Selasa, 12 Juli 2011

Tuhan Bersemayam di Pere La Chaise

2 Juli 1971. Jim Morrison sedang duduk sendirian di sebuah kafe di tengah kota Paris yang hiruk pikuk. Seorang teman yang bernama Alain Ronay baru saja meninggalkannya. Sore itu Alain mempunyai janji kencan dengan pacarnya, Agnes Varda, dan ia sudah sangat terlambat. Seharian ia menemani Jim, sang vokalis band rock paling terkenal dan paling kontroversial itu berkeliling kota Paris. Melanglang rue Tournelle, mencari film 16-mm Fritz Lang, hingga pergi ke toko boots.

Jim sedang tak beres hari itu. Alain dengan sangat jelas merasakan ketidakberesan itu. Sebermulanya adalah kesepian. Hari itu Jim sedang merasa kesepian. Sehari sebelumnya ia sedang bertengkar dengan Pamela. Sebenarnya bagi pasangan kosmik ini, pertengkaran adalah menu harian. Tapi entah kenapa hari itu Jim merasa berbeda. Karena itu ia merajuk, merayu Alain agar mau menemaninya seharian.

Selain kesepian, kondisi badan Jim sedang payah. Kemungkinan besar hal ini adalah hasil rapelan gaya hidupnya yang begajulan semenjak dulu. Siang itu peluhnya mengalir lebih deras dari biasanya. Jim kesakitan dan berusaha melawan rasa sakit itu. Kelak dokter mengatakan kalau Jim ternyata menderita hiccuplike spasm (semacam kejang otot) pada dadanya. Jim dengan susah payah berusaha bernafas. Nafasnya memburu kencang. Alain yang khawatir segera memaksa Jim untuk pergi ke rumah sakit. Tapi Jim sang kepala batu menolaknya.

Jim lantas mengajak Alain untuk menenggak bir di sebuah kafe. Disana sebenarnya Alain sudah ingin meninggalkan Jim. Ia teringat Agnes yang kemungkinan besar menahan murka. Tapi Jim merajuk, tak ingin sendirian. Ia sedang benar-benar rapuh sore itu.

"Ayolah Alain. Temani aku minum beberapa botol bir. Jangan pergi dulu, demi persahabatan kita" ujar Jim memelas.

Tapi di sana, Jim kambuh lagi. Ia tampak kesusahan bernafas. Jim berusaha bernafas, dengan mata yang tertutup karena menahan rasa sakit. Alain tiba-tiba seperti melihat sesuatu yang mengagetkan: muka Jim yang pucat seperti mayat.

Setelah nafasnya normal, Jim meminta tambahan bir. Tapi akhirnya Alain tak tahan lagi. Terbayang muka Agnes yang geram karena disuruh menunggu lama hanya karena Alain menemani seorang rock star kadaluarsa berpesta bir. Maka dengan bergegas dan bersikeras, Alain meninggalkan tempat itu. Akhirnya Jim membiarkannya. Ketika berjalan menuju stasiun, Alain menengok ke belakang, ia melihat sosok Jim yang sedang duduk di kursi. Tampak rapuh dan kesepian. Tapi sekali lagi, wajah gusar sang kekasih membuat Alain meneguhkan kaki untuk pergi.

Alain tak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir ia bisa bercengkarama dengan Jim Morrison.

***
3 Juli 1971. Pamela Courson terbangun di tengah malam yang dingin. Jim dan Pamela sudah rujuk kembali. Di luar angin berhembus, membuat tirai melambai-lambai di kamar yang ia tempati bersama Jim. Saat itu Pamela sadar bahwa Jim tak ada disampingnya. Ia bangun, memanggil Jim.

Tak ada jawaban.

Lalu ia pergi ke kamar mandi. Jim-nya ada disana. Menyandarkan diri di bathtub porselen dengan rambut tergerai.

Pamela mendekati Jim sembari memanggil Jim. Tapi pria yang bernama lengkap James Douglas Morrison ini tak menoleh. Pamela lantas terdiam ketika berhadapan dengan Jim. Muka pria ini sudah pucat pasi. Wajahnya bersih tanpa brewok. Wajahnya tirus, menonjolkan karakter tegas pada wajah yang kerap kali disamakan dengan wajah rupawan Alexander the Great. Bibirnya terkatup, tersenyum simpul. Matanya terbuka, menatap nanar ke depan. Pandangan yang kosong.

Jim Morrison sudah meninggal.

Pamela terduduk sendu sembari duduk bersimpuh di depan bathtub tempat terakhir Jim mengembuskan nafas. Ia terduduk cukup lama. Sebelum akhirnya "lagu A Feast of Friends" terlantun.

Do you know how pale and wanton thrillful
Comes death on a strange hour
Unannounced, unplanned for
Like a scaring over-friendly guest you've
Brought to bed
Death makes angels of us all
And gives us wings
Where we had shoulders
Smooth as raven's claws

Adegan diatas adalah peratapan akan kematian yang dramatik dan fiktif. Adegan melankolis itu ada pada film The Doors garapan Oliver Stone. Layaknya film drama, ending haruslah mencekat banyak penonton. Di film yang dicerca oleh Ray Manzarek karena banyak mengumbar kebohongan itu, digambarkan Jim Morrison meninggal dengan tersenyum dan muka bersih. Lalu Pamela menangisi kematian Jim.

Tapi yang terjadi sebenarnya sungguh berbeda.

Dalam buku Jim Morrison: Life, Death, Legend karya Stephen Davis, digambarkan suasana kematian Jim yang menimbulkan chaos. Setidaknya bagi Pamela.

Ketika Pamela bangun 3 Juli, pada hari yang tak terlampau dini, ia merasa Jim memanggilnya. Tapi ia mengira hanya bermimpi. Ketika matahari kemudian tandang, Pamela mencoba mencari Jim yang tak ada di kasurnya. Lalu gadis berambut merah ini mendatangi kamar mandi. Ruangan itu dikunci dari dalam. Lantas ia berteriak dan menggedor kamar mandi.

Karena tak kunjung berhasil membuka pintu kamar mandi, dengan panik ia menelpon Jean de Breteuil, pacar gelapnya, yang saat itu tengah tidur di ranjang bersama Marianne Faithfull. Ketika Jean bangun dan memberitahu bahwa yang menelpon adalah Pamela, Marianne merengek ingin ikut dan bertemu Jim Morrison.

"Not possible baby. Not cool right now, OK? Je t'explique later. I'm right back" larang Jean sembari tergesa.

Dalam setengah jam, Jean sudah sampai di kamar yang ditinggali oleh Jim dan Pamela. Pam yang saat itu mengenakan djellaba sutra sudah tak bisa berpikir, dan omongannya melantur. Jean dengan segera memecahkan kaca kamar mandi, membuka kenop, dan masuk ke dalam kamar mandi. Saat itulah mereka menemukan pemandangan yang mengenaskan.

Jim Morrison sudah meninggal, masih berada dalam bathub porselen. Ada darah kering yang membekas di hidung dan mulutnya. Lalu ada dua lingkaran besar berwarna ungu di dadanya (yang semakin meneguhkan hipotesa bahwa Jim meninggal karena gagal jantung atau hiccuplike spasm, bukan karena overdosis). Air di bathub sudah berwarna keruh karena darah yang terus mengucur sampai jantung Jim berhenti berdetak. Tapi Pam berkata, itulah wajah terdamai Jim Morrison yang pernah ia lihat. Kepalanya terkulai ke sebelah kiri, dan ada senyum tipis tersungging.

"He had such a serene expression, if it hadn't been for all that blood..." ujar Pam dalam suatu wawancara.

Pam lantas menelpon Bill Siddons, manajer The Doors yang saat itu sedang ada di Amerika. Keesokan harinya Bill datang dan segera mengurus sertifikat kematian, menulis nama sang jenazah dengan nama lahirnya: James Douglas Morrison: seorang penyair. Setelah semua urusan administrasi selesai, peti mati itu dibawa ke Pere La Chaise, tempat persemayaman beberapa orang terkenal macam Edith Piaf, Oscar Wilde, hingga Fredric Chopin, yang ironisnya pernah dikunjungi oleh Jim di awal kedatangannya di Paris. Jim tentu tidak bakal menyangka kalau akhirnya ia dikebumikan di tempat yang sama.

7 Juli 1971, Jim Morrison dikuburkan. Hanya ada lima orang yang menghadiri pemakaman rock star terbesar sepanjang masa itu: Pamela, Alain Ronay, Agnes Varda, Robin Wertle, dan Bill Siddons. Tak ada pendeta, tak ada doa layaknya pemakaman lain. Semua lindap dalam sepi yang bergemuruh di dalam hati masing-masing. Dengan pandangan berkaca, Pamela melaksanakan wasiat Jim yang ingin agar ada beberapa patah kata yang diucapkan ketika ia mati.

Pamela berdehem dan berucap dengan pelan. Baris terakhir dari puisi "The Celebration of the Lizard".

Now night arrives with her purple legion
Retire now to your tents and to your dreams
Tomorrow we enter the town of my birth
I want to be ready

***

24 Juni 2011. Saat itu musim panas. Semua wajah orang Paris mendadak cerah menebar senyum, walau tetap saja membuat saya jengkel karena setiap ditanya dalam bahasa Inggris, mereka menjawab dengan bahasa Perancis. Saya sedang berada di metro bernomer 3, menuju Pere La Chaise. Seorang pengamen keliling memainkan klarinet dengan merdu. Saya teringat adegan pembuka di video klip People Are Strange, dimana ada seorang tua yang memainkan klarinet sebelum ditimpali suara petikan gitar dan Jim bernyanyi liris, “people are strange, when you’re a stranger. Faces look ugly when you’re alone”.

Selepas stasiun Rue Saint Maur saya bersiap. Stasiun Pere La Chaise ada di depan. Lazimnya, wisatawan yang ingin menuju Pere La Chaise berhenti di stasiun Gambetta, lalu berjalan sebentar menuju pintu utama kompleks pepusaraan ini, menuju pusara Oscar Wilde yang terletak di divisi 89, dekat dengan pintu utama. Tapi saya pergi ke kompleks pepusaraan seluas lebih dari 48 hektar ini bukan untuk sowan ke pusara Wilde. Maka saya berhenti di stasiun Pere La Chaise, berjalan sebentar ke luar stasiun, voila, saya langsung bertatapan dengan pekuburan itu.





Setelah membeli peta seharga 2,5 euro, mulailah saya menerka dimana tepatnya divisi 6, tempat pusara Jim Morrison berada.

Setelah berjalan sesuai direksi peta selama hampir 20 menit, sampailah saya di divisi 6. Tapi pencarian saya masih belum selesai. Saya masih harus mencari pusara Jim diantara jejeran pusara-pusara tua yang berlumut. Cahaya matahari hanya mengintip malu dari rimbun pepohonan besar yang rindang. Sesekali terdengar suara kaok gagak yang berisik. Semua kombinasi itu mengingatkan saya pada film horor klasik, The Omen.

Saya berpatokan pada ingatan lama mengenai pusara Jim Morrison. Yang masih terdapat patung Jim buatan Mladen Mikulin. Ternyata saya tak bisa menemukannya. Hampir 15 menit saya mengitari divisi 6, sebelum saya menemukannya. Teronggok tersembunyi diantara makam lainnya.






Akhirnya saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Pusara James Douglas Morrison, vokalis yang saya idolakan semenjak saya berseragam putih biru. Mimpi untuk berkunjung ke pusara vokalis idola saya ini tak pernah saya koarkan. Hanya terucap dalam hati saja. Seusai saya kebingungan menerka cerita film The Doors ketika masih ingusan. Sekarang saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Cukup membuat bulu roma saya bergidik.

Pusara Jim Morrison tak sama dengan yang saya bayangkan. Tak ada lagi patung, tak ada lagi coretan-coretan vandal di nisannya. Pusara sang pesohor yang mengundang puluhan ribu orang tiap tahun untuk berziarah itu hanya berupa pusara kecil dan sederhana. Tak jauh beda dengan pusara di sebelahnya, malah lebih kecil. Hanya ada beberapa bunga yang ditaruh di atas pekuburannya, dan beberapa "sesajen" yang ditaruh diatas nisan. Pada nisan, tertulis kalimat berbahasa Yunani, ΚΑΤΑ ΤΟΝ ΔΑΙΜΟΝΑ ΕΑΥΤΟΥ yang secara literal dapat berarti "true to his own spirit."





Saya tak pernah lupa perasaan saya siang itu. Saya duduk bersimpuh di sebelah pusara Jim, mengusap nisannya, lalu berdoa dengan cara lain: memutar "People Are Strange" secara kontinyu. Perasaan saya aneh, susah untuk ditulis. Suasana cukup syahdu walau ada beberapa orang yang riuh, memotret, mencoretkan spidol di pohon depan pusara (karena tak bisa mencorat-coret pusara), hingga memutar lagu The Doors, sama seperti saya.

Saya sendiri merasa diberkahi. Pasalnya adalah saya bisa berfoto di sebelah pusara Jim. Berkali-kali pula. Ketika saya selesai berfoto, muncullah seorang satpam yang lantas marah-marah karena pagar pelindung pusara Jim dibuka. Ia pun mengusir orang-orang yang saat itu sedang asyik berfoto. Ternyata pusara itu dipagari untuk mencegah ulah vandalisme beberapa orang. Ulah vandalisme itu bisa berupa pencongkelan batu nisan Jim, atau corat-coret, tanah makam dikeduk, bahkan patung Jim pun dibawa kabur.



Sejak ulah vandalisme itu semakin menggila, maka pihak Pere La Chaise perlu memasang pagar dan menempatkan satpam. Setelah satpam itu datang, tak ada yang boleh berfoto di sebelah pusara itu. Beberapa orang merengek agar pagar dibuka, tapi sang satpam tak bergeming.

Betapa beruntungnya saya.

Setelah itu saya masih duduk di depan pusara. Selepas 60 menit, saya bangkit dan beranjak pergi. Baru berjalan sekitar 200 meter, ada satu rombongan keluarga dari Amerika bertanya dimana pusara Jim. Daripada saya bingung menjelaskan, saya pun mengantar mereka ke pusara itu. Sepertinya setelah ini saya bakal ditawari pekerjaan sebagai guide di Pere La Chaise.

"Kami dari Florida. Jim Morrison lahir di Florida lho" ujar sang bapak dengan bangga. Saya hanya menimpali dengan senyum.

Perkataan bapak tadi (juga beberapa fans Jim yang saya temui di Pere La Chaise) menyadarkan saya akan sesuatu. Jika kita berbicara tuhan (tuhan konvensional yang biasa disembah), maka kita berbicara ia yang bersifat mono, alias tiap agama punya tuhannya masing-masing. Tapi ketika kita berbicara "tuhan" alias figur yang dipuja layaknya tuhan, maka ia menerobos semua sekat. Baik itu ras ataupun agama.

Jim Morrison adalah salah satunya. Bahkan ketika sudah 40 tahun meninggalkan dunia, masih banyak orang yang datang ke pusaranya, masih banyak pula orang yang menyembahnya.

Dengan diiringi "People Are Strange", saya berjalan pelan meninggalkan tempat “tuhan” disemayamkan pada 3 Juli, 40 tahun yang lalu. Sore itu musim panas yang hangat. Angin bergemerisik pelan. Pere La Chaise lalu kembali sunyi seiring langkah saya yang semakin jauh…

4 komentar:

  1. walaupun aku gak nyembah tuhanmu ,,tapi tuhanmu pancene keren,,,,tapi tuhanku maha keren
    hehehhe :D

    BalasHapus
  2. Huehehehe, itulah yang namanya co-exist yo mas :D Btw, tuhane sampeyan sopo toh? Kene aku tak kenalan :D

    BalasHapus
  3. Egh kalian saling mengenal? Mas Nandha n Nuran ? kok nama depannya N semua yang koment? namaku tak gantine ae wes dadi Nermin. aahahaha

    BalasHapus