Love" dan "Better".
Secara khusus, lagu “Sweet Child O Mine” berhasil membuat saya terkesima pada Bumblefoot. Ketika memainkan setengah bagian solo gitar, dengan mendongakkan kepala, memejamkan mata, dan janggut panjang yang berkibar-kibar, entah kenapa ia terlihat begitu kudus. Semacam sufi bergitar. Beberapa tingkat lebih mandraguna ketimbang ksatria bergitar.
Terbukti pula, GNR masih menjadi magnet besar yang menarik banyak orang. Tercatat sekitar kurang lebih 8.000 penonton memadati MEIS. Tiket VIP sejumlah 1000 lembar seharga Rp. 2.000.000 juga terjual habis. Para penonton pun terlihat sangat antusias dan bersemangat. Mereka bernyanyi lantang, terutama pada lagu-lagu klasik GNR. Untuk lagu-lagu dari album Chinese Democracy, masih banyak yang tergagap. Termasuk saya.
Ada beberapa momen yang membuat saya tertegun sekaligus merinding. Pertama, ketika lagu “November Rain” dimainkan. Saya tak tahan untuk tak menangis lagi. Entah kenapa, mendengar dan menonton lagu itu dimainkan secara langsung, membuat saya jadi melankolis. Memang tak ada adegan gitaris menaiki grand piano dan memainkan solo gitar yang menyayat. Tapi part solo gitar yang dimainkan bergantian oleh tiga gitaris, membuat lagu ini terasa semakin menggigit.
Momen kedua adalah ketika Bumblefoot tampil sendirian di panggung. Ia menyandang gitar putihnya, lalu memetik gitar nirdistorsi. Awalnya nadanya terdengar asing. Tapi tiba-tiba penonton bersorak. Termasuk saya. Itu lagu “Indonesia Raya”! Tanpa komando, semua serentak menyanyikan bait lagu kebangsaan itu. Rasa-rasanya hampir nihil penonton yang tak merinding dan tak ikut bernyanyi. Semua penonton tenggelam oleh suasana sentimentil dan saya yakin, meski sejenak, nasionalisme (ah saya benci menggunakan kata ini) menyelusup ke dalam hati setiap penonton.
Momen ketiga adalah ketika lagu "Patience" dimainkan. Ini terkait dengan kenangan personal saya. Dulu ketika masih baru belajar gitar, saya berusaha keras memainkan lagu ini bersama ayah. Saya yang main gitar, ayah yang bernyanyi.
Saya yakin saya tak sendiri. Ada ribuan orang yang memiliki kenangan personal maupun kolektif terhadap lagu-lagu GNR. Orang-orang yang tumbuh besar di era 80 hingga 90-an jelas akan bernostalgia. Ada banyak momen seperti, "aaah, anjrit, ini lagu kan pas gue bolos dulu," atau "gila! ini lagu kan kita bawain pas ada festival band, dulu kita masih gondrong-gondrong," dan ada pula yang berteriak "hahaha, ini lagu pas gue mau nembak gebetan dulu,".
Saya sempat melihat sekitar 5 orang pria berusia 30-an yang berangkulan, bernyanyi bersama, dengan wajah yang haru. Mereka seperti kembali ke masa lalu dengan mesin waktu. Kembali ke masa remaja mereka. Balik ke masa seperempat abad lalu, ketika album Appetite for Destruction dirilis. Karena tak peduli berapapun umurmu, di masa apa kamu hidup, selama kamu berbicara mengenai GNR, kamu akan selalu menjadi remaja umur belasan!
Sedang untuk saya pribadi, saya bersyukur sebab satu mimpi saya telah terkabul: menyaksikan GNR secara langsung. Entah kapan kesempatan seperti ini datang lagi. Ketika lagu “Paradise City” yang menjadi pemuncak encore kedua usai, para personel GNR memberikan penghormatan, dan Axl mengucap sampai jumpa, ada rasa sedih yang sedikit menjalar.
Rasanya tak rela kalau konser agung ini berakhir. Tapi apa boleh buat, nothing last forever, even cold November Rain…[]
:'>
BalasHapusmabrur, mas nuran. mabrur! :)
BalasHapusAmiiinnn :)))
Hapus" Karena tak peduli berapapun umurmu, di masa apa kamu hidup, selama kamu berbicara mengenai GNR, kamu akan selalu menjadi remaja umur belasan!" <~~ Nice, mate! :)
BalasHapusHehehe, suwun mas :)
Hapus