Senin, 25 Juli 2011

Jangan Diaduk Lagi Kopinya Kalau Ampas Sudah Turun

: Untuk Siti Zubaidah

Mata saya tak berkedip. Perempuan yang dulu pernah dengan lembut mengajari saya untuk tidak mengaduk kopi setelah ampasnya turun, itu sedang terbujur lemah di brankar ruang ICU. Banyak sekali selang yang tak saya ketahui fungsinya. Nafasnya bengek. Matanya nanar, masih tajam, meski tak bisa dipungkiri tatapan itu sudah mulai melemah. Sudah tak terhitung garis keriput di wajah yang masih menyisakan remah kecantikan itu. Rambutnya terburai, mengembang, dan memutih. Pemandangan itu tampak berbeda dari beberapa hari lalu ketika nenek saya itu meminta dimasakkan sop buntut.

"Besok belikan buntut, yang besar. Dua ya" ujar nenek saya dengan nada yang lucu. Tetap dengan semua alat bantu medik yang melingkari kesuluruhan tubuhnya. Mulai tangan, dada, hingga hidung.

Semua yang hadir disitu tertawa. Tak kecuali saya. Sudah 3 hari nenek saya makin lemas karena tidak mau makan sesuatu apapun. Meminta sop buntut adalah angin segar bagi semua orang yang begitu khawatir akan kesehatan beliau.

Keesokan harinya, mamak saya memasakkan sepanci besar sop buntut. Lengkap dengan potongan buntut yang berselubung daging dan lemak. Juga ada wortel dan kentang sebagai instrumen pelengkap jenis sop yang datang dari Belanda itu.

Hari itu nenek saya makan dengan lahap. Meski tanpa nasi, hanya kentang.

Karena kesehatan beliau yang semakin membaik, maka saya dan mamak memutuskan untuk pulang ke Jember.

***

Baru 3 jam menikmati hawa Jember, sebuah telpon dari Lumajang membuat mamak panik. Nenek saya muntah darah. Malam itu juga mamak mengajak saya kembali ke Lumajang. Maka mengebutlah saya, melindas aspal kembali, sembari sesekali menghantam lubang yang banyak menganga di sepanjang jalan Jember- Lumajang. Yang membuat mamak melontarkan istighfar, dan saya melontarkan makian. Itulah beda orang beriman dan orang tak beradab.

Ketika saya sampai di RS Haryoto, nenek sudah terbujur lemah di ruang ICU. Di luar, para anak-anaknya berkumpul, duduk diatas karpet sembari mengobrol pelan. Semua anaknya datang.

Nenek yang berdarah Bugis- Banjar punya 8 anak dari suaminya yang seorang pelaut. Saya memanggil kakek dengan sebutan kaik, sebutan kakek dalam bahasa Banjar. Sekarang anaknya tinggal 7, satu diantaranya sudah meninggal beberapa tahun lalu. 7 orang anaknya berkumpul semua malam itu. Yang terjauh tentu saja Tante Yah, yang berdomisili di Berau, Kalimantan Timur.

Ketika sedang berkumpul bareng itu, banyak cerita terlontar. Membongkar kembali memori kolektif mengenai kebersamaan mereka bersama sang ibunda. Banyak cerita lucu yang mengundang gelak tawa. Juga ada yang membuat saya menjadi sedikit getir.

Salah satunya adalah ketika nenek dirawat di Surabaya, sebelum akhirnya meminta pulang dan dirawat di Lumajang. Saat itu nenek merasa nyawanya sudah di ujung. Semua anaknya berkumpul dan menangis.

"Maafkan mamak lah, kalau mamak punya salah. Mungkin umur mamak sampai disini saja. Kalian yang rukun lah antar beding sanak (saudara)" ujar nenek lemah. Mungkin ia merasa sedih kalau ada anak-anaknya yang bertengkar walau mereka lahir dari rahim yang sama. Rahimnya.

Tapi rupanya tuhan berkehendak lain. Meski nenek sudah merasa akan menghadapNya, tak jua ia dipanggil. Jadilah beliau dibawa ke Lumajang lagi, sesuai permintaannya. Dan sekarang, saya melihatnya terbaring lemas, berusaha tidur dan memejamkan mata, tapi sepertinya kesusahan. Jangankan untuk memejam mata, sekedar bernafas pun rasanya berat sekali.

***
Nenek sedikit banyak mengingatkan saya pada almarhum ayah. Mereka sama-sama keras kepala, apalagi kalau menyangkut kegemaran mereka: makan. Ayah saya adalah pecinta segala jenis makanan enak, termasuk sate kambing, gulai kambing, dan segala jenis makananan yang tak boleh dimakan oleh penderita kolesterol tinggi seperti ayah.

Tapi larangan itu seperti dianggap angin lalu oleh ayah. Ia tetap saja makan sekehendak hatinya. Walau total sudah 6 kali ia terserang stroke. Pada serangan stroke yang ke 5, ia sudah mulai sadar diri. Membatasi makanan-makanan pantangan. Walau sesekali masih mencuri kesempatan, merayu anaknya agar mau mengantarnya makan seporsi sate atau sepiring nasi padang dengan lauk gulai otak.

"Hidup itu cuma sekali, harus dienak-enakin" ujar ayah pada saya suatu ketika. Kredo itulah yang dianutnya hingga ajal menjemputnya pada suatu malam di bulan Desember yang dingin.

Begitu pula nenek. Ia tak pernah mau dilarang. Kalau dilarang, ia merajuk sejadinya. Mirip anak kecil yang merengek karena tak dibelikan permen.

Pernah suatu hari ia memakan gulai kepala kambing. Bukan kepala kakap, tapi kepala kambing. Utuh! Dalam hal ini, ayah saya harus menghaturkan sembah kekalahan pada nenek saya. Tak pernah sekalipun ayah saya berani memakan satu buah kepala kambing utuh. Nenek tampak lahap sekali memakan kepala kambing itu, dengan telaten menyungkin selipan daging diantara rongga kepala. Beliau tampak puas sekali.

Beberapa hari lalu, setelah memakan sop buntut, nenek saya nyeletuk.

"Aku minta air es. Dikiiit aja" rajuknya. Semua melarang, karena air es akan memperparah asma yang dideritanya.

"Duh, panas-panas gini minum es sirup pasti enak" celetuknya lagi. Semua tertawa sembari tetap melarangnya. Tak berhenti sampai disitu, beliau tak lelah mencoba.

"Kalau es krim boleh?" tanya nenek saya penuh harap.

Tak ada yang bisa menahan tawa siang itu.

***

Hari ini saya baru sampai Jember lagi. Urusan revisi membuat saya harus pulang barang sejenak. Sebenarnya saya sedikit enggan pulang ke Jember. Kepala saya pening sejak kemarin malam. Sejak kemarin malam pula saya rutin memutar In The Aeroplane Over The Sea milik band underrated Neutral Milk Hotel.

Entah kenapa, lagu itu membuat saya menjadi melankolis luar biasa tadi malam. Lumajang sedang sepi malam itu. Di luar sedang dingin. Suara Jeff Magnum mengalun mistis melalui earphone. Lalu tiba-tiba berkelebat bayangan ayah saya.

Dulu, seringkali ia bercerita mengenai dunia yang indah. Ia pula yang menganjurkanku untuk melihat dunia yang indah itu, walau kenyataan tak selalu seindah gambar di kartu pos. Perkataan ayah saya mengenai dunia yang indah itu seperti pas dengan lirik lagu ini.

And one day we will die.
And our ashes will fly from the aeroplane over the sea.
But for now we are young, let us lay in the sun,
and count every beautiful thing we can see.

Lalu kelebatan kenangan muncul tiba-tiba. Ketika saya kecil, saya sering menginap di rumah nenek di Lumajang, tidur seranjang dengan beliau. Ia sering bercerita mengenai kaik, yang tak begitu lama saya kenal. Minuman kegemaran nenek adalah kopi. Dalam gelas panjang. Ketika kopi sudah diseduh dengan air panas, nenek dengan sabar menunggu ampas turun. Tapi saya kecil, selalu mengaduknya kembali, karena menganggap ampas itu adalah kopi yang tidak tercampur. Lalu nenek saya dengan sabar menasehati saya agar tidak kembali mengaduk kopi yang ampasnya sudah turun ke bawah.

"Jangan diaduk lagi kopinya kalau ampas sudah turun" ujarnya. Lalu ia menunggu lagi dengan sabar sembari kembali bercerita mengenai hal-hal kecil yang sialnya sudah terlupakan.

Itulah anehnya kenangan. Kadang hal kecil yang tak pernah teringat sebelumnya, tiba-tiba menyeruak tanpa permisi. Bagimana mungkin, saya yang saat itu sepertinya masih berumur 4/ 5 tahun bisa mengingat kenangan mengenai kopi? Kenangan lantas bersikap seperti cuplikan gambar dalam sebuah layar, yang tiba-tiba muncul sekedipan mata, lalu kembali hilang. Seperti kata Jeff:
What a beautiful dream that could flash on the screen,
in a blink of an eye and be gone from me.
Soft and sweet,
let me hold it close and keep it here with me

Nenek saya sekarang sedang berada pada masa senja kala. Ia sendiri merasa kalau umurnya tak lama lagi. Karena itu ia berwasiat pada semua anaknya. Semua nyawa yang ia lahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Kalau memang umur nenek akan berakhir tak lama lagi, saya ikhlas. Dan saya rasa semua anak cucu cicitnya juga ikhlas. Karena saya yakin nenek saya sudah puas melihat semua hal indah selama hidupnya. Melihat bagaimana anak-anaknya tumbuh besar, bersekolah, menikah, mempunyai cucu. Lalu melihat bagaimana cucunya juga tumbuh besar, bersekolah, ada yang menikah, dan memberinya cicit.

Saya ikhlas, karena saya yakin suatu hari nanti saya akan dipertemukan kembali dengan nenek. Kami semua tahu dimana kami akan berkumpul lagi suatu hari nanti.
Lalu di siang hari yang panas, suara Jeff kembali melantun. Pelan dan mistis seperti biasa...

What a beautiful face
I have found in this place
That is circling all round' the sun
And when we meet on a cloud
I'll be laughing out loud
I'll be laughing with everyone I see
Can't believe how strange it is to be anything at all

1 komentar: