Selasa, 17 Mei 2011

Menembus Garis Batas


Judul Buku : Garis Batas : Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Pengarang : Agustinus Wibowo
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Gramedia Jakarta
Tebal : xiv, 510


Ketika perjalanan menjadi suatu tren, maka perayaan kemanusiaan di dalamnya usai sudah. Sebuah perjalanan tidak lagi menjadi pengelanaan ataupun pengembaraan yang kaya akan nilai-nilai. Yang ada hanya sebatas berpergian dengan budget terbatas, tidur di hostel murah, berfoto di tempat touristy, lantas unggahlah gambar itu di situs jejaring sosial. Voila, anda berhak menggambarkan diri sebagai seorang backpacker.

Tren perjalanan itu merupa pada buku-buku traveling yang sekarang banyak bermunculan. Mulai beberapa buku best seller yang bercerita mengenai pengalaman unik ketika berpergian, hingga buku-buku perjalanan yang memberikan tips-tips berpergian ala budget traveler.

Tapi sayang, banyaknya buku perjalanan tidak diikuti dengan baiknya kualitas buku. Hampir sebagian besar buku perjalanan melulu mengenai tips traveling, hal yang sebenarnya sudah banyak tersedia gratis di internet. Jarang ada yang bercerita secara mendalam mengenai kebudayaan penduduk daerah yang dikunjunginya, kultur yang berakar disana, ataupun pengalaman personal yang begitu kaya akan warna.

Sampai pada tahun 2010 muncullah Agustinus Wibowo dengan buku luar biasa berjudul Selimut Debu. Pria berwajah Mongoloid ini pergi menjelajah Afghanistan, sebuah negara yang identik dengan kata perang. Dalam buku debutnya itu, pria asal Lumajang ini begitu piawai mengaduk-aduk perasaan pembaca. Ia turut menarik pembaca dalam petualangannya. Ikut merasakan kesibukan naik turun truk, minum teh ala Persia, rasa takut ketika menjadi korban pelecehan seksual oleh pria hidung belang, masalah pertikaian antar etnis, hingga pengaruh Taliban di negara penghasil opium terbesar di dunia ini.

Dalam Selimut Debu, Agustinus berhasil menjadi lebih dari sekedar penulis perjalanan biasa. Ia seperti merangkap menjadi antropolog cum historian. Tidak saja karena Afghanistan adalah negara yang sama sekali bukan merupakan negara populer untuk tujuan perjalanan, tapi juga pengamatan antropologi dan sejarah yang ia lakukan.

Satu tahun setelahnya, Agustinus menerbitkan buku keduanya. Berjudul Garis Batas, buku setebal 510 halaman ini kembali memukau dengan gaya bercerita yang mengalir, deskriptif, dan disertai bumbu diksi yang begitu beragam. Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih banyak bercerita mengenai Afghanistan, di Garis Batas ini Agus menjelajah dan bercerita banyak mengenai beberapa negara di Asia Tengah dengan akhiran -Stan. Mulai Tajikistan, Kirgiztan, Kazahkstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan. Kesemuanya adalah negara kecil pecahan Uni Sovyet. Dari beberapa negara itu, kita mungkin hanya familiar dengan Uzbekistan yang para perempuan rupawannya dinikahi oleh banyak pesohor negeri ini.

Buku ini kembali memamerkan kejelian Agustinus dalam mengambil angle tulisan. Ia menuliskan catatan perjalanan tidak dalam sudut pandang seorang turis yang sedang berlibur. Ia berlaku, bersikap, dan memandang segala yang ditemuinya dari sudut pandang seorang pengamat, observer. Karena itu buku ini sarat muatan kritik, sesuatu yang sering kali absen dalam banyak travel writing --yang fokus utamanya biasanya menceritakan keindahan dan kesenangan ketika jalan-jalan. Agustinus banyak berkelakar mengenai miskinnya negara-negara satelit Uni Sovyet, bagaimana busuknya birokrasi di negara-negara itu, dan fakta bahwa banyak orang disana yang terkadang rindu masa hidup di era komunisme dengan Stalin sebagai "bapak" mereka.

Agustinus mengabarkan bahwa di Murghab, Tajikistan, sampai saat ini ada sebuah patung Lenin kecil berwarna putih berdiri dengan gagah di pinggir jalan utama (Hal. 114). Sementara itu, di Osh, Kirgiztan, patung pria botak itu masih berdiri tegak, dan jalan utamanya pun masih bernama Jalan Lenin (Hal. 143). Selama ini kita mungkin hanya tahu Rusia, China, atau pun Korut sebagai negara yang sampai saat ini menganut sistem komunis. Tak ada yang mengira bahwa kerinduan akan komunisme masih berhembus di tempat-tempat terpencil di negara antah berantah itu.

Selain nostalgia dengan simbol-simbol komunisme, Agustinus juga bercerita mengenai folklore dan pahlawan nasional negara-negara –Stan itu. Di Tajikistan misalnya, orang-orang Tajik begitu bangga akan Ibnu Sina, sang bapak kedokteran, yang mereka klaim sebagai orang Tajik. Ternyata ada banyak pengakuan sejenis. Sina, yang oleh dunia barat disebut dengan Avissena, ternyata diakui sebagai penduduk sekaligus pahlawan di Iran, Afghanistan, dan juga Uzbekistan (hal. 33).

Lalu ada cerita mengenai Sulaeman Too di Tajikistan. Tempat yang juga dikenal sebagai Takht-e Sulaeman itu dipercaya sebagai tempat Nabi Sulaiman bertakhta . Mereka juga percaya bahwa Nabi Muhammad pernah shalat disana. Sedang di lain kesempatan, orang-orang Afghanistan berjumawa bahwa konon di tanah mereka, Ali Bin Abi Thalib pernah datang dan membunuh naga raksasa dengan pedang saktinya. Sedang orang Uzbek bolehlah bangga dengan kepercayaan bahwa Ali dimakamkan di negara mereka. Tempat-tempat itu kini jadi titik ziarah penting di Asia Tengah (hal. 144).

Alih-alih ambil pusing dengan keabsahan semua kepercayaan itu, Agustinus malah dengan jeli membenturkan kepercayaan dan folklore itu dengan kebebasan beragama yang tidak mungkin bisa mereka dapatkan ketika Uni Sovyet masih digdaya. Saat ini semua orang bebas untuk mengimani agama apa pun, dan mempercayai cerita apapun.

Dengan semua pengamatan ala antropolog dan historian itu, yang masih ditambah dengan banyak foto jurnalistik yang trengginas, Agustinus berhasil meramu Garis Batas menjadi sebuah buku yang kaya. Buku yang tidak sekedar mengabarkan cerita personal yang riuh nan meriah, tapi juga cerita mengenai manusia. Para manusia yang dalam peta hanya dibatasi oleh selaput tipis garis pembatas negara, garis yang ternyata terdiri dari banyak kisah.[]

4 komentar:

  1. garis batas. saya akan ingat2 judul ini. entah reviewnya yg bagus, atau bukunya memang bagus. yg jelas, saya kepingin baca. =)

    BalasHapus
  2. ah kamu aja yang tak hendak di libas zaman dan di samakan dengan para banal yang pura2 jdi pengelana. ya... :D

    BalasHapus
  3. a humble writer, mister agus weng :)

    BalasHapus
  4. kantong: buku ini wajib baca :D

    dhani: emang terlalu kentara ya propagandaku? :D

    putri: hiks, sirik sama ente yang ketemu langsung dengan gus weng :(

    BalasHapus